Warna pepohonan menjadi kuning kejinggaan. Buah yang jatuh berkilau bagai emas yang baru saja dimurnikan. Andai bisa kujual, mungkin aku sudah pindah dari rumah tua ini. Tapi rumah seperti apa yang bisa mengalahkan pemandangan di sini? Lihatlah, danau yang memantulkan cahaya matahari itu berkilap seperti permata. Posisi jendelanya pun pas, menghadap ke utara, menyuguhkan pepohonan rindang berwarna oranye keemasan.
Ting!
Suara oven! Akhirnya teh krisan ini tidak sendirian. Mari lihat kue cokelat kering yang sudah matang.
Semenjak wanita karier itu meninggalkan banyak alat-alat pembuat kue, aku semakin berkembang. Banyak resep menjadi bahan eksperimenku, dan hasilnya sukses besar.
Oke, semua sudah siap. Mari santap kue dan teh krisan ini.
Tok! Tok! Tok!
Baru saja lidah ini akan merasakan nikmatnya kue buatanku, tetapi tamu keempatku sudah datang. Kukuletakkan kue di dekat teh krisan, kututup dengan kain putih bercorak awan mega mendung, lalu menuju pintu untuk menghampiri tamuku.
“Selamat siang.”
“Siang.”
Seorang lansia berpakaian unik, seperti pakaian khas suatu tempat. Begitu anggun, namun membumi. Renda-renda yang membentuk pola bunga melekat erat membungkus tubuhnya. Dan seorang wanita muda?
“Beliau tersesat menuju rumah ini.”
Suaranya wanita muda itu menggema lembut, mengalir layaknya melodi dari hutan tak bernama. Gaun yang dikenakannya juga tidak biasa. Ada harum pohon tua yang basah oleh hujan darinya. Bunga di tangannya pun aneh, transparan seperti embun pagi. Bunga apa itu?
“Halo?”
“Ah... maafkan saya.”
“Bolehkah nenek tua yang rentan ini masuk? Aku tidak kuat berdiri lagi.”
“Ah... oh... silakan, Nek. Maafkan saya, hehe.”
Ada apa denganku... kenapa suasana dari wanita itu menjeratku? Seperti ingin membawaku ke dunia... yang tidak diketahui.
“Saya permisi.”
“Tunggu! Nona, maukah Anda mampir?”
Matanya, indah sekali... aku ingin terus menerus memandanginya.
“Saya permisi dulu.”
Ah... dia pergi.