Red Queen #4: War Storm

Noura Publishing
Chapter #1

1. Mare

Lama kami tenggelam dalam kesunyian.

Corvium menganga di sekeliling kami, sarat dengan orang, tetapi terasa kosong.

Pecah belah dan kuasai.

Implikasinya jelas, garis pembedanya gamblang. Farley dan Davidson sama-sama memandangiku lekat. Aku balas menatap mereka.

Kurasa Cal tidak tahu, tidak mengira, bahwa Barisan Merah dan Montfort pantang membiarkannya terus menduduki takhta yang dia menangi. Kurasa dia menganggap mahkota lebih penting daripada pendapat orang Merah. Dan, kurasa aku tak sepatutnya lagi memanggil dia Cal.

Tiberias Calore. Raja Tiberias. Tiberias Ketujuh.

Itulah nama lahirnya, nama yang dia sandang kali pertama aku berjumpa dengannya.

Pencuri, demikianlah dia memanggilku ketika itu. Demikianlah namaku.

Aku berharap bisa melupakan kejadian satu jam terakhir. MunÂdur barang sedikit. Beringsut-ingsut ke belakang. Andai saja aku bisa menikmati kedamaian nan janggal, ketika yang kurasakan hanyalah nyeri karena otot-otot pegal dan tulang-tulang linu, barang sedetik lagi saja. Kehampaan begitu adrenalin surut selepas pertempuran. Keyakinan akan cinta dan dukungan darinya. Walaupun patah hati, aku ternyata tidak kuasa membenci Cal gara-gara pilihan yang dia buat. Belakangan, barulah rasa murka muncul.

Keprihatinan berkelebat di wajah Farley. Ekspresi itu ganjil untuknya. Aku lebih terbiasa menyaksikan kebulatan tekad nan dingin dan amarah berapi-api pada diri Diana Farley. Mulutnya yang berparut berkedut-kedut begitu dia menangkap tatapanku.

Akan kusampaikan keputusan Cal kepada anggota Dewan Panglima yang lain,kata Farley, memecah keheningan nan tegang. Kata-katanya pelan dan terukur. Hanya kepada Dewan Panglima. Ada akan mengantarkan pesan.

Perdana Menteri Montfort mengangguk setuju. Bagus. Menurutku Jenderal Drummer dan Swan mungkin sudah memperkirakan perkembangan terbaru ini. Mereka sudah mengawasi Ratu Lerolan sejak dia melibatkan diri.

Anabel Lerolan lumayan lama berada di istana Maven, setidaknya beberapa minggu,kataku. Entah bagaimana, suaraku tidak gemetar. Kata-kata keluar dengan tenang dan tegas. Aku harus terkesan tegar, kalaupun saat ini aku tidak merasa demikian. Sebuah dusta, tetapi dusta yang baik. Informasi yang Anabel miliki barangkali lebih banyak daripada yang sempat saya berikan kepada kalian.

kata Davidson, mengangguk serius. Dia memandangi lantai sambil menyipitkan mata. Bukan sedang mencari, melainkan sedang berkonsentrasi. Sebuah rencana seakan mengemuka di hadapannya. Perjalanan ke depan tidak akan mudah. Anak kecil juga tahu. Karena itulah aku harus kembali ke sana, imbuhnya, hampir-hampir seperti minta maaf. Padahal mustahil aku marah kepadanya, sebab dia hanya melaksanakan kewajiban. Buka mata dan telinga lebar-lebar, ya?

Kami akan membuka mata dan telinga lebar-lebar, Farley dan aku menanggapi secara serempak, alhasil mengagetkan satu sama lain.

Davidson beranjak dari gang, meninggalkan kami. Sinar matahari berkilat-kilat di rambut berubannya yang mengilap. Dia sengaja membersihkan diri sehabis pertempuran, dengan saksama membilas keringat dan jelaga, mengganti seragamnya yang bernoda darah dengan seragam bersih. Dengan begitu, Davidson dapat menampilkan pembawaan kalem, berkepala dingin, dan anehnya biasa-biasa saja, seperti lazimnya. Keputusan yang bijak. Kaum Perak mencurahkan banyak sekali energi untuk menjaga penampilan, memamerkan kekuatan dan kekuasaan mereka demi mendongkrak prestise khayali. Dan tidak ada yang lebih congkak daripada Raja Samos beserta keluarganya di menara yang menjulang di atas kami. Di samping Volo, Evangeline, Ptolemus, dan Ratu Viper yang mendesis-desis, Davidson tidak akan teperhatikan. Dia bisa melebur ke dinding jika ingin. Kedatangannya tidak akan mereka sangka-sangka. Kedatangan kami tidak akan mereka sangka-sangka.

