- REDLINE -

Sf_Anastasia
Chapter #3

#2 - Raja di Tanah Merah

Hawa dingin menerpa tubuhnya kala ia sampai di tempat ini. Lokasi kesukaannya kala bosan dan membutuhkan waktu untuk sendiri. Ia duduk di salah satu atap gedung tua sambil memandang ke arah perkampungan nelayan. Disini ia bisa melihat laut lepas, mencium aroma amis ikan-ikan dan kehidupan sederhana nelayan. Meskipun jika dilihat secara kasat mata, kehidupan di sana terlihat penuh dengan kemiskinan, berbeda dengan area yang jauh di seberang mereka. Terlihat gedung-gedung pencakar langit saling mendominasi. Inilah potret sebenarnya kehidupan.

Sebelah tangannya merogoh saku celananya, namun ia harus kecewa. "Shit, bisa-bisanya gue lupa bawa itu batang." Gagal sudah rencananya untuk menghabiskan waktu disini sambil menyesap asap rokok.

Tiba-tiba saja ponsel dalam genggamannya berbunyi nyaring. Ia sudah tau siapa yang akan menghubungi. "Apaan sih, Lex. Gue butuh ketenangannya ya!" gerutunya kencang saat mengangkat panggilan tersebut. Sebal. "Waktu istirahat gue mana!"

"Lagian lo main kabur aja, Rim. Sini balik lo bangsat. Kita butuh bicarain soal si perempuan itu. Bobby udah berhasil bawa dia kesini," terang Alex. Diujung sana, terdengar juga suara Bobby yang sedang memarahi perempuan itu, Sandra. Dan sekarang mereka terlibat adu mulut.

Rimu menjauhkan benda pipih itu dari telinganya. "Lo bisa nggak sih menjauh sebentar? Telinga gue sakit, Nyet! Lo mau bayarin lagi kalo telinga gue kenapa-napa, Hah?"

Alex tertawa. "Andra gratis, Rim. Sejak kapan sih lo butuh banget ke rumah sakit umum?"

"Sialan," umpatnya.

"Yaudah. Gue udah ngejauh." Suara langkah kaki Alex yang mengetuk setiap anak tangga terdengar berirama. "Dah balik lo buru sebelom gue suruh Lexa buat jemput."

Belum sempat ia menjawab, iris matanya menangkap sesuatu yang mencurigakan. Tepat di bawahnya adalah gang buntu dan seorang gadis baru saja berlari kesana, lalu terperangkap. Tak lama di belakangnya muncul dua laki-laki berwajah dan tubuh sangar, siap untuk memakan gadis itu.

"Rim? Kok lo gagu?"

Rimu memelankan suaranya. "Diem, Lex. Ada yang nggak beres. Gue bersihin dulu."

"EH? BANGSAT BIARIN AJA. BAL--!"

Sebelah tangannya mematikan line telpon dengan kasar dan memasukkannya ke saku celana. Alex pasti sudah marah-marah disana. Awalnya ia hanya berniat menonton saja, tapi melihat si gadis itu kini di seret hingga membentur dinding, darah dalam tubuhnya mendidih. Ia memang kasar, bajingan dan sebagainya. Tapi ia tidak suka hal ini terjadi di tempat ini.

"Bangsat!"

Rimu melompat dengan sempurna, tepat di belakang mereka. Jika manusia biasa, jatuh dari ketinggian seperti itu dipastikan akan patah tulang, tapi tidak dengannya. Ia sudah cukup lama berlatih dan Andra berhasil membuat sesuatu yang khusus agar membuatnya lebih kuat dari manusia lainnya.

"BAJINGAN. Siapa lo ganggu makan siang kita?" tanya salah dari mereka.

Matanya menatap nyalang sambil mendeteksi sejauh mana kekuatan mereka. Rimu mengeraskan rahangnya, membuat deretan gigi-giginya yang rapi bergemeretuk. Mudah, mereka sangat mudah ia jatuhkan. Rimu menyeringai, membuat salah satu dari mereka menjadi semakin marah dan berlari untuk menghajarnya.

