Metta mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke lantai dengan gestur tidak sabar, sebelum akhirnya merebahkan kepala bosan di meja baca perpustakaan yang panjang.
Menunggu Mikha selesai latihan futsal adalah hal yang paling tidak Metta sukai.
Cowok itu lupa waktu dan membiarkan Metta persis anak hilang yang jadi parasit wifi di perpustakaan.
"Sial, bosen banget ih," rutuknya kesal. Ia mengeluarkan headset, menyumbat kedua lubang telinga sambil bolak-balik buka instagram-whatsapp-wattpad. Tidak ada satu pun notifikasi yang masuk.
"Katanya cuma sejam, padahal seabad." Metta menggerutu lagi. Lama-lama bisa lumutan menunggu Mikha. Ia menatap layar handphone yang sudah tidak menarik lagi. Cewek itu sudah melewati bagian timeline ini sekitar dua sampai tiga kali. Ia juga sudah membuka banyak aplikasi.
Dehaman seseorang akhirnya membuat Metta mendongak, lantas menemukan wajah malaikat yang ia lihat tadi pagi di kantin.
"Gue boleh duduk di sini?" tanyanya.
Metta terlalu shock, tidak bisa mengeluarkan kata apa-apa dari mulutnya selain mengangguk. Aneh. Tidak biasanya Metta seperti ini walaupun berhadapan dengan cowok ganteng. Pasalnya, dia adalah Primadona Nusantara yang setiap hari selalu bertemu banyak wajah menawan. Bahkan, saat bersama Joanka pun Metta jarang sekali sampai dibuat kikuk seperti ini.
Cowok itu berdeham sekali lagi, menetralkan suaranya. "Gue Yordan Arnoldus Gamgenora." Dia mengulurkan tangannya ke Metta, meminta untuk disambut.
Metta balas menjabat tangannya lalu berujar, "Metta Ivasyana Narang."
"Oh ... keluarga Narang, ya." Yordan mengumbar senyum semanis gula, lalu melirik jam di dinding perpustakaan. Jarum panjang sudah menunjukkan angka lima sore.
"Kok belum pulang?"
"Lagi nungguin Mikha."
Yordan terdiam. Tidak menunjukkan ekspresi kaget tapi juga tidak menutupi rasa penasarannya. "Sendirian?"
Metta melirik kanan-kiri, memastikan cuma dirinya murid yang duduk sendirian di perpustakaan setelah jam pelajaran sudah lama selesai. Hanya ada segerombolan cewek penggosip yang duduk berjarak tiga meja di depannya dan ada seorang siswa yang duduk bersandar tidak jauh dari kumpulan cewek itu sambil menutupi wajahnya dengan buku paket, mungkin dia tidur. Metta memang tidak banyak bergaul dengan teman sekolahnya, maka dari itu sangat jarang ada anak-anak yang duduk bersamanya bahkan hanya untuk sekadar menyapa. Mereka terlalu segan.
"Kelihatannya?" Metta balik bertanya. Yordan tertawa geli mendengar pertanyaan yang tidak butuh jawaban itu. Sedangkan Metta bisa merasakan bahwa tatapan mata cowok itu menelusuri wajahnya, membuat jengah sendiri.
"Gue temenin, ya." Yordan langsung mengambil posisi rapat di kirinya.
Metta rada terkejut. "Emang lo enggak pulang?"
"Enggak, ah. Gue nungguin lo aja. Daripada sendirian persis anak ilang, mending sama gue," katanya sambil menaik-turunkan alisnya tengil. Tidak salah lagi. Dia benar-benar teman Geva.
Tanpa ia perkirakan sebelumnya, Yordan melepas sebelah headset dari telinga Metta dan menyumbat telinganya. Cowok itu tersenyum, lantas menganggukkan kepalanya.
"Kpopers, huh?"
Metta mengangguk seraya menggumamkan 'Hmm' yang cuma disambut oleh cengiran khas bayi ala Yordan. Ngomong-ngomong, Yordan termasuk golongan mana, ya?
"Lo jurusan apa?"
"Gue IPA 3. Satu kelas sama Mikha." Yordan merapatkan kursinya ke meja. "Mau denger cerita gue pas masuk jurusan IPA?"
