Red Queen #4: War Storm

Noura Publishing
Chapter #3

3. Mare

TAWAKU BERKUMANDANG KE DINDING-DINDING timur dan terus ke lapangan gelap. Aku terbungkuk-bungkuk kehabisan napas sambil menempelkan tangan ke tembok balkon yang mulus. Aku tidak bisa mengendalikan diri. Tawa sungguhan, yang bersumber dari dalam perut, menguasaiku. Tawaku hampa, patah-patah, dan parau karena jarang dikeluarkan. Bekas-bekas luka menggigit di sepanjang leher dan punggungku, tetapi aku tidak bisa menahan diri. Aku tertawa sampai rusukku nyeri dan aku harus duduk sambil menyandar ke batu dingin. Tawaku tidak kunjung berhenti, bahkan masih keluar sedikit-sedikit ketika aku menggigit bibir agar tertutup rapat.

Tidak ada yang dapat mendengarku selain petugas patroli dan aku ragu mereka peduli kepada seorang gadis yang tertawa sendirian dalam gelap. Aku berhak tertawa atau menangis atau menjerit sesukaku. Bagian kecil dari diriku ingin melakukan ketiganya. Namun, tawalah yang menang.

Aku kedengaran seperti orang sinting dan mungkin memang demikian. Aku jelas memiliki alasan untuk tertawa selepas kejadian hari ini. Di luar sana, orang-orang masih membersihkan Corvium dari jenazah. Cal lebih mengutamakan mahkotanya dibandingkan semua hal yang kukira kami perjuangkan. Pengkhianatan Cal masih membekaskan luka berdarah yang tidak akan bisa diobati oleh penyembuh mana pun. Luka yang mesti kuabaikan untuk saat ini, demi kewarasanku sendiri. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah memegangi wajah, menggertakkan gigi, dan melawan tawa bodohku yang terkutuk.

Betul-betul edan.

Evangeline, Cal, dan aku, bersama-sama menuju Montfort. Lelucon yang keterlaluan.

Itulah yang pada dasarnya kuutarakan dalam pesanku untuk Kilorn, yang masih tinggal dengan aman di Piedmont. Kilorn ingin mengetahui segalanya, sebanyak yang bisa kusampaikan. Setelah aku meyakinkannya agar tidak ikut, sudah sepatutnya aku mengabarkan perkembangan terbaru kepada Kilorn. Tentu saja aku memang tidak ingin dia ketinggalan berita. Aku ingin ada yang ikut tertawa bersamaku dan menyumpahi perjalanan yang akan datang.

Aku kembali terkekeh-kekeh muram sambil menyandarkan kepala ke tembok batu. Bintang-bintang berupa titik-titik belaka di langit sana, diredupkan oleh lampu-lampu Corvium sekaligus bulan yang baru terbit. Bintang-bintang seolah menyaksikan kami di kota benteng ini. Aku bertanya-tanya apakah dewa-dewi Iris Cygnet tengah tertawa bersamaku. Jika benar dewa-dewi itu ada.

Aku bertanya-tanya apakah Jon juga tertawa.

Begitu teringat kepada Jon, darahku sontak mendingin dan surutlah tawa sintingku. Darah baru itu, peramal sialan itu, berhasil kabur dari kami dan masih di luar sana. Namun, apa yang akan dia lakukan? Duduk di bukit dan menonton? Membiarkan mata merahnya jelalatan sementara kami semua saling bunuh? Apakah dia semacam dalang, yang semata-mata mengarahkan kami ke posisi, kemudian dengan senang hati membiarkan kami menyongsong sendiri masa depan yang sudah dia pilihkan? Akan kucari dia jika mungkin, tetapi itu mustahil. Dia pasti akan melihat kedatanganku. Kami hanya bisa menemukan Jon jika dia ingin ditemukan.

Kugaruk-garuk wajah dan kulit kepalaku dengan frustrasi, membiarkan kukuku menggeret kulit. Rasa perih mengempaskanku kembali ke kenyataan, sedikit demi sedikit. Begitu pula hawa dingin. Batu di bawah tubuhku kehilangan kehangatan seiring datangnya malam. Badanku menggigil di balik kain seragam tipis, sedangkan pinggiran tembok yang padat dan tajam terasa tidak nyaman. Namun, aku tetap bergeming.

Bergerak berarti pergi tidur sekaligus kembali ke bawah. Bertemu dengan yang lain di barak. Kalaupun aku cemberut dan berlari, aku tetap saja mesti menghadapi kaum Merah dan darah baru serta Perak. Julian, paling tidak. Aku bisa membayangkannya menunggu di tempat tidurku, siap menceramahiku lagi. Meski aku tidak tahu apa yang hendak dia katakan.