Belum sempat pukulan itu mendekat ke wajah Rimu tubuhnya sudah menghindar dan malah menendangnya sampai tubuh itu membentur salah satu tiang disana.

"UAGH!" Si laki-laki yang hampir menghajarnya mengerang karena perutnya yang menghantam tiang. Temannya tidak tinggal diam, ikut menghajar Rimu dari belakang. Hampir saja kepalanya di pukul, tapi Rimu lebih lihai dalam membaca pergerakan lawan.

Segera ia berbalik, dan menangkap tangan si pria lalu membantingnya ke tanah hingga suara lolongan kesakitan terdengar nyaring.

"ARGH!"

Rimu mendekat. "Kalian berani macam-macam disini? Kalian pikir kalian siapa?" tanyanya pada mereka berdua, sepertiya sama sekali belum mengenali siapa dirinya.

"HAH? DI--DIA... -" Yang terbaring dekat tiang terkejut sampai sebelah tangannya mengarah ke Rimu. Temannya kaku. Dia tak bisa bergerak barang sedikitpun kala matanya di tatap tajam olehnya.

"Pergi dari sini, atau--"

Belum sempat melanjutkan pembicaraannya, mereka segera mundur perlahan-lahan karena tidak ingin kehilangan kaki dan tangan.

"Bangsat, bisa-bisanya dia disini," bisiknya pada temannya sambil memapah tubuhnya.

Rimu tersenyum menakutkan. "Lo berdua tau kan ini daerah kekuasaan gue? Jangan macem-macem pas gue disini!" bentaknya kencang.

"A--AMPUN. MAAF, MAAFIN KITA," keduanya sampai berlutut. Tidak menyangka jika suara mereka akan terdengar.

"PERGI!" Teriaknya.

Tanpa butuh waktu lama. Mereka berdua segera melarikan diri dan menghilang di ujung jalan. Sebelah tangannya menggerakkan tangan lainnya yang dia gunakan untuk memukul tadi. Tidak terlalu sakit.

Tapi Rimu tersentak, hampir saja ia melupakan gadis itu. Setengah berlari ia menghampiri gadis yang terbaring disana. Kelihatan sekali gadis ini kehabisan tenaga.

"Hei, lo nggak apa-apa?" tanyanya panik. Sebelah tangannya menyentuh pipi gadis ini yang kotor karena debu.

Gadis di depannya mencoba mengatur napas, namun sepertinya gagal. Seharusnya di banting seperti tadi dia akan langsung pingsan. Tiba-tiba dia bersuara pelan dan terbata-bata.

Tangan gadis ini terulur, "Ma--maka--sih." Namun, sedetik kemudian tangannya melemas di iringi dengan matanya yang terpejam. Rimu semakin panik.

"Oiiii!" teriaknya. "Hei, lo. Bangun," katanya sambil menepuk-nepuk pipinya. Tidak berhasil, gadis ini pingsan. "Oh, sial!"

Melihat gadis ini tak kunjung sadarkan diri, Rimu menghela napas untuk menetralkan emosi sesaatnya tadi. Hal ini juga dilakukan agar ia bisa berpikir jernih. Rimu menyelipkan lengan kokohnya ke antara celah paha dan betis gadis ini, lalu di belakang lehernya juga, berusaha mengangkat tubuh ringan ini. Kemudian ia mulai berjalan keluar dari gang buntu ini menuju ke arah mobil pajeronya yang terparkir tak jauh dari sini.

Setiap orang yang melewatinya terkejut hingga menundukkan kepala mereka. Rimu menatap dingin dengan sorot ujung mata yang tajam ke mereka semua. Selain takut, mereka khawatir akan keselamatan gadis yang ada dalam gendongannya. Mereka berpikir, gadis itu akan mati besok. Dan berita kematiannya akan tersebar di berita.

