REDEFINE

Agnes Wiranda
Chapter #6

Yordan Arnoldus Gamgenora

"Tuh kan, telat." Metta menatap barisan siswa yang sedang upacara.

"Ck, selow. Sini." Mikha yang sedari tadi berdiri di belakang menggiringnya menuju ke sebuah celah kecil di balik tanaman merambat yang berada di samping pagar utama.

"Mik, lo mau bawa gue ke mana, sih?" Metta masih saja protes karena dibawa lewat jalan yang menurutnya sangat kotor. Tempat yang bahkan tidak pernah diketahuinya saat nyaris satu tahun bersekolah di Nusantara.

"Mau masuk enggak, sih?" tanya Mikha, yang sebenarnya tidak terdengar seperti pertanyaan karena dia langsung menyeret Metta bersamanya. Menit berikutnya, mereka sudah berada di belakang gudang sekolah yang lama tidak terpakai.

Metta tidak mengatakan apa-apa, hanya diam dan tetap berjalan lurus ke depan. 

"Eh!" Mikha lagi-lagi menahan lengan Metta yang suka bego kalau lagi sama Mikha. Jangan tanya alasannya, karena masih belum diketahui.

"Kalau lewat sana ..." Mikha menunjuk jalan di depannya, "entar kita bisa ketahuan Pak Aton," lanjutnya setengah berbisik.

"Oh iya," kata Metta polos, "terus gimana?" Sebenarnya, Metta tidak tahu harus melakukan apa berhubung dia jarang terlambat. Sama sekali tidak tahu cara menghindari hukuman secara baik dan benar. Tapi kali ini, mereka terlambat karena Mikha yang lagi-lagi bangun kesiangan akibat nonton drama korea. Sialnya Metta terlalu gengsi untuk minta jemput Joanka. Sebenarnya, Metta bisa saja minta antar kakaknya−Gavin, tapi dia malas sekali kalau harus membangunkan Gavin yang susah sekali dibuat sadar. Bahkan Metta yakin, biarpun bom meledak di samping telinganya, Gavin tidak akan bangun sebelum matahari tepat berada di tengah.

"Temanin gue sarapan, ya." Mikha melihat-lihat sekitar. Sekadar memastikan kalau perjalanan mereka ke kantin bakal aman dan tidak bertemu guru piket. "Gue laper, belum sarapan," lanjutnya setelah memastikan kondisi aman.

"Dasar sesat!" Metta memukul bahu Mikha sepenuh hati.

"Sesat-sesat gini juga lo ikutin," cibir Mikha.

"Iya, ya. Kayaknya mau lo nyeret gue ke neraka juga gue ikutin," jawab Metta sambil memelotot sadis dengan tatapan membunuh yang hanya disambut Mikha dengan nyengir kuda. Mereka lantas duduk di bangku terpojok kantin, tempat para guru tidak akan bisa melihat mereka.

Mikha, dengan santainya memesan sarapan hanya untuknya, sedangkan Metta duduk sendirian, sibuk main handphone.

"Enggak bermutu banget, sih. Kenapa coba, seisi timeline gue cuma berita tentang Aurelia dan Derwin yang baru putus? Ya kali, emang enggak ada berita lain yang lebih menarik apa?"

Metta masih saja scrolling-scrolling timeline instagram tanpa minat sampai mendengar Mikha mengobrol dengan seseorang yang bukan dirinya. Ia mendongak, lalu menemukan seorang cowok yang seumuran dengan mereka lagi tos ala bro-bro-an sama Mikha. Ada hal yang aneh dari cowok itu. Meskipun ia tidak banyak bergaul dengan anak-anak seangkatannya yang berada di kasta bawah, tapi ia yakin belum pernah melihat cowok itu. Lagi pula, mana ada cowok yang tidak menyapa Metta walaupun baru pertama kali berpapasan. Tapi kali ini, sumpah. Metta berani sumpah demi apapun juga, kalau cowok yang sedang berbicara sama Mikha itu ganteng sekali. Bukan berarti lebih ganteng daripada Joanka, tetapi mereka ganteng dengan cara yang berbeda. Badannya tinggi, tegap dan bahunya kelihatan kokoh sekali. Sangat pelukable. Kulitnya putih, dan kalau ditanya apa yang pertama kali melintas di pikiran Metta saat melihat cowok itu adalah gantengnya, agak kurang manusiawi. Wajahnya tegas, tapi manis di saat yang bersamaan. Matanya tajam dengan lingkaran hitam samar di garis bawah. Ada anting di telinga kirinya yang memberi kesan bad boy.

Sialnya, cowok itu sadar dan berbalik saat Metta sedang menatapnya dengan tatapan kagum. Tatapan mereka bertemu terkunci beberapa detik sebelum cowok itu melengos pergi.

"Siapa?" tanya Metta, tidak sanggup lagi menahan rasa ingin tahu.

"Yordan," jawab Mikha sekenanya. Dia memasukkan risoles kentang ke mulutnya.

Lihat selengkapnya