"Perawatan wajah tentunya harus dilakukan sesuai dengan tipe kulit dan permasalahan yang sedang di hadapinya. Kegiatan seperti mencuci wajah dua kali atau yang di kenal dengan double cleansing, penggunaan sunscreen, serum, moisturizer dan jenis lainnya sering kita temui dewasa ini.
Berbagai cara merawat wajah di perkenalkan oleh para beauty blogger, beauty influencer bahkan artis. Namun pernahkah anda mendengar para wanita yang tinggal di Red District merawat kulit mereka? Yuk simak cara mereka merawat kulit wajah agar tetap terlihat segar dan bercahaya!"
Riana tidak bisa duduk tenang sejak artikelnya di luncurkan tiga puluh menit yang lalu. Saat Mas Devian mengatakan bahwa artikelnya sudah siap terbit, Riana memilih melarikan diri ke toilet dan membiarkan Delon yang mengunggahnya ke website kantor.
Benda pipih dalam genggamannya bergetar tiada henti. Notif dari grup kantornya berbunyi nyaring sampai matanya hampir melotot melihat banyaknya tag pada namanya.
Delon
Riana, dimana dirimu?
Sella
Ri, ayo sini balik.
Nissa
Ada sesuatu nih, Ri
Ardhan
Buruan balik napa. Mules?
Mas Devian
Riana, kalau udah selesai cepet ke meja saya ya
Riana menelan salivanya susah payah saat membaca kalimat dari Mas Devian? Apakah ia melakukan kesalahan?
Kepalanya menggeleng. Buru-buru ia keluar dari toilet dan bergegas menuju ruangannya. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya ia berdoa pada Tuhan agar tidak terjadi hal buruk. Tepat di depan pintu ruangannya, Riana mendorong pintunya dengan hati-hati sampai seluruh orang yang ada di ruangan ini terlihat. Astaga, degup jantungnya tidak berhenti berbunyi 'bom bom bom.'
"Rianaaaaa. Congrats!" ucap Sella yang langsung menghambur memeluknya. Matanya mengejap kebingungan, menatap Sella, Nissa, Ardhan, Delon dan Mas Devian yang bertepuk tangan untuknya.
"Eh? Kenapa?" tanyanya bingung, Sella langsung mengapit lengannya dan mengajaknya ke meja Mas Devian.
"Makanya jangan kabur dulu tadi, sini-sini," ajak Sella.
Tepat di depan meja Mas Devian, sudah terpampang nyata di layar dekstop Mas Devian betapa tingginya engagement rate* yang di terima website kantor siang hari ini, sampai tanpa sadar bibirnya membulat seperti donat kentang yang baru saja matang.
"Good job, Ri. Saya udah yakin kamu bisa." Mas Devian tersenyum cerah padanya yang masih mematung.
Delon yang tiba-tiba datang di sebelahnya langsung menggandeng sebelah tangannya yang bebas. "Ini karena Delon juga, Mas Dev. Kan Delon yang klik unggah tadi."
"Lah itu gara-gara gue, Lon. Kan gue yang ikut bantu ngasih ide kata-kata ke Riana," ucap Ardhan tak mau kalah. Delon menaikkan alisnya.
"Sembarangan ente!"
Tapi pertengkaran kecil itu berakhir karena seluruh orang yang ada di ruangan ini terkejut saat menatapnya.
"Ri kok nangis?" tanya Sella yang menyadarinya pertama kali.
Delon langsung membalikkan tubuh Riana ke arahnya. "Eh, kamu kenapa Ri? Astaga kamu nangis kenapa?"
Nissa langsung meninggalkan mejanya dan ikut menghampiri, begitu juga Ardhan.
"Ri, kenapa sedih?" tanya Nissa, Ardhan juga mengangguk di sebelahnya.
Sebelah tangan Mas Devian terulur, memberikan sebuah sapu tangan berwarna putih bersih padanya. "Pakai ini."