Setelah mencapai tempat yang benar, ia membuka pintu mobilnya dengan sebelah tangan, lalu memindahkan gadis ini. Rimu terdiam. Pandangannya tak bisa lepas dari gadis yang baru saja ia tolong. Sebelah tangannya yang lain menyeka kembali debu yang ada di wajah dia. Gadis ini, cantik. Tapi mengapa ia ada disini?

Lagi-lagi suara dering benda pipih itu mengganggunya. Ia tutup pintu mobilnya dan kemudian bersandar. "APAAN SIH? BAJINGAN GUE KAGET, SAT!" omelnya kencang.

"YA LO JUGA TADI MATIIN TELPON," omel Alex di ujung sana yang tak kalah kencang. "Dimana sekarang? Kenapa lo matiin koordinat heh?"

"Andra kosong nggak hari ini?"

"Bajing luncat, gue nanya nggak di jawab. Bener-bener lo ya."

Rimu menghela napas panjang, membuat Alex kedengaran bingung. "Lo kenapa? Iya, iya. Andra kosong sekarang. Lo mau ngapain?" Rimu diam tak menjawab. Alex jadi teringat sesuatu. "HEH KUNYUK, LO LUKA-LUKA? Abis beresin apaan sih lu tadi?"

"Oke. Makasih."

Dengan asal ia mematikan kembali sambungan telpon dan memasuki mobilnya sambil menutupnya dengan kasar. Ketika sudah duduk nyaman di bangku kemudi, ia segera mengarahkan kendarannya menuju jalan utama. Tidak terlalu ramai, ya memang kondisi Red District tidak ramai dengan kendaraan. Tak ada kemacetan disini, tapi tidak ada kenyamanan di dalamnya.

Tak lama, mobilnya berhenti di salah satu bangunan kecil. Tidak ada informasi apapun, namun seorang laki-laki keluar dari sana saat menyadari kedatangannya. Pasti Alex langsung mengabarinya.

"Rim, ada apa? Lo luka-luka?" tanya dia yang mengenakan jas putih dengan stetoskop melingkar di leher.

Rimu mengernyit. "Ada pasien, Ndra?"

Andra menggeleng. "Nggak. Tadi gue habis dari kampung nelayan. Ada yang sakit disana dan gue belom melepas ini dua," katanya sambil menunjuk jas dan stetoskop. Rimu mengangguk paham, tapi Andra masih kebingungan. "Lo kenapa? Alex sampe panik tadi."

Rimu menoleh ke arah mobilnya, menatap gadis yang masih pingsan itu. Andra mengikuti iris matanya dan terkejut saat menyadarinya.

"Woi, lo pake dia sampe pingsan?" tanya Andra serius, namun Rimu mendecak sebal.

"Gue bantuin dia, hampir aja jadi mayat besok pagi!" seru Rimu sebal. Andra makin keheranan.

"Lo? Bantuin dia? Kok gue yang heran."

Menyebalkan. Apakah ia sebegitu buruk?

Andra kemudian berjalan menghampiri gadis itu, diikuti Rimu di belakangnya. Saat Andra membuka pintu mobil, alisnya mengernyit. "Rim, cewek ini kelihatan bukan orang yang tinggal disini," ucapnya sambil melihat pada Rimu. Mau tidak mau Rimu jadi memperhatikan gadis ini lebih dari sebelumnya, lagi. Blouse birunya kotor, rambutnya berantakan dan wajahnya yang juga kotor oleh debu.

Benar. Dia tidak nampak seperti seseorang yang tinggal disini, lebih terlihat seperti anak rumahan yang biasa ia lihat di drama-drama lama di televisi.

"Bawa dia masuk, bahaya kalo dia disini." Andra memperingatkan, tapi Rimu meliriknya tajam.

"Lo pikir gue siapa sampe ketakutan bakal ada bahaya, Hah?"

