- REDLINE -

Sf_Anastasia
Chapter #4

#3 - When I Meet You

Matanya tak lepas memandang bangunan tinggi di depannya. Sudah satu setengah tahun berlalu, tempat ini tak banyak berubah. Sudah selama ini, padahal hanya tiga semester, banyak hal yang terjadi dan menguras emosi serta tenaganya. Lelah? Tentu. Ini waktu yang baik untuk kembali, pikirnya.

"Rim, kelas pagi ini manajemen pemasaran. Mulai jam 09.00 di gedung C, di ruang C-129," kata Alex disampingnya sambil menatap jadwal yang ada di ponsel. Rimu meliriknya sekilas dan mengernyit heran.

"Sekarang jam 08.30. Kepagian tiga puluh menit dong," ucapnya polos sambil membuka bungkusan roti sobek, seakan tidak punya salah setelah menarik paksa Alex dari alam baka. Maksudnya, mimpi.

"Lah iya emang ganteng. Lo yang bangunin gue pagi-pagi. Terus ke kita kudu ke apart* lo yang di Kuningan, abis itu-- Hmph!"

Sebelah tangannya baru saja menjejalkan sepotong roti sobek rasa cokelat ke mulut Alex. Teman di sebelahnya ini takkan berhenti meracau jika Rimu tak segera menghentikannya. Malas saja mendengar ocehan di pagi hari. 

"Jangan rusak mood gue dengan bacotan lo ah."

"Bwah lhoo ngheslhilin khamphruet," omel Alex yang tak jelas.

Rimu berjalan memasuki gedung, meninggalkan Alex di belakang yang terpaksa mengunyah roti cokelat itu tanpa aba-aba sebelumnya. Sambil menenteng tas di punggung, sebelah tangannya asik membelah roti tadi dan memasukannya ke mulut. Suasananya masih sepi. Setidaknya Rimu bisa menikmati suasana seperti ini lebih dulu dari yang lain.

Baginya seseorang sepertinya banyak yang tidak tertarik dengan hal semacam ini. Tapi Rimu, sangat mengedepankan pendidikan sejak dirinya sudah bisa mencari pundi-pundi rupiah. Rimu ingin menjadi seseorang yang lebih walaupun kenyataan tidak bisa di ubah. Rimu tetap tahu diri dari mana asalnya. Red District, siapa yang tidak takut mendengar nama daerah menyeramkan di seantero negeri?

Baru saja hendak berbelok ke arah kamar mandi, benda pipih di sakunya bergetar kencang. Dengan sebelah tangan yang lain ia berhasil mengeluarkan benda itu dan menempelkannya ke telinga. Suara teriakan seorang gadis menggema kencang sampai ia menjauhkan benda itu sebentar.

"RIMU. KENAPA NGGAK BANGUNIN GUE?"

"Ck," decaknya sebal.

Alex yang berhasil mengejarnya berhenti tepat di belakangnya. Rimu berbalik dan melempar ponselnya pada Alex hingga Alex dengan sigap menangkap benda itu.

"Anjir, lo pikir gue atlet voli." Omelan Alex berhasil membuat Rimu tersenyum sinis. Alex sampai geleng-geleng dibuatnya.

"Gue butuh ke toilet. Jawab itu telpon," perintahnya sambil menunjuk ke arah ponselnya. "Lagian gue tau refleks lo tuh bagus."

"Ye ini anak. Tapi nggak gini juga lo manfaatin kemampuan gue setan."

Tapi Rimu mengangkat bahunya tidak peduli dan langsung masuk ke dalam toilet. Alex mendegus kesal sembari melihat layar pipih milik Rimu. Beberapa detik kemudian kedua matanya melebar, dan memutuskan untuk berpindah tempat untuk melanjutkan panggilan itu. 

"HEH! KENAPA NGGAK DI JAWAB! RIMU, LO KAN TIDUR DI SEBELAH GUE. KENAPA NGGAK BANGUNIN! GUE NGGAK MAU BERANGKAT KE KAMPUS TANPA LO YA!"

Teriakan Lexa di ujung sana ikut membuat telinganya sakit. Pantas saja Rimu memberikan benda ini padanya. "Xa? Ini gue. Pelan-pelan kalo ngomong, kan lo cewek. Jangan kasar-kasar."

