Jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.30, tapi ia masih saja mondar-mandir di depan cermin, berganti pakaian dari yang satu ke yang lain. Lihat, seluruh gaun, blouse, kaos dan lainnya berserakan di atas kasur yang masih berantakan. Ia mengehela napas panjang.
"Apa yang harus aku kenakan?" keluhnya pada bayangan dirinya sendiri di cermin. Lalu matanya beralih pada jendela kamar yang tidak tertutup tirai. Terlihat matahari mulai meninggi, membuatnya menghela napas.
"Aku tidak bisa berlama-lama!"
Segera ia mengambil blouse biru di kasur dan celana jeans hitam. Untuk apa? Tentu saja mengenakannya. Ia juga menyisir rambutnya yang lurus dengan baik dan menggunakan sedikit make-up. Tidak tebal, ia lebih suka terlihat natural alias tidak mengenakan perias wajah.
Setelah mengoleskan sedikit lipbalm agar tidak kelihatan pucat, ia berlari ke kursi kecil di sebelah meja untuk mengambil tas.
"Kau bisa, Riana. Kau bisa!"
Ia berlari secepat mungkin setelah menyemangati diri sendiri, keluar dari kamar lalu menguncinya. Tepat di luar gerbang kost, ia melihat Ryan duduk di motor beatnya.
"Hei, morning!" sapanya saat melihatnya. Helm yang masih menempel setia di kepalanya menambah kesan lucu. "Morning," tentulah menjadi jawabannya untuk membalas sapaannya.
"Are you ready?" tanyanya dengan mata berkilat-kilat. Riana tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
"Yes, Sir. I'm ready." Ryan lalu memberikan helm pada Riana dan dalam hitungan detik ia sudah memakainya.
Ryan menyalakan mesin motornya, lalu mengisyaratkan untuk segera berangkat agar tidak terlambat. Riana tersenyum kecil kemudian naik.
"Oke, kita let's go!" teriaknya sambil mengacungkan kepalan tangannya ke udara, sampai tetangga di sekitar menoleh.
"Hei, kau ini membuatku malu!" serunya sebal, tapi Ryan malah terkekeh.
"Anggap saja, aku memberimu semangat pertama."
Sungguh. Riana sejujurnya malu punya teman seperti dia, untuk saat ini saja ya. Karena tanpa Ryan, tidak ada seorang Riana sekarang.
***
"Hei, kau tahu. Aku bisa mengantarmu sampai depan lobby kantornya."
Riana mendesah pelan.
"Ryan, aku berusia 19 tahun saat ini-"
"Kau baru saja 19 tahun, Riana." Dia menyela dengan nada menekankan. "Belum 20 tahun." Riana mendecak sebal.
"Ya, aku tahu. Aku baru berusia 19 tahun kemarin. Lalu apa? Apa menjadi suatu masalah? Atau kau jangan-jangan akan ikut saat aku di interview? Oh sahabatku, kau perlu ku siram dengan air hari ini." Tangannya sampai menunjuk ke arah meja resepsionist lalu beralih ke lift. Kepalanya terkulai ke bawah. Keliatan kecewa dengan gagasan yang baru saja Riana buat.
"Aku yang akan interview untuk magang, Ryan. Aku nggak mau kejadian di Taman Kanak-Kanak terulang ya, saat Mama dan Papa mengantarku bahkan sampai di tempat dudukku."
Tentu saja reaksi pertama yang Ryan keluarkan adalah tertawa dengan keras. Namun Riana memukul lengannya pelan. "Hei, ini di perkantoran. Atau kita akan di usir segera." Matanya menatap ke arah salah satu security yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua.
"Baik, baik. Aku akan pergi. Tapi ingat, jika terjadi sesuatu segera hubungi nomorku di--"
"089XXXXXX05," kata Riana dengan cepat dan wajah Ryan berubah berseri-seri.
"Aku suka saat kau mengatakan itu. Seperti, spesial." Ryan hanya nyengir lalu tertawa kecil.
Wajahnya berkerut. Maksudnya apa? "Terserah kau. Semoga harimu menyenangkan."
"Dan semoga, Riana-ku diterima magang." Dia memberikan penekanan pada namanya. Riana pun tersenyum kecil saat sebelah tangannya membelai rambut lurusnya. Ia sangat suka diperlakukan seperti ini, seperti diberikan kasih sayang yang lebih. Oh iya, Papa dan Mama juga selalu seperti itu saat ia di rumah. Ryan kemudian pamit karena harus mengejar kelas paginya. Riana melambaikan tangan sampai punggung itu menjauh dan menghilang di ujung lobby.
Ia lalu bergegas melangkah ke meja resepsionist untuk menukarkan KTP dengan ID Card untuk masuk.
"Lantai berapa? Perusahaan apa?" tanya si resepsionist saat Riana tiba di depan mejanya. Ia membaca nametagnya, tertulis Wulan, Mbak Wulan. Ya, sepertinya ia harus memanggilnya seperti itu.
