Red Queen #4: War Storm

Noura Publishing
Chapter #2

2. Evangeline

MUDAH SAJA MEMBUNUH PEREMPUAN itu.

Sulur-sulur emas mawar terajut di antara permata-permata merah, hitam, dan jingga di leher Anabel Lerolan. Satu tarikan dan aku niscaya akan mengiris nadi leher si Penghancur. Menguras habis darahnya dan mengandaskan muslihatnya. Menamatkan nyawanya dan pertunangan yang dia rencanakan di hadapan semua orang di ruangan ini. Ibuku, ayahku, Cal—belum lagi para kriminal Merah dan orang-orang asing tercela yang terpaksa kami jadikan sekutu. Terkecuali Barrow. Dia belum kembali. Barangkali masih meratap karena kehilangan pangerannya.

Pembunuhan akan kembali mencetuskan perang, tentu saja, meluluhlantakkan aliansi yang sudah sarat retakan di sana sini. Bisakah aku bertindak demikian—menggadaikan loyalitasku demi kebahagiaan? Bertanya begitu saja sudah merupakan sebuah aib, sekalipun aku melakukannya diam-diam, hanya dalam hati.

Wanita tua itu pasti merasakan tatapanku. Matanya melirikku sepersekian detik, seringai di bibirnya mustahil tak tertangkap selagi dia menyandar ke kursinya yang dimeriahkan warna merah, hitam, dan jingga.

Itu adalah warna-warni Calore, bukan hanya Lerolan. Sangat jelas kesetiaannya ditujukan kepada siapa.

Sambil bergidik, aku menundukkan pandang dan justru memperhatikan tanganku sendiri. Satu kukuku retak-retak parah. Patah dalam pertempuran. Seiring satu helaan napas, aku membentuk salah satu cincin titaniumku menjadi cakar yang kurekatkan ke kuku tersebut. Kuketukkan cakar baruku ke lengan singgasana, sekadar untuk mengesalkan Ibunda. Dia melirikku dengan ekor mata, satu-satunya pertanda bahwa dia merasa muak.

Aku menghabiskan waktu untuk berkhayal membunuh Anabel sedikit terlalu lama, dan luput menghiraukan dewan yang sedang sibuk bersiasat. Jumlah kami telah jauh berkurang, hanya menyisakan sekumpulan pemimpin faksi. Panglima, bangsawan, kapten, dan ningrat. Pemimpin Montfort berbicara, kemudian Ayahanda, kemudian Anabel, begitu seterusnya. Mengumbar bahasa diplomatis, senyum palsu, dan janji kosong.

Kuharap Elane berada di sini. Aku seharusnya mengajak dia. Dia minta ikut. Malahan, dia memohon untuk ikut. Elane selalu ingin berada di dekatku, bahkan meski harus berhadapan dengan bahaya maut. Kucoba untuk tidak memikirkan dirinya.

“Biarkan aku ikut denganmu,” bisiknya kepadaku, puluhan kali, ratusan kali. Namun, ayahnya dan ayahku melarang.

Cukup, Evangeline.

Kusumpahi diriku sendiri. Mereka tidak akan menyadarinya di tengah-tengah kekisruhan ini. Biar bagaimanapun, Elane seorang bayangan, dan gadis tak kasatmata mudah diselundupkan. Tolly pasti bersedia membantu. Dia tidak akan mencegah istrinya ikut, tidak jika aku meminta bantuannya. Namun, aku tidak bisa. Kami harus memenangi pertempuran terlebih dulu, padahal belum tentu kami bisa menang. Aku tidak sudi membahayakan Elane. Dia berbakat, tetapi Elane Haven bukan pejuang. Dalam sengitnya pertempuran, Elane semata-mata hanya akan membuat yang lain cemas. Jangan sampai itu terjadi. Namun, sekarang ....

Hentikan.