"Alex? Kok jadi lo yang pegang. Rimu mana?"

"Toilet. Kebelet boke--"

"Lex, kenapa lo berdua ninggalin gue?" potong Lexa, suara di belakangnya terdengar ribut sekali. "Ih, lemari sialan nggak mau nutup!"

"Astaga Lexa, pelan-pelan. Itu lemari lo rusak lagi gue juga yang repot benerin." Sesekali Alex melirik ke arah kamar mandi dan alroji yang melingkar di tangannya. Gadis di seberang sana mendengus. "Kerjaan gue udah banyak jangan lo tambahin."

"Beliin gue yang baru lah. Lo mah pelit. Rusak malah di benerin." Lexa terdiam, terdengar sedang memasukkan sesuatu ke dalam tas kencangnya suara resleting saat dia menutupnya.

 "Kalem napa, Xa. Thanos** nggak akan dua kali ancurin dunia." Ucapan Alex sembarangan tadi membuat tawa Lexa meledak. 

"Kalo dia muncul gue mau minta lo ilang. Biar duit gue yang pegangJadi gue bisa beli barang-barang sesuka hati gue."

Alex terkekeh. " Lo boros, Xa. Makanya Rimu nggak percaya ama lo. Oh iya, kelas pertama jam 09.00 ya. Lo minta anterin Bobby aja. Harusnya di di basecamp dan nggak kemana-mana."

Lexa mendecak lagi. "Iya, bawel. Dah gue jalan dulu. Harusnya gue berangkat sama Rimu juga jadi batal. Lagian nggak betah gue ngomong ama lo lama-lama. Dasar ALex nyebelin!"

"Lah dia ngomel," herannya, Lexa tak henti-hentinya mengumpat di ujung sana.

"Ya gara-gara lo gue nggak dapet morning kiss dari Rimu apalagi--"

Tiba-tiba saja Rimu sudah ada di sampingnya sambil memperhatikan Alex yang masih mengobrol. Menyadari kehadiran Rimu yang mengajaknya segera pergi, Alex mengangguk, lalu menurunkan ponsel itu dari telinganya dan menempelkannya kembali.

"Dah jangan banyak bacot. Gue ama Rimu mau cari kelasnya ya."

"Eh? RIMU? KASIH PONSELNYA KE RIMU GUE MAU NGOMONG!"

"Nggak. Tiati ya."

Alex langsung mematikan sambungan telpon dan memberikan ponsel itu pada pemiliknya. Sang empunya melihat aneh pada Alex dengan alis yang bertautan. "Apa?"

"Lo, naksir ama Lexa?" ucap Rimu sembarangan.

Mata Alex membulat. "Mana ada gue naksir ama cewek kayak gitu. Cewek sembarangan sama tiap hari ngomel mulu. Lagian kan lo yang tiap hari tidur ama dia. Bukan gue. Dan yang punya perasaan kan juga lo harusnya."

Rimu melirik Alex. "Cuman teman tidur. Nggak lebih." Alex hampir saja memprotes ucapannya barusan namun terhenti. "Lo tau gue kan? Masih berani ngomong kayak gitu lagi? Perlu gue cabein itu mulut pake cabe rawit domba?" lanjut Rimu.

"Iya, iya. Gue diem. No Comment." Alex memilih diam sejenak sebelum kembali berbicara. "Tapi sesekali, coba deh lebih perhatian ke dia, Rim. Lo tau gimana perasaan dia kan."

Iris mata Rimu melihat pada Alex sejenak yang berjalan di sampingnya. Enggan rasanya ia membahas hal tersebut. Bosan. Kalimat itu hampir sering di dengarnya dari mulut Alex.

"Buat apa? Penting banget?"

Alex menoleh tak percaya ke arahnya.

"Ya, lo pikir selama ini dia mau jadi teman tidur lo cuman karena pengen?" Alex menelan salivanya agak susah. Sebenarnya, topik ini sensitif. Alex hanya jengah melihat Lexa berharap lebih dari sekedar teman tidur Rimu. "Lo, sama sekali nggak ada perasaan ke dia?"

"Nggak."

Lihat selengkapnya