Di dalam gelapnya sebuah ruangan, muncul sebuah cahaya berwarna biru terang yang menyilaukan mata. Sinar itu kemudian berputar-putar di atas sebuah batu raksasa berbentuk meja dan memunculkan seekor burung merah darah berukuran besar. Warna iris matanya bagaikan putih susu dengan warna hitam tipis melingkar di pinggir irisnya. Di puncak kepala burung itu bertengger manis sebuah mahkota dengan bingkai perak yang mengkilap dan batu safir yang bercahaya. Burung itu tidak bergerak, iris matanya menatap pada satu objek hidup di depannya. Menatap Cametra yang berdiri di sana.
Kini, cahaya lain dengan asap hijau bergerak vertikal, membentuk sebuah pola zig-zag di samping batu, memunculkan sebuah bayangan yang menjelma menjadi seorang wanita cantik. Wanita itu mengenakan sebuah jubah berwarna hijau zamrud, gaun hitamnya tertutupi di balik jubah. Rambutnya yang berwarna pirang keemasan dibiarkan terurai. Warna iris mata wanita itu sangat mirip dengan warna batu safir di mahkota burung merah darah.
Wanita cantik yang tidak diketahui namanya itu bergerak perlahan, mengitari meja batu sambil menyentuh burung merah darah di atasnya. Tangan kirinya yang berada di balik jubah, mengeluarkan sebuah belati dengan gagang perunggu. Wanita itu lalu berhenti tepat di depan Cametra, wajahnya menatap burung merah darah itu dengan sinis. Cametra yang penasaran berjalan ke samping meja batu, melihat apa yang dilakukan wanita itu.
Wanita itu merentangkan tangannya, ia menengadah sambil memejamkan mata. Cametra ikut menengadah, iris hijau zamrudnya menangkap sebuah objek bulat berwarna biru di atas langit. "Bulan biru?" gumam Cametra. Kepala Cametra bergerak cepat saat menyadari sebuah sulur bercahaya biru mengelilingi belati, seolah tak percaya apa yang baru saja ia lihat.
Angin berembus di sekitar mereka, tepat saat wanita itu mengucapkan sebuah kalimat yang tidak bisa didengar jelas oleh Cametra. Kedua tangan wanita itu memegang belati, lalu tangan kanannya mengambil alih belati dan mengarahkannya pada burung merah darah. Ia menarik napasnya, iris biru safir itu menatap burung merah darah. Sebuah senyuman penuh kemenangan muncul di wajah cantik itu, dan bibir tipisnya membisikkan sebuah kalimat yang terdengar samar oleh Cametra.
"Apa yang akan kau lakukan padanya?" tanya Cametra dengan nada tidak percaya.
Tangan kiri wanita itu mengelus sayap burung merah, sebelum akhirnya ia menancapkan belati itu tepat di dada burung merah darah. Wanita itu tertawa puas penuh kemenangan, dan awan hijau muncul dari balik gaunnya, membungkus wanita itu hingga lenyap. Cametra menatap burung merah darah yang sudah tidak bernyawa dengan sedih, ia tidak suka binatang itu disakiti. Tangannya terulur untuk menggapai burung merah, tetapi ia merasakan sesuatu tersangkut di kerongkongannya.
Cametra mencoba untuk mengeluarkan benda apa pun yang ada di kerongkongannya. Ketika ia memuntahkan apa yang menjadi penyebabnya, Cametra terkejut melihat gumpalan merah kental. Darah, itu darahnya. Rasa sakit juga dirasakan di dadanya, seperti sebuah benda tajam baru saja ditancapkan di sana. Ia menyentuh dadanya, jari-jarinya merasakan basah pada baju yang dikenakannya. Ia menunduk untuk melihatnya, rembesan darah melebar di sana. Bersamaan dengan itu, penglihatannya mulai buram. Kegelapan siap menyambutnya, membawa Cametra bersama sang kegelapan. Tepat setelah Cametra kehilangan seluruh kesadarannya.
❄❄❄
Cametra terbangun dari mimpinya, napasnya terengah-engah. Burung yang ia lihat di dalam mimpi adalah perwujudan dirinya, seekor burung merah darah dengan mahkota safir. Tangannya bergerak cepat meraba dadanya, ke tempat jantung berada. Tak ada luka di sana, tak ada rasa sakit, tetapi ia bisa merasakan detak jantungnya yang tidak santai. Mimpi barusan benar-benar mimpi terburuknya, sebelumnya ia tidak pernah bermimpi akan dibunuh oleh seseorang. Dibunuh tepat saat bulan biru, momen di mana seluruh kekuatan makhluk supranatural beregenerasi lagi.
