Joanka menyeka bulir-bulir keringat dengan lengan kaos olahraganya yang basah. Di depannya, Princess tampak terengah-engah sambil berjongkok memeluk sebuah bola basket.
Cuaca siang itu sedang mendung, makanya sepulang sekolah Princess meminta Joanka untuk mengajarinya bermain basket. Alasannya, karena tidak terlalu terik.
Joanka terpaksa menerima ajakan Princess kali ini, karena terlajur berjanji tempo hari. Padahal, ia menyesal sekali sudah menanggapi Princess di hari pertama mereka bertemu.
Biasanya sekesal apa pun Joanka saat tidak mendapatkan perhatian Metta, ia sama sekali tidak berniat untuk terlibat dalam permainan modus asmara cewek-cewek yang pengin mendekatinya. Tidak ada yang berbeda dari Princess, namun anehnya Joanka seakan tidak bisa menolaknya. Cewek itu terlalu ramah dan polos. Jahat sekali Joanka kalau tidak bersedia membantunya, padahal mereka teman satu kelas. Sekarang ia sendiri yang kena getahnya. Sudah lelah seharian di sekolah, waktu bersama Metta berkurang juga. Ini sih namanya ... sudah jatuh, tertimpa tangga.
"Udahan aja dulu kalo capek," saran Joanka. Sebenarnya ia ingin cepat-cepat pulang. Tapi, tidak enak juga kalau seolah di antara mereka berdua justru Joanka yang terlihat lemah.
"Enggak. Gue belum capek, kok." Princess berdiri lalu tersenyum manis. Tidak peduli pakaian olahraganya sudah banjir keringat, dia sangat menikmati permainan ini. Jarang-jarang dapat kesempatan berduaan seperti sekarang tanpa Metta di tengah-tengah mereka.
"Lo payah, enggak bisa masukin bola karena kependekan," ejek Joanka sambil merebut bola dari tangan Princess, mendribblenya lalu melempar ke ring. Masuk.
"Makanya ajarin gue dong ...." Princess merengek manja. Berusaha bersikap manis, namun sayangnya Joanka sudah berlatih untuk kebal terhadap pesona selain Metta.
"Maksudnya, ajarin buat tinggi?" Joanka mulai tidak sabar. Dalam skala prioritasnya, Metta nomor satu. Ia tidak punya waktu lebih untuk dihabiskan dengan cewek lain semacam Princess ini. "Gue udah capek, mendingan lo coba belajar shoot sendiri. Kalau udah bisa, baru panggil gue." Joanka melipir ke tepi lapangan. Matanya menangkap sosok cewek yang sudah beberapa hari ini jelas-jelas mengibarkan bendera perang kepadanya.
Metta dan kedua sahabatnya−Kara dan Sacha yang juga memakai kaos olahraga tampaknya baru keluar dari lapangan futsal indoor. Metta sedang mengikat tinggi rambutnya yang basah oleh keringat. Cewek itu memakai kaos olahraga berwarna ungu yang ngepas di badan, dan celana training senada yang sama ketatnya seakan menegaskan kalau Metta sengaja memamerkan kaki langsing nya. Hal itu pun sukses membuat Metta terlihat seperti model internasional di mata Joanka. Ah, memangnya bagian mana dari Metta yang dianggap sebuah kekurangan oleh Joanka? Metta selalu saja menjadi hal paling sempurna baginya.
Joanka segera menghampiri Metta dan merangkul dari belakang, tidak sadar tempat. "Sayangku ...." panggil Joanka manja, membuat Sacha dan Kara hampir muntah mendengar suaranya yang dibuat sok imut. Untung saja tidak ada yang benar-benar berani muntah di depan Joanka karena masih sayang nyawa.
"Apaan sih, Jo. Lepas!" Metta menepis kasar. "Keringat kamu lengket," hardiknya. Rasanya Metta malu sekali jadi pusat perhatian anak-anak yang masih di lapangan karena menjadi pelampiasan sikap gila Joanka. Namun, cowok itu seakan tidak rela melepas rangkulan. "Joanka, kalau kelihatan guru piket kita bisa dihukum."
"Biarin." Joanka merengut seperti bayi. "Beberapa hari ini kamu menghindar, aku jadi kangen."