Sebelah tangannya meraih sapu tangan itu, dan mengusap bagian bawah matanya yang basah. Lalu matanya menatap mereka semua secara bergantian.
"Maaf. Riana terlalu seneng karena dampaknya positif buat website kantor," jawabnya sambil terisak.
Senyuman tulus nampak terukir di bibir seluruh orang yang ada disini. Bahkan Delon tak bisa menahan tawanya.
"Nggak apa-apa, Ri. Artinya artikel kamu beneran bagus," puji Delon. Ardhan mengangguk, mengamini perkataan Delon.
"Iya, Ri. Bener tuh kata Delon. Daripada dia artikel down mulu."
Delon melirik tajam Ardhan. "Daripada lo typo mulu, sempak!"
Tanpa sadar, Riana jadi tertawa melihat Delon dan Ardhan beradu mulut. Pertengkaran itu berakhir dan malah seluruhnya menatap Riana.
"Kalo kayak gini, gimana kalo kita keluar makan pas jam pulang?" tawar Mas Devian yang tiba-tiba murah hati. "Kalian yang pilih, bebas mau makan apa aja."
Ardhan mengangguk paling keras. "Oiya pasti. Sekalian kita rayain masuknya Riana kesini, waktu itu kan gagal."
"Setuju. Nis, kamu nggak buru-buru balik kan?" tanya Sella pada Nissa.
"Nggak, aman. Hayuk makan-makan!" seru Nissa senang.
Sedangkan Delon menatap mereka semua dengan heran. "Yah, gue kan lagi diet. Jahat ih!"
"Udah sih, Del. Demi Riana, dietnya tunda dulu," goda Sella yang menyenggol sikunya.
Delon memajukan bibirnya. "Iye, apa itu diet. Minggu depan gue diet lagi!"
"Kayaknya boleh tuh bikin artikel, orang-orang di Red District diet nggak ya," ucap Riana tanpa sadar yang membuat Delon mendelik ketakutan.
"Riana! Please, kita mau makan. Tolong ide kamu di simpen dulu ya, cantik! Jangan mikirin kerjaan dulu," celoteh asal Delon yang tidak mau kehilangan selera makannya.
Ardhan, Mas Devian, Nissa, Sella dan Riana jadi tertawa kencang akibat ulah Delon barusan yang menyanggah idenya hanya demi makanan. Lalu Riana menatap mereka semua satu persatu, bersyukur karena ia menemukan teman-teman kantor yang sangat baik padanya. Sigap untuk saling membantu, ramah dan tetap professional. Meskipun tidak ada yang sempurna di dunia ini, bagi Riana sekarang mereka semua adalah teman kantor yang sempurna.
"Yang keluar belakangan dari kantor hari ini, harus traktir dessert es krim buat Delon!" teriak Delon sembarang hingga membuat semuanya mendelik.
"DELON!"
***
Rimu duduk seorang diri di pajeronya saat kelasnya telah usai sambil menyesap batang rokoknya dengan kaca jendela yang dibiarkan terbuka. Sebelah tangannya yang lain tengah menyapu layar benda pipih di tangannya. Sejak semalam, gadis itu sama sekali tidak menghubunginya dan dia sama sekali tidak ada di kampus.
Kepalanya bersandar ke kursi, karena rasa sakit menyerangnya sebentar sampai benda pipih di tangannya berbunyi nyaring.
"Lex?"
"Rim, udah kabur aja lo. Di mobil?"
"Iya, kenapa?"
"Ganes ngirim pesan ke gue. We need to talk."
Alisnya berkerut samar. "Dia ngehubungin lo juga? Oke buruan kemari."
Sambungan telepon itu terputus, lalu di letakannya benda itu di dashboard. Tak berselang lama, sosok Alex sudah muncul dan segera masuk ke dalam mobil.
"Udah nyebat aja lo, berapa batang?" tanya Alex yang melihat bungkusan rokok dalam gengamannya.
