Sekopku sudah bekerja sedari pagi, bersama dengan diriku yang bercucuran keringat. Kapas-kapas ini sungguh berat, menguras banyak tenaga. Hampir saja mematahkan batang sekopku. Mengapa disebut kapas kalau seberat ini? Menyusahkan saja…
Sambil menunggu tamu selanjutnya, aku sempatkan membuat teh krisan hangat. Aromanya sanggup memadamkan keletihanku. Meski aku berkeringat, cuaca di siang ini sungguh dingin, berbanding terbalik dengan malam hari. Sampai sekarang, aku masih tidak mengerti musim-musim di desa ini.
Aku menatap lampion yang padam itu. Gambar bintang yang cemerlang terlukis di setiap sudut kacanya. Pantas saja sinarnya memancar unik. Aku baru menyadarinya sekarang.
Ketika menyeruput teh krisan ini, seorang gadis remaja menghampiri. Spontan duduk di sebelahku, merampas langsung teh di tanganku. Aku tersentak dengan sikapnya. Tanpa sadar, melontarkan pertanyaan dengan nada agak meninggi.
“Apa yang kamu lakukan di sini? Siapa kamu?”
Ia mengacuhkanku, dengan kasar menaruh gelas di sampingku dan masuk ke rumahku. Bukan hanya itu, sepatu hitamnya juga sama menjengkelkannya. Meninggalkan jejak penuh lumpur di mana-mana.
“Hei!” seruku geram.
Aku bangkit, mengikutinya. Tetapi sepatuku juga sama kotornya. Menambah pekerjaan baru untukku. Kerja bagus. Sungguh.
“Apa yang kamu lakukan? Taruh itu!”
Darahku mendidih melihat jejak kakinya tertinggal di mana-mana. Apa-apaan anak ini? Tidak punya sopan santun!
“Kenapa keramik ini penting? Kan bukan milikmu?”
“Apa?”
“Kamu tuli, ya?”
Tahan, tolong tahan amarah. Ia hanya anak remaja berusia belasan tahun. Masa iya aku beradu mental dengannya?
“Keramik itu milikku. Tolong taruh di tempatnya semula.”
“Aku nggak percaya, tuh. Kata wanita gendut, semua barang di sini dan kamu itu miliknya.”
“Kamu bertemu wanita gendut?”
“Ck… ck… ck… masa nggak kenal bosmu sendiri, sih?”
Ah… sial, anak ini ternyata sang tamu. Oke, mari redamkan amarah ini. Kamu harus ingat, kalau ini adalah pekerjaan. Seberat apa pun tantangannya.
“Ah… kamu si gadis itu?”
“Lambat banget sadarnya, sih… jadi nggak yakin konsultasi sama kamu.”
Rasanya aku ingin mengusir anak ini dan menaruh namanya di dalam daftar hitam. Ah… sudahlah, aku tinggal ganti baju dulu.
“Duduklah dulu. Aku akan ganti baju sebentar. Kau suka minuman apa? Teh? Cokelat?”
“Bir! Ada bir, kan?”
“Tidak ada!”
Aku sama sekali tak tahan dengan keinginannya. Kutinggalkan gadis itu dan berganti pakaian.
Selang waktu berlalu, aku membuat cokelat panas untuk remaja itu. Entah siapa namanya, aku tidak bertanya. Karena di pulau ini, tabu menyebut atau memberitahukan sebuah nama. Di rumah ini pun tidak kalah anehnya. Seperti memberikan apa pun keinginan para tamu. Tidak ada aturan, tidak ada norma.
Apa aku berikan bir saja? Tidak melanggar aturan apa pun, bukan?
Ketika mengambil bir di penyimpanan belakang rumah, kapas-kapas biru perlahan mulai memudar, melayang ke udara, dan menghilang layaknya busa. Menariknya, langit-langit dihiasi motif awan indah namun bernuansa mistis. Terbesit pertanyaan sederhana: “Di mana aku sebenarnya?” dalam hati. Sama sekali tak tersirat dari kejadian aneh ini. Aku merasa… berjalan begitu saja.
“Kamu! Kok malah melamun, sih!”
Suara gadis itu memekik, menyadarkanku dari lamunan.
“Ah… aku akan ke sana.”