Red Bird

Raveinde Rave
Chapter #1

Chapter 1

Butiran salju yang tertiup angin turun dari langit, menutupi semua wilayah di Merenorth. Ini bukan awal musim dingin di Merenorth, melainkan sudah lima belas tahun benda putih dingin itu turun tanpa henti. Cametra duduk di depan jendela kamarnya, memperhatikan butiran-butiran kristal putih jatuh dari langit dan menutupi hampir setengah tinggi jendelanya. Ia tidak suka pemandangan wilayah Merenorth yang biasa ia lihat dari kamarnya terhalangi oleh tumpukan salju.

Cametra mendengkus, ia mengangkat tangan kanan dan menempelkannya di jendela. Telunjuknya bergerak melingkar, lalu membuat sebuah pola yang mirip dengan bentuk sebuah kristal salju di jendela yang terasa dingin. Sambil membuat pola, Cametra mengucapkan sesuatu. Kalimat yang sering ia ucapkan setiap kali pemandangannya terhalangi oleh tumpukan salju.

"Myst sang penjaga, Kristal Nixie si pengatur, Fervel yang semesta. Lelehkan es ini menjadi air dan menguaplah bersama cahaya." Perlahan-lahan salju yang menumpuk di jendela kamar Cametra mulai meleleh, salju yang sudah mencair berubah menjadi kerlip-kerlip berkilau dan terbang ke udara. Cametra tersenyum puas, dengan begini ia bisa melihat pemandangan Merenorth.

Senyumnya pudar saat ia melihat kota Mere yang tidak jauh dari rumahnya berada, tetap tertutupi salju. Cametra mungkin bisa mengubah salju yang berada di jendela kamarnya, namun ia tidak bisa mengubah semua salju yang ada di Merenorth. Seberapa keras Cametra mencoba, maka salju itu tetap akan kembali entah sampai kapan.

Suara melengking dari atas langit membuat Cametra mendongak, suara melengking aneh untuk seekor burung. Bahkan suaranya lebih buruk dari suara burung gagak sekalipun. Burung merah darah tengah terbang melintasi ibu kota Merenorth, burung yang setiap paginya sering melintas hanya untuk mencari mangsa. Namun, burung itu mengingatkan Cametra akan sesuatu, kutukan Merenorth dan dirinya.

Pelayan pribadinya pernah bilang sehari sebelum Merenorth terkena kutukan, burung merah darah itu terus melintasi langit ibu kota. Sampai sebuah awan hijau dengan aroma pinus, menyambar menara istana yang sekarang menjadi kamar Cametra. Esoknya Merenorth dilanda badai salju padahal saat itu tengah musim panas.

Cametra kembali memperhatikan burung semerah darah itu, wujud fisik burung itu sangat mirip dengan wujud lain Cametra. Manusia setengah supranatural yang dapat berubah wujud menjadi burung merah itu. Pada awalnya Cametra terlahir sebagai manusia normal seperti anggota keluarganya, tetapi kehadiran burung yang membawa kutukan malah membuat Cametra terkena kutukan yang entah kapan berakhir. Setidaknya Cametra bersyukur akan kutukannya, ia berterima kasih pada siapa pun yang mengutuknya karena diberi kelebihan yang tidak dimiliki keluarganya. Ia bisa terbang dengan wujud burung dan memiliki kekuatan sihir yang ia sembunyikan.

Suara dengusan kuda mengalihkan pandangan Cametra. Ia melihat kereta kuda bergerak menuju pintu utama istana yang bisa ia lihat dari kamarnya. Cametra tersenyum saat mengetahui siapa yang turun dari kereta itu, orang yang ia tunggu sejak kemarin. Orang yang memberinya harapan untuk saat ini.

Setelah orang itu masuk ke dalam istana, Cametra berhitung seraya memainkan salju di jendelanya. Butiran kristal es itu menari di udara, membentuk sebuah formasi yang kemudian saling berkumpul membentuk sebuah boneka salju mini. Boneka salju mini yang utuh dan padat tersebut dibiarkan terbang di dekat jendela kamar, sampai hitungan kesembilan Cametra menghentikan sihirnya dan membiarkan boneka salju padat itu turun bebas.

"Sepuluh," ucap Cametra sambil menoleh ke pintu kamarnya. Seorang wanita muda mengenakan gaun putih dan biru muda masuk membuka pintu kamar Cametra, kemudian ia menunduk hormat pada Cametra yang tersenyum aneh karena mendengar suara teriakan seseorang dari bawah.

"Sudah kuduga akan mengenai kepala," gumam Cametra. "Emily!" Cametra berseru dengan girang.

"Your Highness, maaf aku sudah mengetuk pintu." Emily terlihat gugup saat melihat Cametra sedang tersenyum aneh padanya. Emily mengumpat karena seharusnya tadi ia mengetuk pintu lebih lama dan menunggu jawaban Cametra.

"Ah, tidak apa-apa, lagipula aku tidak mendengarnya tadi." Cametra masih memasang senyum aneh, ia berharap kelakuannya tadi tidak diketahui Emily. "Ada apa?"

"Profesor Spellman sudah tiba," ucap Emily sopan. Mata Emily memperhatikan jendela di belakang Cametra, tampak berbeda karena tak ada salju menumpuk di sana.

"Aku akan segera ke sana. Tolong sampaikan pada Profesor Spellman untuk menemuiku di perpustakaan." Cametra berjalan menuju lemari pakaiannya, ia memilah gaun apa yang akan digunakannya.

Setelah pintu kamarnya ditutup oleh Emily, Cametra lekas berlari ke arah jendela. Ia khawatir boneka salju padat itu melukai kepala seseorang, beruntung jika tidak terjadi. Dengan cepat Cametra membuka jendelanya, ia melongokkan kepalanya di sana mencari keberadaan seseorang yang terkena bonekanya. Di bawah sana, Cametra tidak menemukan siapa pun, hanya jejak kaki di atas salju tebal dan boneka saljunya yang masih utuh.

Cametra mengembuskan napas lega, setidaknya tidak ada yang terluka karena boneka es padat itu. Lagipula ia tidak menemukan bercak darah di bawah sana, bahkan di bonekanya. Senyuman muncul di wajah pucat Cametra, ia menutup jendelanya dan kembali memilah pakaian. Profesor Spellman tidak boleh menunggu terlalu lama.

Lihat selengkapnya