Rimu melirik sekilas. "Baru dua."
"Lo nggak mau ganti ke pod atau vape aja?"
Kepalanya menggeleng pelan. "Next time aja. Gue masih suka benda satu ini." Tangannya terangkat, memperhatikan setiap sudut benda dalam genggamannya.
"Oke." Alex lalu mengeluarkan ponselnya, dan menujukkan pesan dari Ganes. "Ini isi pesannya."
Sebelah tangan Rimu meraih ponsel milik Alex dan membaca pesan yang tertera. "Dia mau kita ke tempat ini sekarang? Tapi nggak ngasih tau mau ngapain?"
Alex mengangguk. "Gue nggak tau dia mau apa. Perlu gue panggil Bobby, Lexa sama yang lain?"
"Nggak perlu. Kita berdua aja cukup," jawabnya yakin.
"Lo yakin?" tanya Alex. "Kita perlu hati-hati, Rim. Lo tau siapa dia kan? Dia kaki tangannya boss White Wolfgang."
"Karena gue yakin, makanya gue mau kita aja dulu yang kesana."
"Buat jaga-jaga, gue tugasin beberapa anak buah buat ngintai kita dari belakang aja ya," tawar Alex yang langsung mendapatkan persetujuan darinya.
"Oke. Buat mereka agak jauhan dari kita. Kalo mereka ngapa-ngapain, suruh mereka buat langsung masuk," jelas Rimu sambil menghidupkan mesin mobilnya.
"Sip, gue hubungin dulu mereka."
Alex menekan deretan angka yang Rimu tak hapal, lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga, sambil Rimu membawa pajeronya keluar dari area kampus dan memasuki jalan utama kota Jakarta. Matanya fokus menatap tiap rambu-rambu lalu lintas, karena beberapa saat lagi, mereka akan memasuki jalan bebas hambatan untuk menuju tujuan mereka, Taman Wisata Alam Mangrove yang ada di PIK.
"Iya. Gue minta dua sampe tiga kelompok keluar sekarang. Lokasi bakal gue sharelock. Bobby sama Lexa nggak di basecamp kan? Oke good. Langsung jalan aja ya, gue tunggu," ucap Alex pada seseorang di seberang sana, kemudian line telepon itu terputus, dan Alex melirik sekilas padanya. "Aman. Mereka jalan sekarang."
Rimu menatap Alex sebentar, saat mereka tiba di gate masuk jalan bebas hambatan.
"Oke." Sebelah tangannya membuka jendela mobilnya dan menempelkan e-money ke gate. "Udah lo info lokasinya kan?"
Alex mengangguk. "Udah, barusan banget gue send lokasinya ke mereka."
"Sip."
Rimu menekan pedal gas kuat-kuat, dan kini pajeronya melenggang bebas di jalur bebas hambatan tanpa takut harus terkena lampu merah atau bahkan kemacetan sekalipun. Jauh di dalam benaknya, Rimu agak sedikit khawatir akan pertemuan rahasianya ini. Meskipun Ganes adalah hanya seorang pesuruh, dia juga tetap petinggi dari White Wolfgang. Semoga saja kekhawatirannya tidak menjadi kenyataan.
***
Iris mata elangnya tak lepas memandang laki-laki itu di depannya. Di sekeliling mereka ada orang-orang dari White Wolfgang yang rapi dengan balutan jaket dan celana jeans. Jika dibandingkan dengan anggota Redline, mereka jauh lebih tidak terlihat seperti sekumpulan anggota mafia kelas atas. Sudut bibirnya sedikit naik, mereka sangat ahli berkamuflase dan membaur dengan warga sekitar tanpa harus takut ketahuan.
"Berdua aja?" tanya Ganes, yang berdiri di sebuah mobil limousine hitam. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana dan berdiri dengan sikap sempurna.
Alex berusaha tenang dan waspada, earphone wireless sudah terpasang di telinganya dan tersambung dengan anggota Redline yang menuju kemari.