REDEFINE

Agnes Wiranda
Chapter #3

Joanka Alfiano Batara

“Aku enggak ada dalam pilihan.”

“Kamu bukan pilihan. Hanya ada satu.”

           Suasana kantin masih sepi mengingat bel istirahat belum berbunyi, hanya ada beberapa anak yang sudah mengambil posisi. Salah satunya Joanka Alfiano yang sedang merapikan rambutnya dengan gaya side-swept pompadour. Sebagai ketua komplotan yang paling digandrungi cewek-cewek di SMA Nusantara, ia memakai pomade untuk menambahkan kesan sleek dan maskulin sebelum menjemput Metta ke kelas.

           “Luar biasa,” kata seorang cowok berkulit putih pucat yang duduk di depan Joanka−Mikha. Matanya yang lancip meneliti. “Lo selalu berusaha terlihat rapi tiap kali pengin ketemu Metta, ya.” Mikha sengaja menekankan kata berusaha terlihat rapi. Soalnya, Joanka yang dikenal sebagai ketua komplotan paling berbahaya itu memang selalu berpenampilan amburadul layaknya preman setiap hari, namun selalu merapikan diri kalau sudah berurusan dengan Metta Ivasyana−sahabatnya dari kecil.

           “Gue enggak mungkin membiarkan tangan Metta lengket, akibat keringat yang menempel waktu kami gandengan.”

           “Bukannya gandengan lo selalu ditolak, ya?” celetukan itu terbilang berbahaya. Pasalnya, Joanka langsung menoleh dengan tampang keruh. Enggak salah lagi, pelakunya adalah Gevariel−salah satu anggota komplotan dengan posisi paling aman−Penasihat Perang.

           “Cewek itu selalu haus akan kasih sayang.” Geva meneruskan aksinya, “Apa jadinya kalau enggak ada kontak fisik sama pasangan? Mungkin, ketertarikannya sama lo perlu dipertanyakan.”  Kalau ada yang bilang tatapan bisa membakar, mungkin inilah maksudnya. Joanka seakan ingin membumihanguskan Geva yang bisa-bisanya memasang tampang cuek setelah menyakiti hatinya. Ya, selama ini Metta memang selalu menolak skinship dalam bentuk apa pun. Enggak terkecuali untuk sekadar bergandengan, dengan alasan yang belum jelas. Tapi, please, Geva enggak harus membuatnya sejelas itu, kan? Memalukan.

 “Mending jemput Metta sekarang. Lo enggak mau, kan, jadwal ngambeknya diperpanjang?” Mikha mengambil jalan tengah. Dia tahu, Joanka sensitif jika membahas soal skinship, bisa-bisa moodnya rusak seharian karena memikirkan cara untuk menggandeng Metta. Padahal, Mikha tahu jelas kalau Metta punya alasan saat memutuskan enggak ada skinship di hubungan mereka. Mendengar perkataan Mikha, Joanka bergegas meninggalkan kantin yang masih sepi untuk menjemput Sang Pujaan Hati di kelasnya.

***

“Lama?” tanya Metta−sekadar basa-basi, saat melihat cowok yang bersidekap sambil bersandar di dinding depan kelasnya. Enggak bermaksud judes ke pacar sendiri, nada bicara sarkasnya memang pukul rata.

Cowok itu mendongak, menghela napas. “Iya,” sahutnya. Lagi-lagi Metta membuatnya menunggu lama. Padahal bel istirahat berbunyi lima belas menit yang lalu, dan Metta tahu Joanka sudah ada di depan kelasnya jauh sebelum bel berbunyi. Tetapi, cewek itu masih saja berkutat dengan buku pelajaran. Hal ini yang kadang membuat Joanka meragukan perasaan Metta. Benarkah cewek jutek super cantik di depannya ini memiliki perasaan yang sama?

“Yuk,” ajaknya.

Sesampainya di kantin, Joanka dan Metta duduk di salah satu meja kantin yang memiliki empat kursi. Letaknya benar-benar di tengah, karena kursi lain sudah disesaki siswa lain. Metta duduk sambil memandangi Joanka dan mendesah pelan. Lagi-lagi Joanka terlihat sibuk dengan ponselnya. Cowok itu enggak berkutik dari ponsel. Bahkan Joanka enggak melirik Metta barang sedikit pun sesampainya di kantin, mungkin masih kesal akibat dibuat menunggu lama. Menyebalkan.

Metta menelungkupkan wajah dengan sebal, menatap orang yang saat ini baru saja berbaikan dengannya sedang sibuk mengetikkan sesuatu diponsel.

"Joan," panggilnya pelan. Jujur saja, dari tadi ia sudah lelah memanggil cowok itu dengan nada menjijikan seperti ini. Agak memelas perhatian. Namun, jari-jari cowok itu masih saja menari di atas keyword ponsel. Sama sekali enggak menggubris. 

Matanya senantiasa menatap ponsel, enggak menyadari kalau Metta sudah kesal sekali. "Ih, nyebelin banget sih," gerutu Metta. "Joankaaa …." ujar Metta sedikit keras. Biar cowok itu sadar, kalau Metta sudah kesal dengan sikapnya dari tadi.

Joanka mendongak dan menatap Metta sambil memamerkan senyum yang bisa membuat dedek-dedek gemesh saling bunuh cuma buat mendapatkan senyum seperti itu dari seorang Joanka.

Aih, asdfghjkl.

"Kenapa, sayang?” tanyanya lembut. “Maaf, tadi grup basket rame. Rencananya besok mau sparing sama SMAN 2.” Sebenarnya, Joanka sengaja menguji ketahanan Metta kalau dirinya lah yang enggak dipedulikan. Metta mendengus, terlanjur kesal. Karena enggak mendapat sahutan, Joanka bertanya lagi, "Kamu mau makan apa? Nanti aku pesenin."

Metta mendongak dan menatap tulisan-tulisan menu pada spanduk besar yang tergantung.

"Kamu lebih suka bakso atau mi ayam, Jo?" tanya Metta.

“Kamu,” jawab Joanka serius.

“Aku enggak ada dalam pilihan.”

“Kamu bukan pilihan. Hanya ada satu.”

Lihat selengkapnya