Kuku-kukuku tertekuk ke lengan singgasana, ingin mencakar besi hingga tercabik-cabik. Di rumah, sekian banyak titian di Rumah Ridge dapat digunakan untuk terapi. Aku bisa merusak dengan damai. Menyalurkan amarah dengan mengubah patung ini itu tanpa henti, tanpa perlu mengkhawatirkan pendapat orang. Aku bertanya-tanya akankah aku bisa mendapatkan privasi di Corvium sini untuk berbuat serupa. Aku masih waras semata-mata karena berkhayal bisa berbuat begitu untuk melampiaskan frustrasiku. Aku menggarukkan cakar titanium ke tempat dudukku, menggesekkan logam ke logam. Lirih saja sehingga hanya Ibunda yang dapat mendengar. Dia tidak bisa menegurku di sini, di hadapan dewan janggal ini. Jika aku harus dipamerkan di muka umum, lebih baik aku memanfaatkan kesempatan ini sekalian.

Akhirnya, kupaksa diri untuk mengesampingkan pikiran mengenai leher rapuh Anabel dan ketiadaan Elane. Jika aku ingin berkelit dari rencana ayahku, aku setidaknya harus memperhatikan.

“Tentara mereka sedang mundur. Jangan sampai pasukan Raja Maven sempat berkonsolidasi,” kata Ayahanda dengan kepala dingin. Di belakangnya, jendela-jendela tinggi menara menunjukkan bahwa matahari mulai terbenam di balik awan-awan cakrawala barat. Bentang alam yang porak poranda masih berasap. “Dia pasti sedang menjilati lukanya.”

“Bocah itu sudah masuk ke Choke,” tukas Ratu Anabel dengan sigap. Bocah itu. Dia menyebut Maven seolah pemuda itu bukan cucunya. Kurasa sang Ratu tidak mau lagi mengakui fakta tersebut. Tidak setelah Maven membantu membunuh putranya, Raja Tiberias. Maven bukan darah dagingnya, melainkan darah daging Elara seorang.

Anabel mencondongkan tubuh sambil bertumpu ke siku, mengatupkan kedua tangannya menjadi satu. Cincin kawin lamanya, yang lecet-lecet tetapi masih berkilau, berkelap-kelip di jarinya. Ketika dia mengejutkan kami semua di Rumah Ridge, mengumumkan maksudnya untuk mendukung sang cucu, dia sama sekali tidak mengenakan logam. Untuk menyembunyikan diri dari deteksi indra magnetron. Sekarang, dia mengenakan logam secara terbuka, menantang kami menggunakan mahkota atau perhiasannya sendiri untuk mencelakakannya. Seluruh langkahnya sudah diperhitungkan. Selain itu, dia memiliki senjata sendiri. Anabel adalah seorang prajurit sebelum menjadi ratu, seorang perwira di front Lakelands. Dia seorang penghancur dan sentuhannya mematikan, dapat merusak dan meledakkan apa saja—termasuk manusia.

Andaikan tidak membenci strateginya yang melibatkanku, aku paling tidak akan menghormati kesungguhannya.

“Pada saat ini, sebagian besar pasukannya pasti sudah melalui Jeram Perawan dan menyeberangi perbatasan,” imbuh Anabel. “Sekarang mereka pasti di Lakelands.”

“Tentara Lakelands juga banyak yang menjadi korban, sama rapuhnya seperti pasukan Maven. Selagi bisa, kita sebaiknya melancarkan serangan. Menggempur pasukan yang tertinggal, setidaknya.” Ayahku memalingkan pandang dari Anabel kepada salah seorang bangsawan Perak bawahan kami. “Armada Laris bisa menyiapkan diri sekurang-kurangnya sejam lagi, bukan begitu?”

Jenderal Laris menjadi siaga di bawah tatapan ayahku. Botol minuman kerasnya sudah kosong, pria itu sempat mabuk gara-gara merayakan kemenangan. Sekarang dia terbatuk-batuk dan berdeham. Aku bisa mencium napasnya yang berbau alkohol dari seberang ruangan. “Bisa, Paduka. Paduka tinggal memberi perintah.”

Suara pelan memotongnya. “Saya menentang wacana itu.”