Menurut tebakanku, dia akan memihak Cal. Ketika semua ini usai. Ketika menjadi jelas bahwa kami tidak akan membiarkan Cal mempertahankan mahkotanya. Biar bagaimanapun, Kaum Perak setia kepada keluarga sedarah, dan Julian sudah pasti setia kepada mendiang saudarinya. Cal merupakan peninggalan terakhir sang saudari. Julian tidak akan berpaling dari Cal, sekalipun dia gembar-gembor tentang revolusi dan sejarah. Dia tidak akan meninggalkan Cal seorang diri.

Tiberias. Panggil. Dia. Tiberias.

Memikirkan namanya saja menyakitkan. Nama aslinya. Masa depannya. Tiberias Calore Ketujuh, Raja Norta, Api Utara. Aku membayangkan dia di takhta adiknya, aman dalam kungkungan Batu Hening. Atau, akankah dia mengeluarkan singgasana api dari kaca berlian yang dulu diduduki ayahnya? Menghancurkan semua keping peninggalan Maven, menghapusnya dari sejarah? Dia akan membangun kembali istana ayahnya. Kerajaan Norta akan kembali seperti sediakala. Mengecualikan Raja Samos di Retakan, segalanya akan kembali seperti seharusnya pada hari ketika aku jatuh ke arena.

Dengan kata lain, menafikan semua yang telah terjadi sejak hari itu.

Aku pantang membiarkan itu terjadi.

Untung bukan aku seorang yang ingin mencegahnya.

Sinar rembulan berpendar ke batu hitam, menjadikan ornamen perak di tiap menara dan balkon berkilau keperakan. Petugas patroli berkeliling di bawah sana, penjaga-penjaga berseragam merah dan hijau bermata awas. Barisan Merah dan Montfort. Rekan mereka, orang-orang Perak yang berpakaian sesuai warna klan masing-masing, relatif jarang dan cenderung berkelompok. Kuning Laris, hitam Haven, merah-biru Iral, merah-jingga Lerolan. Tidak ada warna Samos. Mereka sekarang ningrat, berkat ambisi dan peluang Volo. Mereka tidak perlu membuang-buang waktu untuk kegiatan remeh seperti ronda malam.

Aku bertanya-tanya apa pendapat Maven. Saking terobsesinya Maven kepada Tiberias selama ini, aku tidak bisa membayangkan keberadaan raja tandingan lain seperti Volo akan membebani pikirannya seperti apa. Segalanya berkisar di seputar sang kakak, padahal Maven sepertinya sudah memiliki semua yang dia inginkan. Mahkota, takhta, aku. Maven masih saja merasa dibayang-bayangi. Gara-gara Elara. Wanita itu mengukir dan membengkokkan sang putra sesuai kebutuhannya, memangkas sekaligus membentuk Maven. Pada dasarnya, Elara mengompori obsesi Maven terhadap Tiberias supaya dia sendiri bisa memperoleh kekuasaan. Sebaliknya, semakin menggebu-gebu obsesi sang putra terhadap Tiberias, semakin besar pulalah hasrat Maven akan kekuasaan. Sepeninggal ibunya, akankah Maven terobsesi juga kepada Raja Volo? Atau, apakah hasrat Maven yang terkelam dan paling berbahaya akan terus menyasar kami semata? Bunuh Tiberias, kuasai aku?

Hanya waktu yang bisa menjawab. Ketika Maven menyerang lagi—karena dia pasti akan menyerang lagi—barulah aku akan tahu.

Aku hanya bisa berharap semoga kami sudah siap ketika saat itu tiba.

Pasukan Davidson, Barisan Merah, dan upaya infiltrasi kami yang kian lama kian luas—kami saja sudah cukup. Harus begitu.

Namun, bukan berarti aku tidak boleh mengambil tindakan untuk berjaga-jaga.

“Kapan kita berangkat?”

Dibutuhkan interaksi mengerikan untuk bertanya sana sini hingga aku menemukan jalan ke ruangan Davidson. Dia dan para petinggi Montfort menduduki sejumlah kantor besar di sektor administratif. Barisan Merah bermarkas di situ juga untuk sementara sekalipun Farley sedang tidak ada. Para perwira menanggapi kedatanganku sambil lalu, memberi jalan bagi orang yang masih mereka panggil Gadis Petir. Kebanyakan sedang sibuk mengemasi barang. Sebagian besar berupa kertas, map, dan bagan. Benda-benda yang pastilah bukan milik orang-orang yang kini menguasai tempat ini. Informasi hanya untuk konsumsi orang-orang yang lebih pintar daripada aku, tentunya. Barangkali peninggalan para perwira Perak yang semula menempati ruangan ini.