"Boleh," sahut Metta seadanya. Lagipula ia bosan duduk sendirian di sini.
"Lo tau kan, kalau manusia tercipta sebagai makhluk sosial? Seenggaknya itu yang gue ingat dari guru sosiologi waktu kelas sepuluh. Mungkin pernyataan itu enggak berlaku buat gue sekarang. Dulu, waktu zaman roaller coaster jauh lebih menyeramkan daripada ikut tawuran, gue mengira kalau makhluk sosial itu hanya orang-orang yang waktu SMA masuk di jurusan IPS, dan faktanya, pada saat penentuan jurusan gue masuk jurusan IPA." Yordan bercerita dengan ekspresif dan menyenangkan. "Waktu itu sempat gue teriak di depan kelas sambil bilang ... GUE BUKAN ANAK SOSIAL!"
"Gimana nasib lo selanjutnya?" Metta terkekeh. Ia mulai menikmati obrolan bersama Yordan.
"Apes." Yordan mendadak lesu. "Setelah gue teriak kayak gitu, inbox gue penuh dengan ajakan berantem dari anak-anak kelas IPS."
"Terus terus, gimana?"
"Ya, ini, akhirnya gue terdampar, kan. Bareng cewek cantik di sini."
"Halah, sepik doang. Emang buaya dari sananya, ya."
"Cewek tuh, ya. Kalo digombalin, dikit-dikit bilang buaya ini buaya itu. Kayak buaya enggak ada yang betina aja," celetuknya kelewat santai yang membuat tangan Metta gatal hendak menggeplak Yordan dengan sekuat tenaga.
Untuk beberapa lama, atmosfir di sekitar mereka hanya diisi dengan keheningan. Terlalu hening, membuat Metta heran sendiri kemudian menolehkan kepalanya untuk melihat apa yang sedang Yordan lakukan. Cowok itu ternyata masih menyumbat sebelah telinganya dengan headset, tapi dengan mata terpejam. Metta mengumpat dalam hati. Kenapa cowok semacam ini dikasih muka tidur yang dreamy abis?
Untung saja Metta kuat iman. Secara, dia sudah biasa menghadapi laki-laki yang semacam ini. Teman-teman Joanka, tentu saja. Berkeliaran disekitar Joanka dan komplotannya−yang katanya geng paling digandrungi di sekolah memangnya tidak butuh kekuatan iman?
Metta saja kadang-kadang masih tidak bisa mengelak dari pesona Joanka dan komplotannya yang terlalu menyilaukan mata.
Tapi, yang satu ini Yordan, he's on another level. Metta tidak yakin bisa kuat berlama-lama di sekitarnya. Cowok ini benar-benar punya sesuatu yang−hanya Tuhan yang tahu apa itu− yang bisa membuat setiap apapun yang dia lakukan terlihat menarik. Dengan mata terpejam saja, Yordan bisa membuat Metta tidak sanggup mengalihkan pandangan.
Yah, mari sama-sama berdoa semoga saja Metta tidak tiba-tiba berubah jadi fangirl freak yang ngirimin surat cinta ke loker Yordan dan minta putus dari Joanka lalu terjadi perang dunia ketiga antara Joanka dan Yordan.
"Kenyang ngeliatin gue tidur, hm?" Yordan bicara dengan mata terpejam. Menyadarkan Metta dari lamunan. Ia menggelengkan kepalanya kuat, melenyapkan semua pikiran aneh yang mendatangi. Metta sangat malu tertangkap basah memandangi cowok itu. Ia dengan gugup mengalihkan pandangan ke bukunya.
"Idih, siapa juga yang ngeliatin lo?" elaknya.
Mata Yordan terbuka. "Terus lo liat apa?"
"Emm ...."
"METTT!" suara Mikha terdengar dari depan pintu perpus, membuat Bu Rena, guru yang bertugas menjaga perpustakaan menatap sinis ke arah Metta. Tapi Metta sama sekali tidak peduli. Dengan sangat rusuh ia memasukkan semua barang ke tas tanpa perduli apa saja yang ada dan yang tidak.
"Mikha udah dateng tuh," katanya. Ia melepas paksa headset dari telinga Yordan. Jangan sampai Mikha memergokinya sedang berdua dengan Yordan. Bisa-bisa dia ngadu sama Joanka.