Aku menarik napas patah-patah dan menelan ludah, memaksa diri untuk memikirkan konsekuensi berikutnya. Cal juga tidak akan menyangka.

Tiberias, hardikku dalam hati. Satu tangan kukepalkan, kuku-kukuku menusuk kulit sampai sakit. Panggil dia Tiberias.

Gedung-gedung hitam Corvium anehnya terkesan sepi dan kosong melompong selepas penyerbuan. Kupalingkan pandang dari sosok Davidson yang kian lama kian menjauh, untuk mencermati balkon yang mengelilingi segmen terdalam kota benteng. Serangan badai salju dari pembeku sudah lama sirna, kegelapan telah tersibak, dan segalanya kini terkesan lebih kecil. Kurang gagah. Prajurit-prajurit Merah dulu digiring melalui kota ini, sebagian besar niscaya menjalani mars untuk menyongsong maut di parit. Kini, kaum Merah berpatroli di benteng, jalanan, gerbang-gerbang. Kaum Merah duduk di samping raja-raja Perak dan membicarakan peperangan. Segelintir prajurit bersyal merah berjalan mondar-mandir, mata mereka jelalatan, senjata api yang sudah banyak terpakai siap di tangan. Barisan Merah tidak akan lengah, meskipun saat ini tidak ada alasan untuk tegang. Biar bagaimanapun, pasukan Maven sudah mundur, setidaknya untuk sementara. Volo Samos sekalipun tidak akan nekat untuk coba-coba menyerang dari dalam Corvium. Apalagi dia membutuhkan Barisan Merah, membutuhkan Montfort, membutuhkan kami. Apalagi Cal juga berada di sini. Cal Tiberias, dasar tolol beserta omong kosongnya mengenai kesetaraan. Sama seperti kami, Volo membutuhkannya. Membutuhkan nama, mahkota, dan kesediaan Tiberias Calore untuk menikahi putrinya yang terkutuk.

Wajahku panas membara. Malu akan kecemburuan yang membakar diriku. Kehilangan dia cuma perkara kecil. Banyak persoalan penting yang lebih layak untuk kukhawatirkan. Kehilangan dia semestinya tidak terlalu menyakitkan, apalagi jika dibandingkan dengan kemungkinan-kemungkinan lain mati, kalah perang, perjuangan berujung kesia-siaan. Namun, aku nyatanya merasa pedih. Aku semata-mata mesti tabah menanggung kenyataan ini.

Kenapa aku tidak mengiakan?

Aku menolak tawaran Cal. Menolak dirinya. Aku tercabik-cabik karena lagi-lagi dikhianati—oleh Cal, tetapi juga oleh diriku sendiri. Aku mencintaimu adalah janji yang kami buat bersama, pun sama-sama kami ingkari. Ucapan itu semestinya bermakna: Aku mengutamakanmu di atas yang lain. Kaulah yang paling kuinginkan. Aku selalu membutuhkanmu. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku rela berbuat apa saja agar kita tidak terpisah.

Namun, dia tidak akan rela. Aku juga tidak rela.

Aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mahkotanya, sedangkan dia tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tujuan perjuanganku.

Kebersamaan dengan Cal juga tidak sebanding dengan rasa takutku terhadap sebentuk kurungan lain. Pendamping, katanya, mengiming-imingiku dengan mahkota semu. Dia akan menjadikanku ratu, apabila Evangeline bisa dikesampingkan lagi. Aku sudah tahu dunia tampak seperti apa dari mata seorang tangan kanan raja. Aku tidak sudi hidup seperti itu lagi. Kalaupun Cal bukan Maven, singgasana masih sama. Singgasana mengubah orang, meracuni sosok yang mendudukinya.

Andai aku mengiakan, takdir nan janggal sudah menanti kami. Cal beserta mahkotanya, Ratu Samos, dan aku. Sebagian kecil dari diriku mau tak mau berharap jika saja aku mengiakan. Alangkah mudahnya jika begitu. Kemudian, aku tinggal mundur saja, melepas beban, mengecap kemenangan dan menikmati dunia yang tak terbayangkan. Aku bisa menyediakan kehidupan terbaik untuk keluargaku. Mengamankan kami semua. Dan bertahan bersamanya. Berdiri di sisi Cal, seorang gadis Merah yang menggandeng raja Perak. Memegang kekuasaan untuk mengubah dunia. Kekuasaan untuk membunuh Maven. Kesempatan untuk tidur tanpa bermimpi buruk dan hidup tanpa rasa takut.