Ada, salah seorang darah baru yang kurekrut, berada di pusat aktivitas. Sebelum disimpan, tiap lembar kertas akan dia amati terlebih dulu. Ada menghafal semua, menggunakan memori sempurna yang menjadi kesaktiannya. Aku menangkap tatapannya selagi melintas dan kami pun saling mengangguk. Sesampainya kami di Montfort, Ada akan diperbantukan di Dewan Panglima atas perintah Farley. Kurasa kami tidak akan berjumpa lagi untuk waktu yang lama.

Davidson berpaling dari mejanya yang kosong. Ekor matanya yang sipit berkerut-kerut, menyiratkan senyuman. Walaupun kantor ini berlampu terang menyilaukan, dia kelihatan tampan seperti biasa. Berwibawa. Sangar. Memiliki kekuasaan setara raja meskipun tak bergelar raja. Ketika dia melambai agar aku mendekat, aku menelan ludah, teringat akan penampilannya saat penyerbuan. Berlumur darah, kecapekan, takut. Dan gigih. Sama seperti kami semua. Aku menjadi sedikit tenang karenanya.

“Kerja bagus barusan, Barrow,” katanya sambil mengedikkan kepala ke arah menara sentral.

Aku mengerjapkan mata sambil mendengus. “Maksud Anda karena saya tutup mulut?”

Di dekat jendela, ada yang tertawa. Aku melirik dan melihat Tyton menyandar ke kaca sambil bersedekap, rambut putihnya menjuntai ke salah satu mata. Dia juga berseragam hijau rimba bersih, sekalipun agak kependekan di bagian tungkai dan pergelangan tangan. Tidak ada lambang petir pertanda identitasnya yang sama sepertiku, seorang elektrikon. Karena yang dia kenakan bukan seragamnya. Dia mengetukkan jemari ke lengan, seperti sedang memamerkan senjata.

“Memangnya bisa?” tukas Tyton tanpa memandangku, suaranya dalam.

Davidson memperhatikanku sambil menggeleng kecil. “Sebenarnya, aku senang karena kata-katamu tadi, Mare. Mengenai tawaranmu untuk menemaniku pulang.”

“Seperti yang saya bilang, saya penasaran—”

Sang Perdana Menteri mengangkat tangannya untuk menghentikanku. “Sudahlah. Menurutku satu-satunya orang di sini yang bertindak atas dasar rasa penasaran belaka hanyalah Lord Jacos.” Wah, dia memang tidak salah. “Apa yang sebetulnya kau inginkan dari Montfort?”

Di jendela, Tyton akhirnya sudi memalingkan pandang kepadaku, matanya berkilat-kilat diterpa cahaya lampu.

Aku mengangkat dagu. “Yang Anda janjikan. Cuma itu.”

“Relokasi?” Sekali ini, Davidson sungguh-sungguh tampak terperanjat. “Kau ingin—”

“Saya ingin keluarga saya aman.” Suaraku tidak gentar. Kupraktikkan saja secuil pelajaran etiket dari seorang mendiang Perak yang masih kuingat. Punggung tegak, pundak lurus. Terus tatap mata lawan bicara.

“Kita benar-benar sedang berperang,” kataku. “Norta, Piedmont, Lakelands, dan Republik Anda juga. Di pihak mana pun, tidak ada yang aman. Tapi, negara Anda adalah yang terjauh dan sepertinya yang terkuat. Pertahanan negara Anda paling solid, setidaknya. Menurut saya, akan lebih baik apabila saya mengantar sendiri keluarga saya ke sana. Sebelum saya kembali untuk menyelesaikan perjuangan yang sudah dirintis oleh orang-orang yang lebih baik.”

“Janji relokasi hanya untuk Kaum Darah Baru, Nona Barrow,” kata Davidson pelan. Kesibukan di sekeliling kami hampir menenggelamkan suaranya.

Perutku mencelus, tetapi kutegaskan ekspresiku. “Kurasa tidak begitu, Perdana Menteri.”

Davidson lagi-lagi tersenyum datar, mundur ke balik topengnya yang biasa. “Kau sungguh mengira aku tidak punya hati?” Lelucon aneh, tetapi Davidson memang pria yang aneh. Mulutnya terkembang, menampakkan gigi-gigi yang rata. “Tentu saja keluargamu dipersilakan datang. Montfort akan dengan senang hati menyambut mereka sebagai warga negara. Ibarem, sepatah dua patah kata?” panggilnya ke balik bahuku.

Lihat selengkapnya