Lucas duduk di salah satu sudut kedai kopi sambil menatap indahnya suasana menjelang malam. Di depannya saat ini baru saja melintas MRT atau Mass Rapid Trans, kendaraan umum kebanggaan warga ibukota Jakarta. Lucas pernah beberapa kali menjajal MRT di kala bosan berkeliling menggunakan KRL. Alasannya sederhana selain bosan, view yang di dapatkannya berbeda, seperti masuk ke bawah tanah.
Langkah ketukan sepatu yang beradu dengan lantai semen di bawahnya membuat perhatian Lucas sedikit teralih. Seorang pelayan wanita menghampirinya dan meletakkan kopi pesanannya di meja.
"Permisi, Mas. Ini macchiato-nya," ucapnya riang.
Setelah mencoba menggodanya dengan melempar senyum tiada henti saat Lucas tiba, sekarang wanita ini mulai menyelipkan notes di gelas kopi miliknya. Sebelah tangannya meraih secarik kertas itu dan memperhatikan tulisan di dalamnya.
"Ini nomor siapa?" tanya Lucas berpura-pura tidak mengerti akan maksudnya.
Wanita ini kelihatannya berusia lebih dari dua pulul lima tahun, dengan rambut yang tergerai indah. Dengan jari telunjuk, wanita ini menyelipkan rambutnya di telinga. "Nomor aku, nanti whatsapp ya," ucapnya dengan nada bicara yang di ubah.
Tak ingin membuat wanita ini kecewa, Lucas hanya melemparkan senyum manisnya sampai wajah wanita ini kemerahan di buatnya. "Oke."
Kemudian si wanita berlari kecil, kembali ke tempatnya dan menghambur dengan teman-temannya untuk melayani pembeli lain. Saat di rasa dia tidak melihat, Lucas meremas notes kecil itu dan memasukkannya ke dalam saku hoodie-nya. Lalu kembali pada minumannya yang di penuhi busa susu di atasnya. Putih, seakan tak ada dosa disana.
Lucas mulai menyesapnya perlahan, sembari membalas pesan kakak laki-lakinya. Secara biologis, tentunya dia bukan kakak kandungnya. Bagaimana ya menyebutnya? Mungkin seperti aniki*.
Nezha
Lo masih aja ngilang.
Dimana sekarang?
Lucas
Tempat gue biasa nongkrong.
lo nggak bakalan tau
Nezha
Lo masih juga main kucing-kucingan sama gue?
adek kampret lo ya
Lucas
Yaudah sih, biarin gue istirahat.
gue bosen
Nezha
Astaga. Tapi lo inget ya
balik ke markas dulu, ketua mau ngomong
Lucas
Masalah Redline?
Kan gue udah kirim updatenya
Nezha
Informan lo udah mati kemaren
Lucas terdiam saat membaca kalimat terakhir yang di kirim Nezha padanya. Nezha tidak lain tidak bukan adalah salah satu tangan kanan ketua Bloods yang sebentar lagi akan pensiun dan Nezha akan menggantikannya. Lucas menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, tidak di sangka informan yang di temukannya malah sudah di habisi oleh Redline dengan cepat.
Nezha
Lo masih ke tempat Sandra?
Lucas
Masih, gue biasa dateng jam 10-an,
kenapa?
Nezha
Mulai hari ini lo nggak usah kesana,
firasat gue nggak enak
Firasat? Lucas tersenyum kecut. Di masa sekarang masih ada ternyata manusia yang mempercayai firasat. Rasa ingin tertawanya muncul, tapi sudah hilang karena rasa malas untuk berhadapan satu lawan satu dengan Nezha lebih mendominasi.
Di letakkannya benda pipih itu di samping gelas minumannya. Matanya menatap langit yang semakin menggelap, dan lampu-lampu malam mulai menyala satu persatu. Lucas mendesah pelan, mengingat tugasnya datang ke Red District bertaruh nyawa. Lucas yakin, orang-orang disana akan segera mengenali sosoknya, atau mungkin mereka sudah tahu namun belum bergerak.
Lagi-lagi Lucas menghela napas panjang, sampai ia teringat satu nama yang sempat terlupakan selama beberapa waktu. Gadis itu, gadis yang menjadi teman barunya.
Benda pipihnya bergetar hebat, buru-buru diraihnya benda itu dari meja.
"Apa sih bang? Gue beneran butuh waktu istirahat," ucapnya saat mengetahui siapa yang menghubungi.
"Lo nggak bales pesan gue kocak, emang lo pikir gue cenayang bisa baca pikiran lo?"