Aku menggigit bibir kuat-kuat untuk mengusir rasa mendamba itu. Keinginan tersebut menggodaku dan aku hampir-hampir memahami pilihan Cal. Dalam keadaan terpisahkan sekalipun, kami sejatinya cocok untuk satu sama lain.

Farley bergeser, gerak-geriknya yang ribut menarik perhatianku. Dia mendesah, menyandar ke dinding sambil bersedekap. Berbeda dengan Davidson, Farley tidak repot-repot mengganti seragamnya yang bernoda darah. Pakaiannya tidak semenjijikkan bajuku, bebas dari lumpur dan kotoran. Darah perak menodai seragamnya, tentu saja, kini menghitam setelah kering. Baru beberapa bulan lalu dia melahirkan Clara dan dia bangga-bangga saja akan panggulnya yang melar. Simpati yang barusan dia rasakan telah lenyap, digantikan amarah yang berkilat-kilat di mata birunya. Namun, amarahnya tidak ditujukan kepadaku. Dia menengadah, ke menara di atas kami. Ke tempat majelis janggal Perak dan Merah tengah berunding untuk memutuskan nasib kami.

Dia di sana. Farley tidak menunggu aku menanyakan siapa yang dia maksud. Rambut perak, leher tebal, baju tempur norak. Entah bagaimana masih bernapas, padahal dia sudah menikam jantung Shade.

Kukuku menghunjam semakin dalam gara-gara memikirkan Ptolemus Samos. Pangeran Retakan. Pembunuh kakakku. Sama seperti Farley, aku mendadak ikut-ikutan murka. Sekaligus malu.

Karena kau membuat kesepakatan dengan adiknya. Kebebasanmu ditukar dengan nyawanya.

Demi kesempatan untuk balas dendam, aku mengakui sambil bergumam. Ya, aku memang bersumpah kepada Evangeline.

Farley menggeram, memamerkan gigi-giginya. Dia kentara sekali muak. Kau bersumpah kepada seorang Perak. Janji itu bernilai setara abu belaka.

Tapi, tetap saja aku sudah berjanji.

Farley mengeluarkan geraman jauh dari dalam tenggorokannya. Sambil membusungkan bahunya yang bidang, dia memutar tubuh hingga menghadap menara sepenuhnya. Aku bertanya-tanya seberapa besar kendali diri yang mesti Farley kerahkan supaya dia tidak berderap naik dan mencabut mata Ptolemus langsung dari batok kepalanya. Aku tidak akan menghentikan Farley jika dia berbuat begitu. Malahan, aku akan duduk di kursi dan menonton.

Kulonggarkan sedikit kepalanku, mengurangi rasa sakit nan menyayat. Aku maju selangkah pelan-pelan, memperkecil jarak di antara kami. Setelah ragu barang sejenak, kupegangi lengan Farley. Yang berjanji adalah aku. Bukan kau. Bukan orang lain.

Farley terdiam, sedangkan cemooh di bibirnya digantikan seringai. Dia menoleh untuk menghadapku, matanya yang biru terang memantulkan berkas sinar mentari. Jangan-jangan kau lebih cocok berpolitik daripada berperang, Mare Barrow.

Aku tersenyum pedih. Dua-duanya sama saja. Pelajaran pahit yang akhirnya kupahami. Menurutmu, apakah kau bisa? Membunuhnya?

Dulu, sekadar menyiratkan bahwa dia tidak bisa saja niscaya menuai dengusan dan cibiran. Setidaknya, reaksi macam itulah yang kuperkirakan. Farley adalah perempuan tangguh berkulit tebal. Dia sanggup melakukan apa saja yang memang perlu. Namun, sesuatu barangkali Shade, sudah pasti Clara, hubungan yang sekarang terjalin di antara kami memungkinkanku melihat sosok di balik tameng seorang jenderal teguh berhati batu. Farley bimbang, seringai terhapus dari bibirnya.

Entahlah, gumamnya.Tapi, aku tidak akan sanggup memandang diriku sendiri, memandang Clara, kalau aku tidak berusaha melakukannya.

Aku juga, kalau aku membiarkan kau mati karena coba-coba. Kucengkeram lengannya semakin erat. Tolong, jangan bertindak bodoh.

Lihat selengkapnya