- REDLINE -

Sf_Anastasia
Chapter #8

#7 - Redline

"Kalo suatu saat jadi punya gue, lo nggak bakal protes kan?"

Riana menghentak-hentakkan kakinya sepanjang jalan menuju halte terdekat. Hawa dalam tubuhnya memanas. Setiap orang yang berpapasan dengannya memandang Riana aneh.

"SEBAL!" teriaknya kencang. "DASAR COWOK ANEH!"

Ingatannya melayang ke beberapa waktu yang lalu saat Rimu dengan kesadaran penuh menghentikan kebiasaannya mengigit bibir.

"Harus banget ya gue ngomong tiga kali? Bibir lo bisa luka, tau nggak!"

Sekarang, di dalam bus Transjakarta tujuan Kuningan, beberapa kali ia mengetuk dahinya sendiri ke pintu bus di arah yang berlawanan. Orang-orang di sekitarnya pura-pura tidak melihat kegiatan yang dilakukan. Menurut mereka mungkin... Riana sedikit stress.

"Bodoh! Bego! Kenapa sempet-sempetnya kaku sih di depan dia!" rutuknya pada diri sendiri. Riana mendesah pelan, menyadari tingkah lakunya juga aneh saat itu.

Ponsel dalam gengamannya bergetar. Dengan malas, ia mencoba melihat notifikasi yang membuatnya membulat sedetik kemudian. Darimana laki-laki menyebalkan itu tahu ID Line-nya? Ah, apakah dari asisten dosen Pak Budiman?

"Ketemu juga akhirnya. Susah banget sih buat dapetin ID lo!"

Kepalanya menggeleng. Tidak, ia sama sekali tidak boleh membalasnya. Biar saja Rimu merasa di abaikan untuk ke sekian kalinya olehnya. Riana memilih untuk menutup layar benda pipih itu dan berdiri tegak kembali, seolah-olah tidak ada yang terjadi beberapa saat lalu.

Lagi-lagi ponselnya bergetar. Dipejamkannya mata sejenak sebelum kembali membuka layar.

"Lo? Pesan gue di read doang?"

Sekali lagi, Riana menutup kembali layar ponselnya. Kepalanya menoleh sebentar keluar jendela. Lampu lalu lintas baru saja berwarna hijau, bus yang ditumpanginya berjalan menuju halte terdekat, Slipi Petamburan. Suasana siang ini cukup ramai, padahal cuaca cukup terik.

Untuk kesekian kalinya, ponselnya bergetar lagi dan lagi tanpa henti. Riana menarik napas pelan sebelum membaca rentetan pesan yang datang dari Rimu.

Satu.

"Astaga, lo nggak punya kekuatan buat bales pesan dari gue?"

Dua.

"Berani ya lo cuman baca pesan gue doang?"

Tiga.

"Bales pesan gue sekarang sebelom gue acak-acak keberadaan lo sekarang!"

Empat.

"RIANA! LO BISA BACA KAN, CEPET BALES!"

Oke, sepertinya Rimu emosi di ujung sana. 

Lima.

"GUE CARI KEBERADAAN LO SEKARANG! JANGAN LO PIKIR GUE MAIN-MAIN YA!"

Riana tertawa puas. Mana mungkin Rimu bisa menemukan keberadannya sekarang? Lagipula yang mengetahui kegiatan Riana hanyalah Ryan dan Abel saja.

Enam.

"BENER-BENER YA! GUE UDAH SUSAH PAYAH CARI ID LO, GINI BALESANNYA? LO MASIH BUTUH NILAI KAN?"

Basi. Rimu mencoba mengancamnya dengan nilai? Wah, sepertinya di pertemuan kelas berikutnya Riana akan memberikan standing applause pada laki-laki itu. Riana menghela napas pelan, lalu memasukkan ponselnya ke tas karena sebentar lagi ia akan turun di halte Kuningan Barat, lalu transit ke Kuningan Timur. Padahal ponsel di dalam tasnya terus bergetar tanpa henti karena sebuah panggilan masuk.

Dari siapa lagi jika bukan laki-laki itu.

***

"The number you have dialled is not accepting any calls at this moment. Please try again later."

Dengan sebelah tangan di lemparnya benda pipih itu ke kursi kosong di sebelahnya. Sebelah tangannya yang lain memukul stir di depannya. Gadis itu benar-benar membuatnya kesal.

"Kalo suatu saat jadi punya gue, lo nggak bakal protes kan?"