Lucas tertawa kecil saat mendengar omelan khas Nezha, laki-laki itu pasti gusar karena Lucas lagi-lagi mengacuhkan pesan terakhirnya.
"Astaga dia ngomel. Gue udah gede bang!" serunya seraya tertawa.
"Bener-bener lo ya. Udah ko inget pesen gue aja. Lo nggak usah ke Red District dulu sementara waktu."
Matanya menatap busa susu di atas minumannya. "Lo nggak perlu khawatir bang, udeh gue bilang juga. Aman, gue bisa jaga diri," yakin Lucas dengan sudut bibir terangkat.
"Lucas! Dengerin gue ngomong sekali ini aja!"
Kali ini nada bicara mulai meninggi hingga membuat Lucas terdiam. Sikap Nezha yang seperti ini bukan tanpa alasan. Masa lalu antara Bloods dan Redline yang buruk membuat Nezha sering mengambil sikap berbeda dari ketua mereka.
"Gue nggak akan mati semudah itu, bang."
"LUCAS!"
Dengan hanya satu sapuan, dimatikannya sambungan telepon itu secara paksa. Lucas sama sekali tidak peduli jika Nezha marah-marah atau bahkan menyuruh orang untuk segera menyeretnya pulang. Hanya waktu istirahat dan ketenangan yang di butuhkannya saat ini. Terlebih, ia memang tidak takut jika suatu saat harus berhadapan langsung dengan anggota Redline, maupun laki-laki itu.
Sebelah tangannya memijat pelipisnya yang berkedut. Dan tanpa sadar, sebelah tangannya yang lain menekan angka yang mengarah pada suatu panggilan. Lucas sama sekali tidak menyadari suara sambungan telepon itu sampai suara merdu seseorang di ujung sana terdengar nyaring.
"Halo?"
Lucas tersentak kaget. Segera di lihatnya layar benda pipih itu dan matanya melebar saat membaca nama yang tertera.
"Riana?"
"Iya? Ada apa?"
"Kamu dimana?" tanya tanpa sadar.
"Aku? Baru sampai di kedai kopi, oh--"
Alisnya berkerut samar, lalu ia menoleh ke belakang. Tepat sekali di ujung sana, gadis itu terdiam dengan ponsel yang menempel erat di telinga. Wajah gadis itu tidak bisa menghilangkan rasa terkejutnya.
Benda pipih yang ia tempelkan di telinga di turunkannya perlahan-lahan saat melihat sosok Riana disana. Senyumannya perlahan mengembang.
Tangannya terangkat, kemudian melambai pada Riana yang masih mematung.
"Hai."
***
"Dimanapun lo berada, gue bakalan bisa nemuin lo. Lo nggak akan bisa sembunyi. Semua tanda yang ada di tubuh lo, udah jadi alarm buat gue."
Mungkin sebagian perempuan akan tersanjung atau bahkan menjadi malu-malu tatkala seorang laki-laki itu mengatakan hal seperti itu pada mereka. Namun sayangnya hal itu tidak berlaku pada seorang seperti Riana. Setelah Rimu mengatakan kalimat sembarangan itu, dengan kesadaran penuh Riana menendang tulang kering kokoh milik Rimu hingga si empunya langsung memeluk kakinya karena tak siap menerima tendangan darinya.
"Aduh, galak banget sih, Ri!" omel Rimu yang melotot padanya. Tangannya mengusap-usap bagian kakinya yang Riana tendang dengan sengaja.
Riana memanyunkan bibirnya, jari telunjuknya terangkat dan menunjuk sembarang ke arah wajah laki-laki di depannya. "Ya lo juga buaya banget sih, udah di bilang nggak mempan!"
"Hah? Gue masih juga di bilang buaya?" tanya Rimu sambil menunjuk pada dirinya sendiri.
"Ya emang buaya. Gombal mulu kerjaannya. Nggak sadar diri banget heran jadi manusia!"
Laki-laki ini berdiri tegak, mengindahkan rasa nyeri di tulang keringnya. "Astaga Riana. Bisa positive thinking aja nggak sih? Gue ngomong serius loh," ucapnya dengan kedua tangan di pinggang. Lihat siapa yang jadi mengomel disini?
"Oh, jadi mau berantem disini? Mending gue pulang!" ancamnya yakin.
Riana langsung berbalik, namun terlambat karena Rimu sudah mencegat pundaknya dan menyeretnya masuk ke dalam mobil. Sekarang, di salah satu jalan bebas hambatan, Riana harus melotot terus menerus pada laki-laki egois di sampingnya. Daripada egois, Riana ingin menyebutnya seperti seorang Bapak yang takut anak gadisnya pergi dengan laki-laki asing.