"Lantai 10, PT Beauty SKY Indonesia. Interview," jawabnya dengan senyum kecil. Ketikan tangan Mbak Wulan terdengar cepat dan berirama. Kemudian dia menyerahkan ID Card gedung ini pada Riana. Dia membalas senyum sebelum ia berjalan masuk ke salah satu lift.
Matanya memperhatikan setiap lift yang ada disini. Terdapat 6 lift dan semuanya tidak terlalu ramai. Riana memperhatikan jam di ponsel. Pukul 08.00. Wow, ia cukup terkejut karena jika di gedung lain pasti di depan lift sudah ramai sesak oleh para pekerja yang bergegas menuju kantornya masing-masing.
Denting lift berbunyi, Riana bergegas melangkah masuk setelah memastikan tidak ada yang keluar dari sana. Ia memiliki prinsip, mendahulukan orang yang keluar dan tidak terburu-buru untuk masuk.
"Tunggu!"
Setelah menekan angka 10, seorang wanita memintanya untuk menahan pintu lift yang hampir tertutup. Tentu segera ia tahan dan dia sangat berterima kasih.
"Thank you." Dia menundukkan sedikit kepalanya dan tersenyum
"No, problem." Balasnya yang juga tersenyum.
Lift pun tertutup dan membawanya naik. Riana hanya berdua saja dengan wanita ini. Namun dia tidak menekan satu angkapun. Sepertinya, dia akan keluar di lantai yang sama dengannya.
Benar. Dia melangkah keluar saat mereka tiba di lantai 10. Riana sengaja membiarkan dia berjalan duluan. Kepalanya melihat ke kanan dan ke kiri untuk memastikan perusahaan yang dituju. Namun, Riana melihat bahwa wanita tadi memasuki PT Beauty Sky Indonesia.
"Lho, jangan-jangan dia atasan disini? Oh tidak!" Riana mulai panik. Tanpa sadar ia mulai mengigiti kuku jari telunjuknya. Sebuah kebiasaan yg buruk. "Okay, Riana calmdown. Mungkin saja dia karyawan."
Setelah mengumpulkan seluruh keberanian, ia melangkah masuk dan disambut oleh seseorang yang melihatnya. " Kamu pasti Riana Angelica Wijaya, benar?" tanya seorang wanita dengan rambut ikalnya yang khas. Ia mencoba mencari nametag atau ID Card, namun dia tidak memakai benda itu.
"Oh ya!" serunya "Saya Riana."
"I'm Mariska. Asisten HRD disini. Senang melihatmu datang tepat waktu," pujinya sambil tersenyum. Mungkin kalau Riana disini sebagai lelaki, sudah pasti ia naksir sama si asisten HRD ini. Bagaimana tidak! Dia tinggi semampai, rambutnya panjang dan ikal. Lalu, cantik.
Tentu ia membalas senyumnya.
"Terima kasih."
"Baik, kita ke ruang meeting sekarang. Mrs. Natashya pasti sudah menunggu," ajaknya sambil mengarahkan dirinya mengikuti langkah kakinya. Rasa gugupnya menjadi semakin tidak terkendali dan terus memikirkan seperti apa rupa Mrs. Natashya.
Suasana kantornya cukup ramai. Ada beberapa kelompok yang tengah membicarakan masalah promo, ada beberapa yang sedang berdiskusi artikel dan lainnya tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Saat Riana memperhatikan mereka, tidak ada satupun yang melirik ke arahnya. Mungkin tidak penasaran siapa yang berjalan mengikuti Mbak Mariska atau mereka sibuk dengan tugasnya.
Mbak Mariska berhenti tepat di depan pintu sebuah ruangan kaca. Riana dipersilahkan masuk dan duduk sebentar karena dia harus memanggil Mrs. Natashya dahulu. Tangannya memilih duduk di salah satu kursi yang tak jauh dari pintu. Apakah ia gugup? Oh tentu saja. Tapi sepertinya ia berhasil kali ini untuk mengendalikannya. Cukup baik bukan?
"Riana Angelica?"
Kepalanya otomatis menoleh kala namanya disebut. Seorang wanita yang lebih cantik dari Mbak Mariska muncul dari pintu. Terlihat berwibawa dan anggun. Sebelah tangan wanita ini terulur padanya.
"Saya Natashya."
Oh, ia buru-buru menjabat tangan Mrs. Natashya. "Saya Riana," jawabnya dengan senyum kikuk. Aura Mrs. Natashya sangat mendominasi. Wah, sepertinya sesi interview ini tidak semudah yang ia bayangkan.
"Mari kita mulai interview-nya. Mariska, tolong tutup pintunya."
***
"Saya sangat terkesan dengan artikel yang kamu buat. Bagaimana bisa kamu bisa terpikirkan bagaimana cara wanita maupun gadis-gadis di Red District merawat kulit wajah mereka?" tanya Mrs. Natashya berseri-seri. "ini brilliant!" pujinya.