Rimu memijit pelipisnya yang berkedut, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi kemudi dengan mata terpejam. Setelah tanpa sadar mengatakan hal itu, Riana langsung meninggalkannya begitu saja. Rimu masih ingat wajah gadis itu, terkejut bukan main tentunya setelah mendengar ucapan sembarangan dari bibirnya. Rimu merasa aneh, tapi mengganggu Riana seperti hari ini seperti self healing untuknya. Menyenangkan.

Suara ketukan di kaca mobil membuatnya tersadar. Kepalanya menoleh dan mendapati Alex ada disana.

"Masuk. Ngapain lo masih juga duduk di mobil. Apa nggak panas?" ucap Alex setelah Rimu keluar dari mobil sambil menenteng tasnya. Tak lupa di raihnya benda pipih yang sempat menjadi korban. "Lah, itu ponsel kenapa ada lecetnya?" tanyanya sambil berjalan saat menyadari adanya goresan di salah sudutnya.

Rimu tersenyum kecut di belakang Alex. "Biasa."

"Lo tuh harus banget ngontrol emosi lo, tau nggak. Kalo udah emosi membabi buta, apa aja main lempar," kata Alex memberi saran, tapi Rimu malah menatap tajam Alex.

"Sekarang lo ngatain gue BABI?" 

Nada penuh penekanan barusan membuat Alex meniup-niup udara, kemudian berhenti berjalan dan berbalik. "Kan, baru aja ngomong udah kena lagi aja gue, biji!" 

Mendengar hal itu, Rimu tertawa kecil, lalu kembali melangkah bersama Alex. "Ada informasi baru dari Sandra?"

Alex menggeleng. "Belum. Tapi beberapa waktu lalu gue sempet ketemu Lucas di clubnya Sandra."

"Ngapain dia?"

"Cuman mabok sama main ama beberapa cewek sih, most likely.. ya normal-normal aja," ucap Alex yakin.

Beberapa anggota yang ada di sekitar basecamp memberikan hormat kala mereka berdua mulai memasuki bascemp. Tempat mereka berkumpul lebih mirip bangunan tinggi setengah jadi, terlihat banyak alat-alat berat dan bahan bangunan yang ditinggalkan. Sebagian dari alat itu sudah berkarat. Anggota mereka mayoritas berwajah garang, dengan tatto di sekujur tubuh, tapi tak ada satupun dari mereka yang berani pada Rimu, kecuali...

"Dia?"

Rimu menoleh pada Alex yang mengangguk saat mereka tiba di dalam aula besar di dalam basecamp. Di hadapan mereka ada seorang laki-laki dengan wajah babak belur, duduk bersimpuh dengan tangan terikat. Darah segar masih mengalir di pelipisnya. 

Dia masih sadar, terlihat dari sorot matanya yang ketakutan saat bertemu pandang dengan Rimu. Mata elang Rimu mengamatinya dari atas sampai bawah lalu beralih pada Bobby yang berjalan mengelilinginya. Dari jejak darah yang tertinggal di kepalan tangan Bobby, sudah di pastikan laki-laki di depannya dihajar olehnya.

Bobby menyadari kedatangannya. "Rim," sapa Bobby, sambil menundukkan kepalanya hormat. "Iya. Dia yang berusaha bocorin informasi yang kita punya ke Bloods."

"Nggak! Ini fitnah. Bukan gue yang mau bocorin informasi kita ke mereka!" protes laki-laki yang babak belur ini. Mata Bobby menatapnya nyalang.

"Lo, masih bohong juga!"

"Gue nggak boh--- Argh!"

Laki-laki ini jatuh terkapar karena Bobby baru saja menghajarnya lagi dengan menendang perutnya. Dia terbatuk-batuk, memuntahkan banyak darah. Wajahnya menahan nyeri yang menyerang. Tapi tidak ada satupun yang peduli akan keadaannya, termasuk Rimu.

Rimu melepas tasnya dan memasukkan ponselnya ke saku celana, lalu mulai berjalan pelan ke arah laki-laki ini. Bobby menghindar dan beberapa anggota lain memberi jalan. Saat Rimu tiba di hadapan laki-laki ini, Bobby sadar sorot mata Rimu berubah.