"Nggak capek melototin gue? Gue tau gue ganteng tapi ya, pelan-pelan aja liatin gue. Ntar naksir gimana?"
Rimu meliriknya sebentar, lalu kembali fokus pada kemudinya. Kelihatan sekali sudut bibirnya sedikit naik, Riana yakin dia merasa menang karena ia tak bisa kabur.
"Ganteng dari mana? di liat dari genteng?" tanyanya galak. Kedua tangannya terlipat di depan dada. "Dan seujung kuku pun gue nggak bakalan pernah naksir sama lo. Catet itu!"
"Yakin?" tanya Rimu padanya.
"Yakin, pake banget!" jawabnya yakin.
Sebelah tangan Rimu menekan klakson, karena kendarannya di depannya yang berjalan lambat. "Astaga, lo tuh bener-bener ya. Nggak bisa banget gue tebak mau ngomong apaan. Kayak barusan, ngomong ketus nggak pake rem."
"Ya, lo juga sok kepedean!"
"Bukannya bagus?"
Riana memalingkan wajahnya. "Bodo."
Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Rimu yang fokus pada kemudinya, dan Riana yang memalingkan wajah, menghadap ke arah jendela sembari memperhatikan setiap kendaraan yang melewati atau di lewati oleh mereka. Hari ini adalah hari baik, dimana artikelnya terbit dengan mendapat atensi yang sangat menggembirakan.
Hingga berlanjut ke acara makan-makan bersama teman-teman kantornya, lalu sekarang terjebak bersama seorang laki-laki super aneh dan menyebalkan, yang duduk tepat di sampingnya. Riana menarik napas panjang sambil mengetuk-ngetuk pelan kepalanya pada jendela di sampingnya.
"Lo ngapain sih?" tanya Rimu yang menyadari kegiatan anehnya. Riana bisa melihat iris mata elang itu sempat menoleh sebentar sebelum kembali pada kemudi.
"Nggak."
"Jangan aneh-aneh, gue nggak mau--"
"Nggak mau jendela mobil lo rusak?" potong Riana. "Tenang aja bakal gue ganti."
Sudut bibir Rimu naik sedikit. "Gue cuman nggak mau lo yang luka. Mobil gue kenapa-napa mah bodo amat."
Lagi-lagi Rimu mengatakan omong kosong. Riana mendecak pelan, lalu sebelah tangannya melihat benda pipih pada genggamannya. Alangkah terkejutnya Riana saat menerima notifikasi kalau salah satu minuman di kafe kesukaannya sedang diskon. Segera di bukanya aplikasi ojek online untuk memesan minuman itu dengan cara self pick up.
"Rim, di depan nanti belok kanan ya."
Rimu menoleh sebentar. "Kenapa? Ada yang mau di beli?"
Kepalanya mengangguk. "Iya. Mau beli kopi. Lo mau?"
"Nggak usah. Gue nggak mau di traktir cewek," jawabnya enteng.
"Ih, siapa yang mau traktir. Lo kasih duit ke gue terus gue beliin, gitu maksud gue," tutur Riana dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada hingga Rimu menatapnya tak percaya.
"Lo ini bener-bener ya!'
Riana tertawa kecil, bahagia sebentar karena laki-laki ini mudah di bohongi juga ternyata. "Eh, eh. Itu di depan, berhenti."
Mereka baru saja memasuki area jalan yang di maksudkan oleh Riana. Tidak begitu jauh dari perempatan tadi, Riana menunjuk sebuah papan nama yang bertuliskan nama tempat yang di maksud. Kafe ini memiliki tiga lantai dan lantai paling atas menghadap langsung ke arah MRT.
"Jangan lama-lama. Lebih dari lima belas menit gue samperin ke atas," ujar Rimu memperingatkan, Riana hanya menatapnya heran.
"Pernah beli minuman nggak sih? Tau nggak sih antrinya kek mana?" tanyanya tak percaya. Rimu menganggkat bahunya.
"Nggak, gue selalu jadi yang pertama," jawabnya enteng.
Riana mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Udah, udah. Sombongnya lo tuh udah di atas rata-rata. Gue nggak mau ganggu!"
Sebelah tangan Riana membuka pintu mobil dan segera bergegas masuk ke dalam kafe. Suara denting bel yang berbunyi nyaring membuat salah satu staff yang ada di sana mempersilahkannya untuk naik ke atas.