Andra tertawa kecil. "Iya juga. Sampe lupa gue lagi sama siapa." Rimu malah mendecak sebal, benar-benar Andra menyebalkan. Kemudian Andra menggeser tubuhnya, membiarkan Rimu membawa gadis itu keluar dari mobil.

Dia harus tetap waspada sekalipun ada Rimu di sekitarnya. Setelah memastikan aman, Andra menutup pintu bangunan kecil ini dan kembali kepada mereka.

***

"Lo yakin dia nggak apa-apa?" tanya Rimu pada Andra yang baru selesai memeriksa keadaan si gadis yang kini terbaring di salah satu sofa panjang. Andra mengangguk.

"Nggak kok. Lebih ke kaget sama kecapean aja." Andra kemudian melepas jas putihnya dan di sampirkan di salah satu kursi dan tak lupa meletakkan stetoskopnya. "tapi, lo beneran nggak kenal dia?"

Rimu mendecak sebal, tangannya sampai menyilang di depan dada. "Astaga. Nggak percayaan banget lo ama gue."

"Ya siapa juga yang percaya ama lo. Bisa-bisanya bilang lo nyelametin dia. Yang ada gue pikir lo yang ngapa-ngapain dia," ujar Andra. Gigi Rimu bergemeretuk.

"Sialan!" umpatnya sebal.

Andra tertawa sambil berjalan menuju kulkas yang ada di ruangan lain. "lo mau minum kagak?"

"Nggak!" jawabnya cepat.

Andra sudah menghilang, berpindah ke ruangan lain. "Oke."

Sepeninggal Andra, Rimu masih memalingkan wajahnya ke arah lain dan berusaha memejamkan kedua matanya. Gagal. Lihat sekarang, ia malah menatap ke arah gadis itu. Rimu menghela napas panjang. Sebal, mengapa ia menjadi resah?

Ditatapnya tajam gadis yang tengah terpejam itu, dan tak mengalihkan pandangannya pada hal lain. Otaknya terus saja memutar kalimat yang sama, kenapa dia disini dan siapa dia. Rimu sangat penasaran. Terlebih, ia melihat seluruh kejadian itu.

Ia ingat bagaimana gadis ini menyalak pada kedua laki-laki besar tadi, berusaha melawan namun gagal dan malah berakhir seperti ini. Dengan tubuh se kecil ini, dia masih memikirkan bagaimana cara melawan dua orang tadi. Apakah gadis ini tidak memiliki rasa takut?

"Udah berapa lama lo liatin dia sampe itu mata mau keluar?"

Ucapan Andra barusan membuat jantungnya berdetak sangat cepat. Kaget, Rimu mendelik pada Andra. "Bangsat lo ya, kaget gue anjing!" umpatnya kasar.

Andra setengah tersenyum dan tertawa. Dia membawa dua botol minum air mineral, lalu diletakkannya di meja. "Lagian, natapnya gitu bener. Heran ada cewek cakep disini?"

Dengan terpaksa Rimu kembali memalingkan wajahnya ke arah lain. "Cewek disini juga banyak yang lebih cakep sama seksi. Ngapain gue ngeliatin dia. Nggak penting bener."

Kedua mata Andra berkedip beberapa kali. "Iya, iya. Abis bilang nyelametin dia sekarang malah lo hina. Emang kampret lo, Rim."

"Bacot."

"Tapi sumpah, gue masih heran kenapa dia ada disini. Berani bat anjir masuk Red District. Nyalinya gede, gila," puji Andra sambil melihat ke arah gadis ini.

Rimu melirik Andra dari atas ke bawah, memperhatikan temannya ini. "Lo juga sama setan. Berani lo dulu masuk sini."

Andra menatapnya sebal. "Kan gue tenaga relawan. Ah elah, lo mah. Nggak ada gue, lo sekarat anjir waktu itu."

Lihat selengkapnya