"Terima kasih, Mrs." Tanpa sadar Riana tersenyum mendengar pujian itu. "sebenarnya, saya punya seorang teman yang tinggal disana. Dia, salah satu pekerja malam di salah satu club di Red District. Tapi, dia tetap memperhatikan masalah pendidikan dan kesehatan kulit wajahnya. Dari dialah, saya mendapat ide untuk membuat artikel ini. Kualitas udara disana juga tidak bagus karena areanya tertutup, hal itu yang mendorong teman saya untuk mengeksplorasi dunia kecantikan untuk menjaga kulitnya."
"Apakah kamu sering mengunjungi Red District? Bukankah untuk masuk kesana memerlukan penjagaan yang ketat? Karena kita tahu bersama area itu bukanlah area sembarangan yang ada di negara ini."
"Benar. Mungkin ini terdengar ilegal, karena saya bersama dengan teman saya beberapa kali masuk melalui akses yang lain. Memang, daerah itu cukup berbahaya apabila kita datang seorang diri. Kebetulan, untuk artikel ini saya membutuhkan informasi dari teman saya dan salah satu penjual produk-produk kecantikan yang juga tinggal disana," imbuhnya dengan tenang.
Mendengar penjelasannya, wajah Mrs. Natashya semakin cerah. "memang sudah lama sekali saya ingin membuat sesuatu seperti ini, tapi kau tahu bukan bahwa Red District adalah area yang sama sekali tidak bisa kita akses sesuka hati? Itulah mengapa sampai saat ini kami belum menerbitkan artikel ataupun berusaha untuk menjual produk-produk kami kesana," terang Mrs. Natashya. "Tapi berkat kamu, saya sangat yakin untuk mengangkat issue ini."
Tiba-tiba saja Mrs. Natashya bangkit. "Saya tidak bisa mendengar jawaban tidak dari kamu. Selamat bekerja ya."
Kedua bola matanya membulat tidak percaya. "Jadi? Saya diterima?"
Mrs. Natashya mengangguk yakin. "Mulai hari ini kamu bisa bekerja. Saya akan panggilkan Mariska untuk membantu kamu."
Senyum cerah terpancar di wajah Riana. "Terima kasih, Mrs. Natashya. Terima kasih."
"Saya tunggu kemajuan kamu, selamat ya Riana."
Begitu Mrs. Natashya berlalu, Riana tidak bisa menahan diri. Buru-buru ia mengeluarkan benda pipih di dalam tasnya dan membuka line.
Ryan, aku diterima!
Ternyata sahabatnya ini juga sedang membuka ponsel. Buktinya, Ryan membalas pesannya dengan begitu cepat.
Hah? Really? Congrats, Ri. I know kamu pasti bisa. Selamat ya.
Sumpah aku senang banget dengernya.
Belum sempat ia membalas pesan Ryan, Mbak Mariska sudah tiba dan memanggilnya. "Riana, follow me, please."
***
Mereka tiba di ruangan yang dipenuhi dekorasi warna-warni, seperti taman kanak-kanak. Terdapat green screen* serta alat-alat yang dibutuhkan untuk membuat konten media sosial. Namun sebagaian besar penghuni di ruangan ini sedang tidak berada di tempat. Hanya ada seorang laki-laki di ujung ruangan yang sedang sibuk dengan laptopnya. Mbak Mariska mengajaknya kesana.
"Halo, Mas Devian. Selamat siang," sapa Mbak Mariska pada laki-laki ini. Dia menoleh, dan melihat ke arahnya dan Mbak Mariska sambil menurunkan sedikit layar laptopnya.
"Halo, siang Mbak," sapanya juga. "Ini anak baru itu ya?" tanyanya saat melihat Riana. "Hai."
Kepalanya otomatis menunduk memberi hormat sambil tersenyum. "Halo." dan Mbak Mariska mengangguk.
"Iya. Titip dia ya, soalnya kan dia masuk di tim kamu."
"Oke Mbak, siap."
Sepeninggal Mbak Mariska, Mas Devian menyuruhnya untuk duduk di hadapannya. "Saya sudah lihat artikel kamu. Baru saja di share di grup internal. Menarik,' pujinya yang membuat Riana lagi-lagi tersenyum.
"Ah, itu, nggak kok, Mas. Masih coba-coba aja."
"Percobaan yang bagus kalo gitu." Mas Devian kemudian mengarahkan layar laptopnya pada Riana. Disana terpampang artikel yang sudah pernah di post di website perusahaan. "ini adalah artikel-artikel yang pernah kita post sebelumnya. Ya gitu, masih pembahasan umum dan kadang-kadang kita masukin artikel untuk jualan, hard selling. Untuk tugas pertama, kamu bisa buat artikel yang sama dengan yang kamu bikin, tapi versi upgrade-nya. Bisa?"
Riana mengangguk. "Bisa Mas. Kapan saya bisa mulai buat?"
"Mulai dari sekarang bisa kok. Cuman karena kamu masih baru, saya kasih waktu seminggu sekalian untuk riset. Gimana?"
"Oke Mas, Bisa. Siap laksanakan."
Mas Devian tersenyum manis sekali, hingga Riana menyadari bahwa laki-laki ini memiliki senyum yang indah.