Cametra mengingat kembali mimpinya, wanita yang membunuh dirinya sangat cantik dan ia tidak pernah bertemu wanita itu sebelumnya. Cametra percaya bahwa mimpi biasanya berdasarkan apa yang dilihat oleh seseorang dan yang pernah dialaminya. Namun, sosok wanita pirang itu tidak pernah ditemui Cametra seumur hidupnya, dan Cametra mengakuinya bahwa kecantikan wanita itu seperti malaikat. Mungkin malaikat maut sebab ia membunuh Cametra di dalam mimpi. Dan lagi, Cametra yakin wanita itu adalah seorang penyihir. Apa pun yang wanita itu ucapkan dalam mimpinya, bisa jadi sebuah mantra yang entah mantra apa.
"Itu hanya mimpi," ucap Cametra menenangkan dirinya sendiri.
Pintu kamarnya terbuka, membuat Cametra terkejut, sosok ibunya muncul dari balik pintu. Senyuman khas keibuan menyelimuti wajahnya, Ratu Stella datang membawa sebuah kotak besar. Di belakangnya, Emily membawa sebuah nampan berisikan sarapan untuk Cametra.
"Selamat pagi," ucap Ratu Stella seraya mempercepat langkahnya. Ia meletakan kotak besar itu di hadapan Cametra dan langsung memeluk putrinya. "Selamat hari ulang tahun, Putriku."
"Terima kasih, Mama." Cametra tersenyum di balik pelukan sang ibu, tetapi senyumnya memudar saat ia mengingat mimpinya. Hari ulang tahun dengan mimpi kematian.
Ratu Stella melepaskan pelukannya, ia menatap putrinya yang semakin hari semakin cantik. Namun, kulit Cametra juga semakin memucat. "Kau sudah tumbuh besar dan semakin cantik."
"Seperti dirimu," tambah Cametra. Ia menoleh pada Emily yang baru saja membukakan tirai jendela, dan membiarkan cahaya mentari masuk ke kamar. Tidak seperti biasanya tumpukan salju itu tidak menutupi sebagian tinggi jendela, kali ini salju seakan lenyap. Mata Cametra bisa melihat langit Merenorth yang masih ditutupi awan putih, dan ia kembali teringat akan burung merah darah yang biasa terbang di pagi hari.
"Ayo buka hadiahnya," pinta Ratu Stella, mengalihkan perhatian Cametra.
Gadis itu membuka kotak pemberian ibunya, dan ia sangat senang saat melihat isi dari kotak tersebut. Sebuah gaun berwarna biru safir, dengan taburan kristal di bagian pinggangnya. Gaun ini menjadi gaun pertama yang Cametra miliki, sebelumnya ia tidak memiliki gaun seperti itu. "Ini indah sekali, Mama." Cametra kembali memeluk ibunya.
"Kau mau menggunakannya untuk malam ini?" tanya Ratu Stella. Cametra membalas pertanyaan ibunya dengan anggukan.
❄❄❄
Di bawah lampu kristal yang menggantung, Cametra duduk dengan tenang. Matanya terpejam, kedua telapak tangannya saling menumpu. Pikirannya difokuskan pada satu hal, seekor burung merah yang keluar dari dirinya. Lalu, kedua tangan Cametra digerakan ke belakang, mengayun yang kemudian berubah menjadi sayap besar dengan bulu semerah darah. Tubuh Cametra juga mengikuti perubahan wujud itu. Kini, di bawah lampu gantung bukanlah Cametra dengan wujud manusianya, melainkan seekor burung merah darah dengan mata seputih susu dan mahkota safir di puncak kepalanya.
Cametra dalam wujud burung, terbang mengitari ruangan sebelum akhirnya melesat keluar melalui jendela terbuka. Ia terbang mengamati kerajaannya, mengamati keadaan Kota Mere yang sudah lama tertutupi salju. Cametra tahu, setiap satu hari di setiap tahunnya salju akan meleleh meski hanya sedikit. Hari di mana awan putih yang selalu menurunkan salju lenyap, digantikan oleh sinar matahari. Hanya di hari ulang tahunnya, dan Cametra berharap hari seperti ini terus berlangsung selama setahun demi mengembalikan Merenorth yang asri dan indah oleh tanaman.
Dari atas, Cametra mencoba melakukan sihirnya. Meski ia tahu sihirnya tidak akan berhasil untuk melelehkan semua es yang ada di Kota Mere, setidaknya beberapa pohon beserta atap-atap bangunan berhasil dibebaskan dari salju yang menutupinya.
Matanya tak sengaja menangkap sebuah momen yang mengingatkan ia akan sesuatu. Cametra memutuskan untuk hinggap di sebuah batang pohon tak jauh dari lokasi tersebut. Di belakang pohon itu, ada sebuah rumah sederhana dengan cerobong asap yang mengepul. Di depan rumah itu, terdapat lapangan luas dengan hamparan salju putih dan berbagai boneka salju yang menghiasinya. Tiga anak kecil kisaran usia delapan tahun sedang bermain di sana.