Red Flag

Lina WH
Chapter #1

Doktrin

"Woi ... enak-enakan saja pulang sekolah makan! Mana hasil hari ini?" Wono menghampiri Ghazea yang sedang duduk di dekat pintu dapur sambil makan. Makanan yang dimakan Ghazea bukanlah makanan mewah, hanya secentong nasi dengan lauk kerupuk dan sambal bawang.

Ketakutan Ghazea tak bisa disembunyikan, apalagi ketika Wono mengambil paksa piring di tangan Ghazea, lalu membantingnya hingga piring tersebut pecah.

"Ya Allah ... kenapa gitu sih, Pak?" Ghazea menunduk, memandangi nasi dan kerupuk yang sudah bercampur tanah dan beling pecahan piring. Tidak memungkinkan jika ia memunguti nasi tersebut untuk dimakan kembali.

Wono adalah ayah kandung Ghazea, yang sifatnya berubah menjadi kasar dan beringas tanpa diketahui sebabnya. Padahal dulunya Wono adalah seorang ayah yang baik dan penuh kasih sayang. Apalagi Ghazea satu-satunya anak perempuan dengan prestasi gemilang, baik prestasi akademik maupun non-akademik. Kasih sayang Wono untuk Ghazea tak pernah kurang.

Namun sesaat setelah Ghazea memasuki kelas 7 SMP, Wono berubah kasar bahkan hampir setiap hari melakukan kekerasan fisik kepada Ghazea. Entah, apa yang menyebabkan perubahan sikap Wono, tidak ada yang tahu.

"Lupa kamu? Atau pura-pura lupa?" Wono menarik rambut panjang Ghazea, hingga Ghazea tak bisa menahan air matanya karena rasa sakit. "Uang seratus ribu hari ini belum kamu setor ke Bapak! PAHAM!" bisik Wono tempat di depan telinga Ghazea, lalu mendorong keras kepala Ghazea hingga jatuh terpelanting ke lantai. Ghazea berdiri dengan cepat, mengusap air matanya dan buru-buru mencuci muka di keran terdekat. Kakinya melangkah dengan pasti menuju ke rumah sang nenek yang hanya berjarak kurang lebih dua ratus meter dari rumah Ghazea.

"Nek ...!" sapa Ghazea kepada neneknya, Sirem.

"Zea, sudah makan belum? Kalau sudah bantuin Nenek jaga warung, ya! Nenek mau istirahat. Dari pagi pengunjung warung banyak. Nenek belum sempat istirahat!" kata nenek Sirem sambil tersenyum tipis.

Sirem adalah orang tua perempuan dari Wono. Artinya Sirem juga nenek dari Ghazea. Beliau memiliki warung agen yang lumayan berpenghasilan. Setiap hari sejak kelas 5 SD, Ghazea sudah dipercaya Sirem untuk menjaga warungnya sepulang sekolah. Tentu saja dengan upah yang cukup untuk uang saku sekolah Ghazea, sehingga Ghazea tak perlu meminta uang saku lagi kepada Wono.

"Sudah, Nek!" sahut Ghazea dengan cepat. Tak lupa senyum manis pun tersungging.

"Ya sudah, ambil buku sana! Sambil jaga warung sambil belajar. Sambil menyelam minum air, jadi nggak ada waktumu yang terbuang sia-sia!" kata Sirem.

"Sudah Nek, ini tas sekolahku!" sahut Ghazea sambil menunjukkan tas sekolah Ghazea yang tampak masih baru.

Sirem tersenyum, lalu menghitung uang hasil berjualan sejak pagi. Uang kertas pun dikelompokkan sesuai nominalnya, lalu ditulis sesuai jumlahnya dan diikat dengan karet. Ghazea memperhatikan apa yang Sirem lakukan. Dalam hatinya, Ghazea merasa miris. Sirem seorang nenek-nenek yang masih mau bekerja keras membanting tulang untuk menafkahi diri sendiri. Namun, setiap hari pula Ghazea harus melakukan tindakan terkutuk yang berdampak negatif kepada Sirem.

"Zea ... Nenek tinggalin uang receh buat kembalian seratus ribu, ya! Nanti kalau ada yang minta utang, ya lihat-lihat orangnya. INGAT! Jangan sekali-kali kasih utang rokok kepada pemuda-pemuda! Selalu saja ada masalah. Mereka belum bekerja, main utang. Ujung-ujungnya Nenek harus relakan karena orang tua mereka nggak mau bertanggungjawab!" Sirem membuang napas dengan keras untuk melampiaskan kekesalannya.

"Iya, Nek!" kata Ghazea. Ia mengangkat sebuah kursi dan menaruhnya di tempat favorit untuk duduk nyaman sambil belajar. Sementara itu, Sirem pergi ke kamarnya untuk tidur.

Setelah hampir satu jam menjaga warung, belum ada satupun pengunjung yang datang. Ghazea cemas, apalagi jika membayangkan wajah Wono yang sedang murka jika Ghazea tak menyetor uang seratus ribu kepadanya.

"Ya Allah, aku masih terus berharap untuk bisa keluar dari lingkaran setan ini!" batin Ghazea sambil memejamkan matanya.

"Ghazea ... Zea ... Zea!" teriak Wono dari rumahnya yang berjarak sekitar dua ratus meter dari warung Sirem.

Ghazea lari keluar warung, melihat ke arah suara. Ia tak mau menjawab teriakan Wono dengan sebuah teriakan juga, menghindari pekak setiap telinga yang mendengar.

"BUDEG YA ...!" Wono berteriak semakin keras sambil mengacungkan sebuah sabit.

"Iya, tunggu!" Ghazea menyahut dengan suara standar, lalu berlari menuju ke arah Wono berdiri. "Ada apa, Pak?" tanya Ghazea dengan lirih, setelah berada di hadapan Wono satu meter.

Mata Wono melotot tajam dan berwarna merah seolah hendak memangsa Ghazea.

"MASUK ...!" Wono menarik kasar tangan Ghazea untuk masuk ke dalam rumah.

Ghazea meringis kesakitan, namum tak berani mengungkapkan.

"Mana uang seratus ribunya?" bisik Wono tepat di depan telinga Ghazea. "Sudah satu jam lebih!" lanjut Wono sambil menunjuk ke arah jam dinding.

Ghazea menggeleng sambil menunduk. "Belum dapat, Pak. Belum ada pembeli sama sekali," lirih Ghazea.

"Ambil di lodong!" Suara Wono berbisik namun ditekan tepat di telinga Ghazea.

Ghazea mundur satu langkah. Telinganya terasa pekak dan sakit mendengar kata-kata Wono.

Lodong adalah toples bekas tempat kue yang dimanfaatkan oleh Sirem untuk menaruh uang sementara dari hasil jualan di warung.

"Nenek ninggalin uang receh di lodong seratus ribu rupiah. Nggak mungkin kan, aku ambil uang itu sementara belum ada pembeli selama aku jaga warung," sahut Ghazea dengan pelan. Lidahnya pun ia gigit untuk menahan amarah dan ketakutan yang bercampur aduk.

"Seandainya aku bisa memilih, aku nggak mau dilahirkan dari keturunan manusia berjiwa setan ini. Sungguh orang tua yang nggak pantas dihormati, apalagi mendapat gelar 'BAPAK'. Beneran nggak pantas banget gelar itu!" umpat Ghazea dalam hati.

"GOBLOK ...! Ambil rokok satu bungkus sekarang juga!" kata Wono sambil mengacungkan sabit di depan leher Ghazea.

Lihat selengkapnya