Pagi-pagi ketika subuh, Ghazea merasa kakinya sudah lebih baik. Semalam Sirem tak henti-hentinya mengolesi minyak gosok sambil sesekali diurut.
"Zea, kalau belum baikan nggak usah sekolah dulu. Izin sehari gapapa. Kan bisa tanya ke Amira mengenai pelajaran hari ini," kata Sirem ketika melihat Ghazea belum lancar berjalan.
"Gapapa, Nek. Sudah lebih baik, kok! Repot kalau aku harus izin sekolah, apalagi hari ini ada ulangan harian," sahut Ghazea sambil menunjukkan wajah ceria yang terlalu dipaksa. Ia tak ingin sang nenek tahu lebih dalam tentang apa yang ia rasakan.
"Baiklah kalau begitu. Nanti biar Nenek ojekin ke sekolah," kata Sirem, yang masih merasa khawatir akan keadaan Ghazea.
"Oke, Nek. Aku pulang dulu ambil seragam dan buku-buku," pamit Ghazea.
Sirem berjalan ke arah Ghazea, memegang kedua pundak Gazea dengan tatapan penuh kasih sayang.
"Kalau bapakmu ngapa-ngapain kamu, teriak sekerasnya. Jika bapakmu masih manusia normal, dia akan malu ketika tetangga melihat," kata Sirem sambil geregetan.
Ghazea mengangguk, lalu meninggalkan Sirem.
"Nenek sebaik itu, tapi diam-diam aku dzolimi," gumam Ghazea sambil menahan air mata. "Ah ... aku bisa apa, nek?! Nanti kalau sudah dewasa dan sukses, aku akan balikin semua uang-uang nenek yang aku curi. Aku mau catat mulai hari ini," batin Ghazea. Tak terasa ia berpapasan dengan Wono ketika hendak memasuki rumah.
"Awas ya! Kalau nanti gagal setor seratus ribu, minggat aja kamu dari sini!" ancam Wono sambil menoyor dahi Ghazea.
Ghazea hanya bisa mengangguk tanpa bisa melawan. Ia pun cepat-cepat masuk kamar untuk mengambil seragam sekolah dan tas sekolah. Setelah itu, ia kembali ke rumah Sirem untuk mandi dan sarapan.
***
"Woi ... Ghazea, bagi uangnya donk! Gue laper, nih ...!" Ello menghampiri meja Ghazea dan duduk di atas mejanya.
Ello Maladewa adalah seorang preman di sekolah. Ketampanannya biasa saja, bahkan minus menurut Ghazea. Etikanya zonk, kapan pun dan di mana pun.
Banyak para gadis yang pura-pura baik kepadanya, padahal hanya untuk melindungi diri mereka dari keganasan Ello.
"Maaf Ello, aku nggak ada uang untuk dibagi-bagi!" Ghazea mengangkat dagunya, menantang Ello yang selalu seenaknya memperlakukan gadis-gadis di kelasnya.
"Nggak usah bohong Lo! Itu apa di saku kemeja Lo!" seru Ello sambil mencengkeram saku kemeja Ghazea, hingga buah dada Ghazea ikut dicengkeram.
Ghazea marah. Ia menampar pipi kanan Ello dengan spontan, hingga membuat pipi Ello memerah.
Para gadis bersorak sorai, senang ketika melihat Ello kesakitan. Namun sorak sorai tersebut berhenti seketika saat Ello menendang kursi guru hingga menimbulkan suara keras.
"Diam kalian!" Ello membanting sapu hingga gagangnya patah.
Para gadis pun diam seketika, lalu duduk di tempat duduk masing-masing.
"Ada apa ini? Kok pagi-pagi sudah gaduh? Eh Zea ... Lo kemarin sore jadi tontonan warga, ya? Leher Lo mau ditebas sama bokap Lo, ya?! Ha ha ha ... Gue nonton. Zea nangis teriak-teriak! Ha ha ha ...." Manyu baru saja masuk kelas, tapi sudah membuat mood Ghazea buruk.
"Ppfff ... guys, ternyata Zea bisa nangis juga. Ceritanya lehernya mau sditebas bokapnya guys. Coba Gue di sana, Gue bakalan nonton paling depan!" Ello meloncat dan duduk di meja guru sambil tertawa terbahak-bahak diikuti oleh para murid yang berada di kelas itu. Bahkan murid kelas lain pun mulai berdatangan, penasaran dengan tawa yang tercipta di kelas 7A -kelas Ghazea-.
"Wah ... kirain Gue keluarganya sayang sama Zea. Ternyata oh ternyata ...."
"Gue tetanggaan. Gue tahu kalau si Wono ngamuk, Zea pasti ikut dibantai. Hu hu hu ... pinter sih pinter di kelas. Tapi kasihan banget nasibnya kalau sudah di tangan Wono," celoteh Manyu, membuat Ghazea semakin kesal.
"Wono siapa, Wono?"
"Bokapnya Zea," sahut Manyu dengan cepat diikuti oleh tawanya yang keras.
"Kalau itu memang benar, Lo bukannya nolongin, Manyu?" celetuk salah satu gadis, yang masih sesekali mengajak ngobrol Ghazea.
"Ngapain nolongin? Ntar leher Gue ikut ditebas sama Wono. Enakan nonton. Gratis woi ... ha ha ha!" Manyu terus saja membuat Ghazea naik pitam.
"Huft ... sekolah di sini, aku banyakan di-bully. Enakan waktu SD dulu. Teman baik-baik semua. Rumahnya berjauhan jadi nggak tahu keseharian satu sama lain. Lah ini ... masuk SMP. Satu kelas sama tetangga. Mana mulutnya ember. Rasain Nyu Manyu, aku tandain wajahmu dan tunggu celakamu di tanganku!" batin Ghazea sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Eit ... eit ... ngapain tuh tangan mengepal-ngepal? Mau pukul Gue! Ha ha ha ... Gue tendang kaki Lo yang semalem ditumbuk Wono pakai alu!" ejek Manyu sambil terus tertawa.
Ejekan dari teman-temannya tersebut membuat Ghazea semakin menundukkan kepalanya. Ia merasa sangat malu dan berlari keluar kelas. Sakit hatinya semakin dalam ketika mereka semakin tertawa besar dan terus mengoloknya.
***
Ghazea pulang dengan tergesa-gesa, padahal kaki kanannya masih terasa nyeri. Ia pulang melewati sawah yang sepi, sambil menangis sesenggukan sendiri. Karena gerah dan kelelahan, ia pun beristirahat di tepi saluran irigasi yang berair jernih.
"Ha ha ha ...." Ghazea tertawa melihat mulut seekor ikan yang menganga mencari mangsa.