"Ini dimana, Rim?"
Mata gadis di sampingnya mengedar memperhatikan keseluruhan tempat ini saat Rimu baru saja menepikan mobilnya di tepi pantai, tepat di ujung Red District. Beberapa rumah-rumah nelayan terlihat menyala di sisi lain dan dermaga yang cukup sibuk dengan hiruk pikuk para pekerja yang hendak melaut.
"Disini ada tempat kayak gini?" tanya Riana lagi yang tak lepas memandang keluar jendela. "Woah, nggak nyangka."
Matanya tak lepas memandang gadis disampingnya. Dia terlihat lebih tenang dan tidak kelihatan akan memukul atau menamparnya lagi, seperti di club tadi. "Kenapa? Aneh ada kegiatan melaut disini?"
Riana menoleh padanya. "Iya, bukannya salah satu perbatasan Red District sama Jakarta Utara itu laut yang disana? Yang deket perkampungan nelayan," Tangan Riana menunjuk entah kemana.
Rimu menghela napas dengan sudut bibir sedikit naik. "Ini sisinya yang lain."
Gadis ini mengangguk. "Mereka aman disini?"
Kedua alisnya tiba-tiba saja saling bertautan. "Aman dari apa?"
Dia diam sejenak. Terlihat sedang memilih kata yang tepat sebelum di ucapkan. "Anu... itu. Maksudnya mereka nggak dapet perlakuan buruk tinggal disini?"
"Kenapa lo ngomong gitu?" tanyanya aneh.
"Bukankah nggak ada hukum disini? I mean, setiap orang yang mau bertindak buruk nggak bakalan dapet hukuman kan," ucapnya yakin.
Giliran Rimu yang terdiam sebentar. Ucapan Riana tidak sepenuhnya salah, dan malah tepat. Di Red District, tidak ada yang namanya hukum konstitusional seperti di luar. Kejahatan apapun bebas di lakukan disini. Hanya satu yang tidak bisa Rimu maafkan, yaitu pengkhianatan terhadap Redline. Oh, apakah gadis ini juga tahu tentang Redline?
"Lo tau banyak ya soal Red District."
Tanpa sadar senyum kecil Riana mengembang. "Tempat ini tuh menarik buat di jelajahi."
Alisnya berkerut samar. "Apanya yang menarik dari tempat ini? Lo bisa liat sendiri keadaan disini itu buruk banget."
"Semuanya. Bagi kebanyakan orang tempat ini tuh kayak nyeremin gitu. Hampir setiap hari ada berita pembunuhan, pernah ada ribut dengan warga luar--"
"Tapi rasa penasaran lo itu hampir bikin lo mati waktu itu!" potong Rimu kesal. Bisa-bisanya gadis ini melupakan hari dimana dia hampir terbunuh dan keesokan harinya akan muncul di berita.
"Yaudah sih. Gue udah berterima kasih sama lo. Masih aja diingetin," ucap sebal Riana yang memajukan bibirnya.
"Dan lo masih berani jawab kayak gitu setelah hampir mati?" tanyanya tak percaya.
Riana mendesah pelan. "Please, gue capek berantem sama lo hari ini. Bisa nggak biasa aja? Lo permainin emosi gue banget, asli!"
Rimu mengepalkan kedua tangannya erat- erat yang masih berada di kemudi. Perasaan kesalnya mulai berkecamuk. Namun dengan kesadaran penuh mulai ia tahan karena teringat ucapan Alex.
"Lo tuh harus banget ngontrol emosi lo, tau nggak."
Sebelah tangannya mengusap wajahnya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi kemudi dengan kedua mata terpejam. Rimu berusaha keras untuk tidak marah-marah lagi.
"Lo lagi nahan diri ya?" tanya Riana memecah keheningan yang menggelayuti mereka beberapa saat lalu.
Kepalanya mengangguk lemah. "Gue berusaha buat nggak marah-marah ke lo. Dan itu sulit."
Riana tersenyum kecut. "Buat lo, gue nyebelin ya?"
Kedua mata elang itu terbuka kembali, dan menoleh pada Riana yang ternyata sejak tadi menatapnya dengan mata sayu. "Lo nggak nyebelin. Cuman keras kepala."
"Tapi lo juga aneh!"
Rimu mendecak tanpa sadar. "Perlu gue ulangin lagi kalo gue tertarik sama lo?"
Riana mengibaskan tangannya ke udara. "Buaya ah, lo bisa nggak sih nggak usah becanda sama gue. Males tau nggak. Heran, masih aja bilang yang aneh-aneh. Mana tadi lo...-"
"Apa? Lanjut coba ngomong," desak Rimu yang membuat gadis ini jadi menatapnya sebal.
''Ih, apaan sih maksa!"
Sebelah tangan Riana membuka pintu mobil dan keluar dari sana. Segera saja hawa dingin menerpanya. Kedua tangan Riana sekarang berusaha memeluk dirinya sendiri, sesekali menepuk-nepuk lengan atasnya dan meniup-niup udara.
Rimu ikut keluar dari mobil dan berjalan pelan hingga mencapai tempat di sebelah Riana. "Udah tau dingin ngapain coba keluar dari mobil segala."
Riana meliriknya sekilas, "Ngatur banget ya anda! Lagian anda nggak kedinginan apa?"
"Cuman segini doang nggak bakal buat gue kedinginan."
"Ck, sombongnya," decak sebal Riana.
Gadis ini kembali melihat ke depan. Di gelapnya malam lampu-lampu dari kapal-kapal nelayan yang tengah melaut jadi terlihat indah, seperti lampion yang menghiasi lautan.
"Masih kedinginan?" tanyanya saat melirik Riana yang meniup-niup dan menggosok tangannya.
Riana menatapnya sinis. "Ya anda pikir aja coba, Pak."
