Satu jam yang lalu...
Matanya mengedar menatap isi flat* Sandra, minimalis tapi sangat rapi, di dominasi dengan warna cokelat bata. Tempat tinggal temannya dari luar ini tampak seperti rumah susun yang ada di pinggiran kota Jakarta, tapi jauh lebih baik dan tertata. Riana masih tak menyangka bahwa masih ada tempat seperti ini di Red District saat petama menginjakkan kakinya disini.
"Come in," panggil Sandra.
Kakinya melangkah memasuki sebuah ruangan yang di penuhi dengan lemari berwarna dominan putih dengan rak-rak kaca yang berisikan berbagai macam aksesoris perempuan, mulai dari jam tangan, cincin, gelang-gelang indah, kalung bertahtakan diamond kecil, bando, serta alat-alat aneh yang Riana tak pahami. Ada meja rias penuh dengan produk-produk kecantikan dan alat-alat make-up yang tak terhitung jumlahnya. Lalu beralih ke lemari saat Sandra menggeser pintunya.
"Gue harus pake salah satu dari ini?" tanya Riana dengan tangan yang menunjuk ke dalam lemari. Di depannya banyak mini dress dengan rok di atas lutut. "Nggak kependekan apa, San?"
Sandra mengangguk. "Lo bisa pilih dulu kok, harusnya masih ada dress gue yang nggak 'kebuka' banget," ucapnya penuh penekanan. "Pilih aja, gue ke kamar dulu harus bersih-bersih dan ganti baju disana."
"San, gue nggak bisa gini aja?" tanyanya lagi sambil memperhatikan pantulan dirinya sendiri di cermin yang ada di belakang Sandra. Temannya mengernyit, memang lebih kelihatan seperti seorang pelajar yang baru pulang kerja kelompok. "Please."
"No. Lo malah jadi mencurigakan. Gue kan udah bilang, lo nggak boleh sampe kenapa-napa," jelas Sandra. "Mending lo ganti sekarang sambil gue tinggal, ya."
"O--oke."
Sandra tersenyum kecil. "Nice girl. Gue tinggal ya."
Saat pintu ruangan ini tertutup, Sandra sudah meninggalkannya dengan pakaian-pakaian ini disini. Tangannya tergenggam erat, nampak ragu untuk mencoba mencari pakaian yang pantas. Riana menarik napas panjang, artikelnya harus selesai dan mendapat exposure yang baik.
"Ayo Riana, kapan lagi punya kesempatan kayak gini coba? Ayo, bisa," gumamnya pada diri sendiri.
Dengan keyakinan penuh, tangannya terulur untuk menjelajahi isi lemari di depannya. Wah, Sandra memiliki selera yang bagus karena hampir seluruh pakaian ini memiliki bahan yang halus dan nyaman di kenakan. Sebelah tangannya meraih satu pakaian berwarna merah.
"Ew, terbuka sekali dadanya."
Riana langsung menyimpan baju itu kembali di dalam, kemudian menggeser satu persatu untuk mencari lagi, sampai akhirnya matanya tertuju pada salah satu mini dress berwarna putih. Tidak terlalu terbuka di bagian atas tapi masih di atas lutut. Perasannya gamang, tapi setidaknya lebih baik dari pada yang tadi. Ditariknya pakaian itu dari lemari dan membawahnya ke depan kaca.
"Wah." Riana terpesona dengan dirinya sendiri di cermin saat mencoba mencocokan baju itu. "Oke ini aja."
Pelan, di tariknya reseleting mini dress ini meletakkannya di atas rak. Lalu Riana mulai melucuti pakaiannya dan menggantinya dengan pakaian di rak. Tidak butuh waktu lama untuk mengganti pakaian, sampai...
"Wah, anjir temen gue cakep banget!"
Seruan Sandra yang bersamaan dengan suara pintu di dorong cukup membuatnya kaget. Riana yang masih melipat pakaiannya dan di masukkan ke dalam tas sampai memegangi dadanya karena terkejut.
"Astaga San, kaget gue asli deh! Bisa nggak sih ngetok dulu gitu. Kalo gue jantungan disini kan nggak lucu," omelnya.
Sandra tertawa. "Sorry, sorry. Gue jarang liat lo pake baju kayak gitu makanya heran," terangnya. Sandra sendiri menggunakan mini dress berwarna hitam dengan ankle boots berwarna senada. Rambutnya rapi, terkuncir kuda dengan poni.
"Kita jadi kayak yin sama yang jadinya, hitam putih gini," ucap Riana sembarang.
Mata Sandra memicing. "Lah iya juga. Ya udahlah ya. Eh tapi tunggu?"
"Hm? Kenapa?"
Kaki Sandra melangkah ke arahnya. "Rambut lo kudu di tata. Kurang sreg aja gue liatnya."
Matanya mengejap. "Mau digimanain? Ini udah rapi tau," tanyanya sambil menyentuh rambutnya sendiri. Sandra langsung menarik tangannya tanpa pikir panjang.
"Ikut gue."
Sandra menyuruhnya duduk di ruang tengah flatnya. Kemudian temannya setengah berlari ke kamar dan keluar dengan membawa alat-alat yang sepertinya di gunakan untuk menata rambut. Tentu saja Riana tidak terlalu paham, bahkan ke salon saja hanya baru sekali se umur hidup, hanya saat Wisuda SMA.
"San, gue mau diapain? Itu banyak banget lagi alatnya. Mo bikin kue apa benerin rambut?"
