Red Bird

Raveinde Rave
Chapter #6

Chapter 6

Setetes air mata mengalir di wajah pucat Cametra, ia terus berlari meninggalkan Emily di belakangnya. Ia masih ingat setiap kata yang dikatakan penyihir berambut merah pada orang tuanya, semua kata-kata itu terus berputar di kepalanya bagaikan rekaman tanpa henti. Kini, ia tahu takdirnya. Kali ini ia benar-benar ingin menuntut pada takdir itu sendiri, dengan teganya membuat hidupnya terus menderita. Ia kira masa depannya terbentang luas bagaikan samudera, seperti yang diharapkan banyak orang. Nyatanya tidak seperti itu.

Ia tidak akan pernah bertemu dengan rakyatnya nanti, ia tidak akan pernah bertemu dengan cinta sejatinya, dan ia tidak akan pernah mempunyai keturunan. Lebih parahnya lagi, ia mungkin tidak akan pernah bertemu adiknya. Pupus semua harapan dan cita-cita yang sudah Cametra simpan sejak lama. Kini, semuanya hanyalah angan belaka.

Cametra mengurung dirinya di kamar, mengunci kamarnya dengan membekukan pintunya. Teriakan Emily dari luar tidak membuatnya berubah pikiran untuk membuka pintu, ia ingin sendiri untuk menangisi nasibnya.

Lagi, suara Emily dari luar kamarnya kembali terdengar, diikuti suara benda yang menghantam es tebal di pintu. Tangisan Cametra semakin menjadi, ia membenamkan kepalanya di bantal untuk meredam suaranya. Memo yang melihat majikannya menangis, segera menghampirinya dan ikut tiduran di sana.

"Pergilah Emily, pergi!" teriak Cametra. Ia lalu kembali menangis seraya menatap Memo yang juga menatapnya dengan mata sayu.

Setelah ia berteriak, suara Emily tidak terdengar lagi. Ia yakin gadis itu sudah menyerah, mungkin memilih untuk meninggalkan Cametra seharian menangis atau mungkin dengan setia menunggu di depan pintu.

Cametra mengelus puncak kepala Memo, betapa beruntungnya anjing itu karena tidak harus mengalami kutukan seperti yang dirasakan Cametra atau harus menghadapi kenyataan bahwa hari kematiannya sudah di depan mata. Ia iri pada anjingnya, bertanya-tanya dalam hatinya kenapa ia tidak dilahirkan menjadi hewan saja atau orang biasa yang hidup di desa.

Semua ini tidak akan pernah terjadi jika bukan karena ayahnya. Seharusnya ayahnya bertemu dengan ibunya terlebih dahulu, mungkin Merenorth tidak akan pernah kena kutukan dan ia akan hidup normal. Lagi-lagi Cametra terus menyalahkan takdir, ia merasa tidak terima dilahirkan sebagai putri dari seorang penguasa kerajaan. Jika semua orang menyebutnya beruntung karena dilahirkan sebagai pewaris takhta, maka Cametra menyebut dirinya sial.

"Mama, kenapa saljunya tidak berhenti?" Cametra berjinjit di balkon istana, ia ingin melihat taman istana yang tertutupi oleh benda dingin berwarna putih.

Stella tersenyum tipis, ia menundukkan kepalanya. Cametra yang masih polos menoleh pada ibunya, ia kemudian berlari menghampiri wanita muda itu dan memegang tangan ibunya yang sedang memegang cangkir teh. "Mama kenapa?"

Stella mendongak, salah satu tangannya bergerak menyentuh pipi Cametra yang memucat karena kedinginan. "Aku baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir."

"Baiklah. Tapi Mama, kenapa saljunya tidak pernah berhenti? Mama pernah cerita soal padang rumput yang penuh serangga, aku mau ke sana," ujar Cametra. sekali lagi Stella terlihat tampak sedang menahan rasa sedihnya.

"Kita hanya belum menemukannya," kata Stella seraya meletakkan cangkir teh di atas meja.

"Apa aku bisa menemukannya, Mama?" tanya Cametra. Iris hijau zamrud itu mulai berbinar.

"Ya, kau bisa. Kau yang akan mengantarkan kami ke padang rumput itu," ucap Stella dengan nada bergetar.

Cametra kembali menangis, bantalnya sudah basah karena air mata yang tiada hentinya mengalir. Dulu, ibunya memberinya sebuah harapan bahwa ialah yang akan mengubah masa depan Merenorth, mengembalikan semua musim, dan kerajaannya akan makmur. Namun, kenyataanya memang seperti itu, hanya saja dengan cara yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Cametra mengubah posisinya, lantas ia bergumam dengan suara parau, "Kematianku akan mengantarkan mereka menuju padang rumput yang hilang."

❄❄❄

Cametra berlari di sebuah tempat yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, kakinya sama sekali tidak memakai alas dan ia bisa merasakan tanah, kerikil, ranting kering dan rumput yang ada di sana. Tunggu sebentar, ia bisa merasakan semua itu padahal seumur hidupnya ia tidak pernah menginjak benda-benda itu. Ia tidak peduli dengan rasa itu lagi, yang ia pedulikan adalah tujuannya di depan sana.

Mendadak saja ia tidak bisa melihat semua cahaya, hanya pendengarannya yang semakin tajam dan langkah kakinya yang semakin cepat. Ia terus berlari meski kakinya merasakan rasa sakit dari kerikil yang ia injak, dan rasa gatal dari rumput yang mengenai kakinya. Seolah-olah ada yang menuntunnya menuju sebuah tempat yang ia sendiri tidak tahu tempat apa.

Ketika telinganya menangkap sebuah suara air terjun, samar-samar sebuah cahaya tertangkap oleh matanya. Ia bisa melihat kembali, dan dengan senangnya ia berseru kegirangan. Matanya menangkap sebuah pemandangan indah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, air terjun dengan batu-batu kali yang bersinar. Iris hijau zamrud itu berbinar, baru kali ini dia melihat pemandangan yang seperti itu.

Namun, air terjun itu berubah warna menjadi merah. Batu-batu kali yang bersinar juga ikut berubah menjadi hitam. Cametra tidak tahu apa yang terjadi, ia sangat ketakutan dan rasanya ingin lari meninggalkan tempat itu. Ia membalikkan badannya, bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Namun, sebuah suara samar membuat bulu kuduknya merinding, kakinya terasa berat hanya untuk sekadar melangkah. Suara itu mulai bergema di sana, mengharuskan Cametra menutup telinganya. Suara itu seakan-akan menyiksanya dari dalam, suara yang tidak ingin ia dengar.

"Kau akan mati, sebentar lagi." Suara itu semakin lama semakin mirip dengan suara Emily, ia mengira gadis itu ada di sana, tetapi di sana hanya ada dia.

"Kau akan mati, Cametra." Kali ini suaranya mirip dengan suara pamannya, lalu kemudian berubah lagi menjadi suara ibunya.

Cametra terus menutup telinganya, memejamkan matanya dan berteriak. Namun, suara itu kembali terdengar oleh indera pendengarannya, kali ini lebih besar dan seolah-olah sedang mengejeknya. "Kau harus mati, kau tidak berguna." Lagi-lagi suara ayahnya yang terdengar kecewa.

"A-aku mohon hentikan," teriak Cametra. Air matanya sudah merembes keluar, ia sudah tidak tahan lagi dengan semua suara itu. kali ini semua suara itu bersatu, menyiksa Cametra dengan kata-kata yang membuatnya semakin ketakutan.

Lihat selengkapnya