Sejak kembali ke ruang dewan, selepas pertengkarannya dengan Mare Barrow, baru kali ini Cal berkata-kata. Dia jelas tidak asal bicara. Sama seperti neneknya, Cal mengenakan baju hitam berpinggiran merah, sudah lama menanggalkan seragam pinjaman yang dia kenakan dalam pertempuran. Dia bergeser di tempat duduk di sebelah Anabel, mengemban posisi sebagai jagoan dan raja yang diunggulkan oleh neneknya. Pamannya, Julian dari Klan Jacos, duduk di kirinya, sedangkan Ratu Lerolan di kanannya. Dikawal oleh mereka berdua, bangsawan Perak sakti dari keluarga berkuasa, Cal mengejawantahkan kesatuan dan soliditas. Raja yang layak kami dukung.

Aku membencinya karena itu.

Cal bisa saja mengakhiri penderitaanku, membatalkan pertunangan kami, menolak permintaan Ayahanda untuk menikahkanku dengannya. Namun, demi mahkota, Cal mencampakkan Mare. Demi mahkota, dia memerangkapku.

“Apa?” Hanya itu yang Ayahanda katakan. Dia pria yang irit bicara dan jarang bertanya. Mendengar dia bertanya saja sudah meresahkan dan, mau tak mau, aku merasa tegang.

Cal menegakkan bahu, pelan-pelan membusungkan dadanya yang bidang. Dia menumpukan dagu ke buku-buku jari dan mengerutkan alis, sibuk berpikir. Dia terkesan lebih besar, lebih tua, lebih pintar. Selevel dengan Raja Retakan.

“Saya mengatakan saya menentang perintah untuk mengutus Angkatan Udara ataupun detasemen mana saja dari koalisi kita kalau tujuannya adalah untuk melakukan pengejaran ke wilayah musuh,” jawab Cal tenang. Harus kuakui bahwa, tanpa mahkota sekalipun, dia memiliki pembawaan ningrat. Pembawaan berwibawa yang menuai perhatian, atau malah respek. Tidak mengherankan, sebab dia dididik untuk menduduki jabatan raja, sedangkan Cal adalah murid yang sangat rajin. Neneknya tersenyum tipis, tetapi tulus. Dia bangga terhadap sang cucu. “Choke masih menjadi ladang ranjau, secara harfiah, dan kita kekurangan informasi yang bisa memandu kita melalui jeram. Bisa-bisa kita malah terperangkap. Saya tidak mau mempertaruhkan prajurit untuk itu.”

“Perang sudah lumrah mengandung risiko.” Aku mendengar Ptolemus berkata dari sebelah ayahku. Dia menegakkan diri di singgasananya, sama seperti Cal. Matahari tenggelam menyapukan warna kemerahan ke rambut Tolly, menjadikan helai-helai keperakan yang diminyaki tampak mengilap di bawah mahkota pangeran. Cahaya yang sama membanjiri Cal dengan warna-warni klannya, memerahkan matanya dan memanjangkan bayangan hitam di belakangnya. Tatapan mereka berdua beradu janggal, khas laki-laki. Segalanya adalah kompetisi, cemoohku dalam hati.

“Pengamatan yang menarik, Pangeran Ptolemus,” kata Anabel dengan nada kecut. “Tapi, Paduka Raja Norta sudah tahu perang itu seperti apa. Dan saya setuju dengan penilaiannya.”

Sekarang saja dia sudah memanggil cucunya raja. Dan bukan hanya aku yang menyadari pilihan katanya.

Cal menunduk, terperangah. Namun, dia sontak memulihkan diri. Dia mengatupkan rahang kuat-kuat, menunjukkan kebulatan tekad. Dia sudah membuat pilihan. Sekarang tidak bisa putar balik lagi, Calore.

Perdana Menteri Montfort, Davidson, mengangguk dari kursinya. Dia duduk sendiri di balik salah satu meja. Tanpa komandan Barisan Merah dan Mare Barrow, mudah untuk mengabaikannya. Aku hampir melupakan dia sama sekali.

Lihat selengkapnya