Jari telunjuk Sandra terangkat ke depan bibir. "Udah lo tenang aja, lo bakal beda banget malem ini."
"Hah?"
Dan suara alat itu berbunyi nyaring memenuhi flat.
***
Riana menatap dirinya sendiri di kaca spion tengah, sebelum turun dari mobil Sandra. Rambut di tata dengan layer dan make up tipis dengan bibir berwarna merah. Meskipun dengan tampilan seperti ini, Riana masih menggunakan flat shoes, padahal Sandra sudah bersedia meminjamkannya ankle boots senada, tapi ia tolak. Flat shoes lebih baik dan tidak membuat kakinya sakit.
"Ri, ayo turun. Temen gue udah nunggu di dalem," ajak Sandra yang sudah keluar dari mobil terlebih dahulu sejak tadi.
"Oke."
Mereka berdua berjalan beriringan dengan langkah pasti. Awalnya Riana agak malu-malu, namun karena teringat akan peringata Sandra, ia mencoba berjalan seolah-olah sudah terbiasa dengan semua ini.
"Good job. Lo keliatan kayak orang yang cukup sering ke tempat kayak gini," puji Sandra.
Riana tertawa kecil. "Lo mau ngeledek atau mau muji gue sih? Sebelas dua belas tau nggak."
Sandra terkekeh sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangan. "Dua-duanya."
"Bisa-bisanya ini ya."
Saat pintu di buka, Riana cukup terkejut dengan apa yang ada di dalam. Mulai dari hingar bingarnya, lampu kelap- kelip, DJ yang tengah memainkan musik di panggung utama, bartender yang sibuk dengan pesanannya, pelayan yang lalu lalang ke sana kemari dan masih banyak lagi. Bahkan di sudut sana ada dua orang wanita yang menari sambil menanggalkan pakaiannya satu persatu. Laki-laki dan pria yang ada di depannya sampai tak sanggup menahan diri. Riana menelan salivanya susah payah. Ini lebih dari yang dia bayangkan. Tempat ini, memang berbahaya.
"San, ini apa nggak keramaian?" tanya Riana dengan suara cukup keras. Suara musik yang kencang membuat suaranya sendiri hampir tenggelam.
Sandra mendekatkan telinganya pada Riana. "Lo ngomong apa?"
"Ini nggak keramaian apa? Gila rame banget sama berisik," ulangnya lagi. Sandra menggeleng pelan.
"Biasa ini mah. Anggep aja pelajaran pertama lo dateng ke tempat kayak gini. Jadi lain kalo suatu saat ada yang ajak lo kesini, lo nggak kaget," terang Sandra singkat.
"Baiklah."
Keduanya pun berjalan melewati berbagai macam orang yang tengah sibuk di mejanya masing-masing. Matanya mengedar, lalu kembali pada punggung Sandra yang berjalan di depannya. Pemandangan disini sungguh tidak mengenakkan untuk di lihat.
"Hai, San."
Sapaan dari seorang wanita membuyarkan Riana dan terpaksa menatapnya. Kini mereka tiba di salah satu meja yang sudah terisi oleh tiga orang wanita dewasa, dan tentu saja dengan pakaian mereka yang tak kalah kurang bahan.
"Hai, Celline, Irine, Wendy," sapa Sandra saat sudah duduk di depan mereka, Riana memilih duduk di sebelah Sandra. "Ini temen gue yang gue ceritain tadi di telpon."
Kepalanya tertunduk sedikit, lalu terangkat kembali sambil melemparkan senyum tipis. "Hai, Riana."
"Halo, gue Wendy," ucap Wendy yang berambut pendek dengan riang sambil menjabat tangannya sampai Riana keheranan. "Ide lo menarik banget. Gue nggak nyangka lo mau naikin kita bertiga masuk ke artikel lo."
"Eh? Ma--makasih," jawabnya singkat dan terbata-bata.
"Kita mulai sekarang aja gimana, takutnya gue sama Irine langsung dapet panggilan," kata Celline.
Irine di sampingnya ikut mengangguk. "Bener, Madam Gee udah sempet misscall gue, Sugar Daddy gue udah dateng," imbuhnya.
"Madam Gee?" ceplos Riana tanpa sadar. Seluruh pasang mata yang ada di meja ini menatap ke arahnya.
"Mommy kita disini, Ri," jawab Sandra yang membuat alisnya berkerut. Apakah maksudnya semacam germo atau gadun?
"Oh, iya-iya," ucapnya ber-oh ria.
"Oke. Gimana, Ri?" tanya Sandra. "Mau kita mulai sekarang aja? Kalo mereka udah di panggil bisa-bisa sampe besok pagi nggak balik."
"Astaga, San. Lo juga sama ya," ledek Wendy setengah tertawa. Celline dan Irine juga tak ketinggalan ikut tertawa.
"Tau lo, San. Biasanya sama Daddy juga lama banget," imbuh Irine.
Riana tersenyum kecut mendengarkan obrolan aneh ini, karena memang ia satu-satunya yang tidak mengerti isi obrolan mereka, dikarenakan pekerjaan yang mereka lakukan berbeda dengan orang-orang kebanyakan.
"Jadi gimana, Ri?" tanya Sandra mengulang pertanyaan.
"Boleh," jawabnya cepat sambil mengeluarkan ponsel. "Jadi, gimana cara kalian merawat diri kalian disini? Terutama area wajah dan tubuh? Produk apa yang kalian gunakan dan suddah di gunakan berapa lama?"
***