Laki-laki ini tersentak kala menyadari Rimu yang berdiri di hadapan wajahnya. Mata elang itu berubah menjadi dingin, siap memangsa apapun yang berani menghalangi jalannya. Laki-laki ini berusaha menelan salivanya susah payah dan sudah bercampur dengan rasa amis darah. Sampai tangan Rimu menjangkau kepalanya. Matanya langsung terpejam karena takut. Tapi Rimu hanya menepuk-nepuk kepalanya.

"Anak baik..."

Baik laki-laki ini dan seluruh orang yang ada di dalam ruangan menjadi terkejut. Namun hal lain di rasakan Alex dan Bobby tentunya, berbeda dengan laki-laki ini yang mencoba menatap mata Rimu. Apakah dia harus merasa senang karena di maafkan?

Satu... 

Dua...

Tiga...

Saat tepukan itu berhenti, dengan satu kali gerakan Rimu menarik paksa rambut laki-laki ini dan menghantamnya ke lantai.

"ARRRRRGGGGHHH!"

Erangan kesakitan menggema kencang, bahkan Alex sampai memalingkan wajahnya karena tidak suka dengan adegan barusan. Lain hal dengan Bobby yang tersenyum puas. Kemudian Rimu menarik kepalanya dan menyeretnya hingga laki-laki ini berdiri dengan kepala di genggam erat olehnya.

"Kkkhhh-- Le--lepasin saya!" mohon laki-laki ini pada Rimu. Tangannya terangkat, mencoba melepaskan tangan Rimu dari kepalanya dengan kekuatan yang tersisa. Namun Rimu kelihatan enggan untuk melepaskannya begitu saja. 

"Kenapa lo bocorin informasi kita ke Bloods?" tanya Rimu yang suaranya memberat. Laki-laki ini terpaksa melihat mata elang itu dengan ketakutan. Rimu menatapnya tajam, lalu beralih karena melihat sesuatu di pergelangan tangan laki-laki ini, sampai ia tersenyum miring. "Kekurangan heroin*?" tanyanya lagi setelah melihat banyaknya luka bekas suntikan disana. "Perlu gue hilangin semua heroin yang lo punya?"

Napas laki-laki ini tercekat. Pengaruh morfin** masih ada dalam dirinya sampai saat ini, kerena sebelum tertangkap oleh Bobby di kediamannya, dia baru saja menyuntikkannya ke tangannya sebanyak tiga kali. "JANGAN. PLEASE, JANGAN BUANG HARTA GUE!" mohonnya. "Bloods ngasih gue sekoper heroin, gue nggak bisa nolak!"

"Lalu?"

Bibir laki-laki ini gemetar, sekali lagi Rimu mengencangkan tangannya di rambut laki-laki ini sampai dia mengerang kesakitan.

"AAAAARGGGHHH!! MEREKA MINTA INFO BERAPA BANYAK SENJATA YANG KITA PUNYA SAMA KEKUATAN YANG KITA MILIKI DISINI!"

Setelah mengucapkan hal itu, napasnya tak lagi tercekat, namun seakan terhenti. Paru-parunya tidak sanggup lagi memompa udara. Betapa bodohnya dia mengatakannya semudah itu pada Rimu. Lihat, mata elang itu seakan mengatakan sesuatu.

"Rim, siksa dia!" teriak Bobby kesal. Alex berusaha menenangkan tapi Bobby mencegahnya. "Diem lo, Lex. Tutup mata kalo lo nggak suka!" bisiknya.

"Caranya nggak gini, Bob," bisik Alex.

Laki-laki ini mendelik, menatap seluruh orang yang ada di ruangan, lalu kembali pada Rimu. "Tidak. Jangan bunuh gue! Gue bakal lakuin apapun yang lo mau!" mohonnya. 

Barisan gigi Rimu yang rapi bergemeretuk hingga rahangnya ikut mengeras. "Pasal satu?"

"Sa--satu?" tanya laki-laki ini terbata-bata. Apakah yang dimaksud...

"Bunuh Dia! Siksa sampai lidahnya mati rasa!" imbuh anggota lainnya yang juga bersemangat untuk menghukum laki-laki ini.

"Nggak ada ampun, Rim. Bunuh aja dia!" sambung anggota lain.

"Bunuh!"

"BUNUH!"

Bunuh?

Rimu menarik napasnya dalam-dalam, kemudian dengan kekuatan penuh di bantingnya laki-laki ini ke lantai. Suara benturan kepala dan tubuh laki-laki ini terdengar kencang. Teriakan kesakitan kembali menggema, hingga...

"TOLONG JANGAN BU--"

Dor!

Lihat selengkapnya