Rimu memutar bola matanya malas. "Gue nggak setua itu ya harus lo panggil 'pak', apaan sih."
"Bodo."
Gadis ini benar-benar tidak bisa di duga, baik gerak gerik maupun ucapannya. Wah, Rimu serasa sedang di permainkan. Keduanya terdiam sesaat, menikmati angin malam dan ketenangan yang ada disini.
"Lo, udah berapa lama tinggal disini?" tanya Riana memecah keheningan di antara mereka.
Mendengar pertanyaan itu, perasaannya seakan di remas-remas. Rimu memalingkan wajahnya ke arah lain, mencoba menekan emosi saat ia mengingat hal itu. Masa lalu yang membuatnya menjadi seperti sekarang. Di pejamkan matanya sejenak, lalu di hirupnya udara sebanyak mungkin.
"Daripada tanya soal itu-," Rimu berjalan sedikit ke depan, kemudian berbalik dan berdiri tepat di depan Riana. "Kenapa lo bisa ada disana tadi?"
Tubuh Riana bergetar sebentar. "A--ah, itu--"
"Jawab gue," perintahnya. Mata elangnya tajam menatap Riana yang kelihatan kikuk sampai berusaha memalingkan wajahnya ke arah lain karena tak berani menatap matanya.
"Bukan urusan lo."
"Liat gue," sebelah tangannya menarik tangan Riana yang tadi di gunakannya untuk menampar wajahnya. Diperhatikannya tangan kecil itu. "Nggak ada satupun orang yang berani nampar gue, atau coba nyentuh gue, kecuali lo."
"Lo lagi ngejek gue, atau lagi coba ngancem sih?" tanya Riana yang keheranan, lalu gadis ini menarik tangannya hingga terlepas darinya. "Jangan pegang-pegang tangan gue kalo gue nggak kasih izin."
Rimu kecewa dengan ucapan yang meluncur dari bibir mungil Riana barusan. "Setelah lo bilang ada hal yang namanya prioritas, sekarang mau pegang tangan lo aja gue harus izin?"
"Ya--ya iya. Lo masih orang asing buat gue."
Orang asing?
Kepalanya merunduk, mengapa mendengar hal itu perasaannya bisa merasakan rasa sakit yang belum pernah di rasakannya? Perasaan apa ini?
"Ta--tapi lo udah nyelametin gue dan lo juga yang satu kelompok sama gue. Jadi, lo baru aja jadi temen gue."
"Gue nggak mau jadi temen lo," ucapnya tegas.
"Hah?"
Rimu menarik pinggang ramping Riana sampai gadis ini kebingungan karena tak adanya jarak lagi diantara mereka. Gadis ini pasti bisa mendengar suara detak jantungnya sekarang.
"Lo ngapain lagi sih?" tanya Riana seraya mendorong tubuh Rimu, namun upayanya gagal. semakin Riana mencoba menjauhkan, maka Rimu akan semakin mengeraskan tangannya. "Lepasin Rim!"
"Gue udah bilang sama lo. Gue nggak mau jadi temen lo. Dan lo harus ajarin gue, gimana caranya gue bisa jadi prioritas buat lo."
Napasnya mulai memberat, setiap tarikan satu tarikan napasnya seakan ikut menarik aliran darah naik ke otaknya. Tidak ada siapapun disini yang akan mengganggunya jika ia melakukan sesuatu terhadap gadis ini. Apalagi, bibir ranum Riana terlalu manis untuk di lewatkan begitu saja.
Kepalanya mulai merunduk di iringi dengan mata yang terpejam. Hampir saja bibirnya menyentuh kembali milik Riana, tapi terhalang tangan gadis ini yang sudah menyadari gerakannya.
Mata elangnya terbuka, jauh melihat ke dalam mata Riana yang menatapnya kesal.
"Gue udah bilang, jangan berani sentuh gue atau berusaha buat nyium gue lagi!" tegas Riana dengan emosi yang tertahan. Namun sedetik kemudian tubuh Riana bergetar hebat akibat ulahnya. "Lo ngapain sih?" Kali ini Riana berhasil mendorong Rimu menjauh darinya.
Pandangannya tak fokus, ada hal lain yang menguasai pikirannya. Tubuh Riana bergetar tadi jelas karena ulahnya yang menyapu telapak tangan Riana menggunakan lidah. Punggungnya terlihat naik turun menahan amarah.
"Lo terlalu menarik," ucapnya lemah dengan punggung tangan yang menutupi bibir. Rimu masih ingat betul rasa manis yang di berikan dari bibir milik Riana. Mengapa rasanya menjadi candu?
"Sekali lagi lo berani kayak gini, gue nggak akan pernah maafin lo!" ucap Riana galak. Matanya nyalang, mengingatkannya pada Riana yang pertama kali ia temui di gang sempit itu.
"Riana," panggilnya lirih. "Please, ajarin ke gue. Ajarin gue gimana caranya biar gue bisa jadi prioritas buat lo." pintanya dengan nada memohon.
"Nggak akan pernah, Rim!" tegas Riana sekali lagi.
Ada apa dengan dirinya? Bisa-bisanya ia memohon pada seorang gadis yang melihatnya tak lebih seperti orang aneh. Tangannya terangkat menyentuh setiap ujung rambutnya hingga ke akar. Matanya mengerjap beberapa kali. Kemana pergi pertahanan dirinya selama ini?
Tubuhnya sedikit demi sedekit mundur ke belakang sampai akhirnya ia terjatuh di atas pasir pantai. Tangannya mulai terasa kaku dan mulai mencengkram pasir yang ada dalam jangkauannya. Penolakan yang ia terima barusan membangkitkan kenangan lama. Memori terburuk dalam hidupnya.
"Rimu?"