- REDLINE -

Sf_Anastasia
Chapter #5

#4 - Genderang Perang

"Menurut Kotler dan Armstrong, pemasaran merupakan suatu proses sosial dan manajerial dimana individu atau kelompok mendapatkan sesuatu yang dibutuhkan dan diinginkan melalui penciptaan dan penukaran suatu produk dengan pihak lain yang saling membutuhkan."

Pak Budiman berdiri di depan podium, sembari menjelaskan poin-poin penting dalam mata kuliahnya, manajemen pemasaran. Sebelah tangannya menekan tombol hingga slide powerpointnya berganti ke halaman berikutnya.

"Jadi, berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pemasaran merupakan suatu kegiatan yang bersangkut-paut dengan pemenuhan kebutuhan dan keinginan setiap orang dalam kehidupan sehari-harinya. Kegiatan pemasaran dilakukan dengan cara menciptakan dan menukarkan suatu produk dengan pihak lain, untuk mendapatkan barang atau jasa yang diinginkan agar terpenuhi kebutuhannya," jelasnya panjang lebar sambil menatap seluruh mahasiswanya di ruangan ini, C-129.

Seorang dari mahasiswa mengangkat tangannya. "Apakah barter termasuk, Pak?"

Pak Budiman tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Tentu, barter merupakan dasar dari pemasaran."

Si mahasiswa mengangguk paham, termasuk juga dengan Riana yang memilih duduk di depan sejak Pak Budiman memasuki kelas, meninggalkan laki-laki bernama Rimu itu setelah mencoba menyapanya dan berusaha agar Riana ingat dia, walaupun sebenarnya Riana ingat. Apakah semua menatap aneh? Tentu. Tapi Riana tidak peduli dan tak ingin terlibat dengan laki-laki itu.

"Jika tidak ada pertanyaan lagi, kita bertemu lagi minggu depan. Untuk tugas kelompok akan saya umumkan pada pertemuan berikutnya."

"Baik Pak," ucap seisi kelas dengan serempak.

Begitu Pak Budiman keluar, masing-masing dari mereka membereskan perlengkapan belajarnya, ada yang sudah rapi dan meninggalkan kelas bersama dengan teman-temannya karena sudah jam istirahat. Riana juga sudah akan beranjak sampai tangannya ditarik paksa oleh seseorang.

"Hei, apaan sih!" serunya dengan menyalak. Saat Riana menoleh, ternyata yang menahan tangannya adalah Rimu. Laki-laki ini menampakkan wajah datar tanpa ekspresi seperti tadi pagi. Matanya tajam menatap iris mata Riana. "Mau apa lagi?"

"Lo belom jawab pertanyaan kemarin."

Alisnya berkerut. "Saya nggak kenal sama anda ya. Jadi, lepas tangan saya!"

Semakin Riana berusaha melepaskan pergelangan tangannya, Rimu semakin kencang menggenggamnya. Sudut bibirnya mengernyit menahan tenaga besar yang dimiliki laki-laki ini. Tapi Riana tak gentar.

"Masih pura-pura lupa juga?" tanya Rimu penuh penekanan. Giginya bergemertuk menandakan rasa amarah dalam dirinya ingin keluar. "Setelah apa yang gue lakuin ke lo kemarin, ini balasannya?"

Lexa yang sedari tadi memperhatikan adegan ini menatap Alex penuh tanda tanya. Alex sendiri belum bisa menjawab karena gadis itu dan Rimu malah terlibat lagi dalam percakapan penuh emosi, seperti kemarin.

"Alex, jelasin ke gue sekarang dia siapa?" bisik Lexa penuh selidik sambil menujuk ke arah Riana.

Alex menggeleng pura-pura tidak tahu. Kakinya menghentak hingga Alex yang di sebelahnya bergidik. Lexa benci ada gadis lain yang memikat perhatian Rimu.

Riana melihat pemandangan tak menyenangkan lainnya disana. Laki-laki kemarin dan seorang gadis yang menatapnya jalang. Tak mempedulikan rasa sakit yang diciptakan Rimu di pergelangan tangannya, Riana mendongak, melihat Rimu tak kalah tajam.

"Saya sudah bilang terima kasih karena anda menyelamatkan saya kemarin. Tapi saya sama sekali nggak ingat kalau saya harus membalas dengan hal lain," ujarnya. "Lagipula lepasin tangan saya. Pacar anda melototin saya sejak tadi!"

Rimu mendesah pelan. "Dia bukan pacar gue."

Lexa dan Alex saling memandang ke arah Rimu. Rasa kecewa terbit di hati Lexa. Sedangkan Alex tidak tahan melihat Lexa yang menggigit bibirnya.

"Mau dia pacar anda atau bukan, itu bukan urusan saya. Lepasin tangan saya sekarang atau--!"

"Atau?" potong Rimu.

Dia gila ya? "Lepas saya bilang!" 

"Nggak akan!"

"Anda ini maunya apa sih? Apa ucapan terima kasih saya kurang kedengeran di telinga anda?" bentaknya dengan nada kasar, hilang sudah Riana yang tenang.

Senyuman sinis Rimu yang menakutkan terbit di wajahnya. "Terima kasih doang nggak cukup. Gue butuh balasan lain."

Riana menarik napas sambil memalingkan wajah ke arah lain, lalu kembali dan menghembuskannya. Laki-laki ini memancing emosinya setelah kemarin berlaku khawatir padanya.

"Kalau terima kasih aja nggak cukup, kenapa anda nyelametin saya kemarin?"

"Apa?" tanya Rimu setengah tidak percaya dengan pendengarannya.

"Anda bisa meninggalkan saya atau anda bisa pura-pura nggak lihat kan!"

"Lo?" tangan lainnya yang bebas terangkat, hampir saja hendak melampiaskannya pada Riana, namun sedetik kemudian sudah terkepal erat.

"Apa? Anda punya bisnis menyelamatkan orang lain lalu minta tebusan?" tanya Riana lagi, lalu matanya melirik sekilas tangan Rimu yang terkepal. "Mau pukul saya?"

Senyum sinis itu pudar, berganti dengan kedua mata Rimu yang setajam elang itu melebar sempurna. Tak terpikirkan oleh Rimu jika Riana akan mengeluarkan kalimat barusan.

"Bener-bener nggak takut mati. Lo nggak bisa liat keadaan lo kemaren?" tanyanya.

Saat tangan Rimu di pergelangan tangannya merenggang, Riana segera menarik tangannya paksa dan tidak peduli dengan tatapan Rimu yang keheranan setelahnya.

Lihat selengkapnya