Persiapan untuk nanti malam memang sudah hampir sempurna. Para anggota sudah siap akan kedatangan anggota White Wolfgang. Anggota yang berjaga di garis depan, belakang, bahkan sudut-sudut tersembunyi di Red District sudah siap. Alex mengangguk patuh saat Bobby mengatakan mengenai persiapan itu, bahkan untuk ruangan anggota inti kedua kelompok besar ini sudah dalam keadaan rapi.
Namun hal ini belum sempurna tanpa kehadiran ketua mereka, Rimu Reon. Alex bergantian memandang jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan benda pipih dalam genggamannya. Sejak Rimu mengejar gadis itu, sampai sekarang laki-laki itu belum kembali. Untuk sekedar menjawab panggilannya saja seakan enggan. Awas saja sampai tidak hadir hanya karena gadis itu.
"Alex, menurut lo kita perlu tambah anggota yang jaga di luar markas?" tanya Bobby sambil mengecek ponselnya karena deretan pesan masuk dari anggota lainnya masuk tiada henti.
Kepala Alex beralih pada Bobby. "Boleh, semakin banyak semakin baik. Tapi jangan berkerumun ya. Agak berjarak."
Bobby mengangguk patuh. "Oke, gue kabarin dulu di grup." Lalu Bobby teringat akan sesuatu. "Lexa gimana? Dia masih ngambek begitu sejak pulang dari kampus," bisiknya dengan sebelah tangan yang mengarah pada Lexa yang duduk di salah satu kursi sambil menarik-narik tissue toilet.
"Biarin aja, lo tau kan dia cuman butuh Rimu aja," bisik Alex juga. Lexa bisa marah-marah apabila mendengar percakapan mengenai dirinya.
"Terus sekarang Rimu mana? Kok belom balik?" tanya Bobby.
Belum sempat Alex menjawab pertanyaan Bobby, seseorang baru saja masuk ke dalam markas. Dari ketukan langkah kakinya, siapapun sudah bisa menebak siapa dia. Alex dan Bobby berpandangan, sedangkan Lexa melempar tissue dalam genggamannya dan bangkit, menatap ke arah pintu dengan penuh harap.
"Rimu!"
Tepat saat pintu ruangan ini terbuka, baik Alex, Bobby dan Lexa sama-sama tidak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka. Bagaimana tidak? Suara ketukan itu benar milik Rimu, yang kini sudah berdiri di hadapan mereka semua. Sorot mata elangnya dingin dan tajam di saat bersamaan, namun hal itu bukanlah menjadi fokus utama. Melainkan sosok seorang gadis yang jelas Alex serta Lexa kenali, ada dalam dekapan ketua mereka. Gadis itu kelihatan tidak sadarkan diri karena kepalanya bersandar pada dada bidang Rimu.
"Anjir, itu siapa, Rim?" tanya Bobby tanpa pikir panjang. Berbeda dengan Lexa yang wajahnya berubah kesal.
Dengan kesadaran penuh, Lexa berjalan ke arah Rimu tanpa bisa Alex maupun Bobby cegah. Gadis ini memandang Rimu tajam dan menuntun penjelasan. Degup jantung Alex dan Bobby mulai tak beraturan. Mereka tentu tidak ingin melihat ada adegan di mana banyak darah berceceran di lantai maupun di seluruh ruangan ini. Tepat di hadapan Rimu, Lexa berhenti.
Di pandanginya laki-laki di depan Lexa dari bawah hingga ke atas. "Ngapain lo bawa dia kesini?" tanya Lexa kencang, sebenarnya setengah berteriak. Tangannya terkepal karena melihat gadis sialan ini ada disini, dan yang lebih menyebalkan ada dalam dekapan Rimu. "Jawab!"
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Rimu satu kata pun. Rimu hanya memandang tajam Lexa sekarang. Melihat Rimu yang bersikap seperti itu, Alex bergegas menghampiri keduanya. Sebelah tangan Alex merangkul Lexa, dan memegang pundaknya agar gadis ini tidak melakukan hal yang membuat Rimu berubah menjadi monster dalam sekejap.
"Xa, tahan ya." Lalu Alex beralih pada Rimu yang masih menatap tajam Lexa. "Rim, kenapa lo bawa dia kesini? Apa nggak bahaya?" tanya Alex penuh selidik.
Kini Rimu balik menatap Alex dengan kepala yang sedikit di miringkan. "Bahaya? Lo pikir gue siapa?"
Napas Alex tercekat sekarang. "Bu--bukan gitu. Dia nggak tau lo siapa kan?" tanyanya terbata.
Rimu sama sekali tak menjawab pertanyaan Alex, Lexa mulai geram sampai tangannya ikut terkepal. Sedangkan Bobby di sudut yang lain sedang menatap bingung pada ketiganya, karena Bobby tidak tahu siapa gadis yang di bawa oleh Rimu sekarang. Bobby mencoba melirik ke arah mereka dan hanya melihat gadis itu seperti tertidur. Tidak terlalu terlihat, tapi Bobby menangkap sesuatu yang aneh sampai alisnya bertautan.
"I--itu...-"
Sedari tadi, Lexa tak melepaskan sedikitpun pandangannya dari Rimu. Sekarang giliran Lexa yang bertanya kembali. "Lo nggak gagu kan, Rim? Jawab pertanyaan Alex dan pertanyana gue sekarang."
Nada bicara Lexa yang terkesan meremehkan Rimu mulai membuat Alex takut. Pasalnya mata elang Rimu sedang tidak bersahabat. Rimu bisa saja melakukan sesuatu yang dapat menghancurkan seisi Red District jika mau tanpa perlu bantuan siapapun.
Mata elang itu kembali pada Lexa, bahkan tanpa di sadari sudut bibir Rimu sedikit berkedut, jelas Rimu sedang menahan emosinya. "Minggir!"
Tubuh Alex, Bobby dan Lexa bergetar seketika. Ucapan bernada ancaman barusan adalah salah satu bentuk peringatan kecil dari Rimu untuk segera menjauh. Apabila tidak...-
"Gue nggak akan minggir sebelum lo jawab pertanyaan gue, Rim!" ancam Lexa juga. "Lo berani bawa dia kesini, artinya lo juga berhadapan sama gue. Karena gue nggak akan biarin cewek ini ada disini!"
Rimu mulai terlihat geram. Apabila tangannya sedang bebas, Rimu mungkin akan melancarkan sesuatu pada Lexa. "Lo siapa berani ngomong gitu sama gue?"
Lexa tersentak, menyebabkan Alex yang ada di sampingnya jadi ikut terkejut karena merasakan yang Lexa alami sekarang. "Gu--gue...-"
Belum sempat Lexa mengucapkan berbagai deretan kalimat lainnya, Rimu sudah lebih dahulu melewati keduanya. Namun saat melintas tepat di samping, Alex menangkap sesuatu yang aneh dari gadis ini. Rimu hampir saja mencapai tangga apabila Alex tak menahannya.
"Lepasin tangan gue!" seru Rimu kencang saat Alex berusaha menahannya untuk tidak segera pergi. Lexa dan Bobby hanya memandang dari kejauhan.
Baru saja Alex hendak membuka mulut, matanya menangkap sesuatu yang aneh pada leher gadis dalam dekapan Rimu sekarang. Jejak merah tertinggal disana, kelihatan sekali ada sesuatu yang sebelumnya mencengkramnya sangat erat. Mata Alex melebar seketika dan kemudian menatap Rimu tak percaya.
Bibir Alex bergetar. "Rim, itu--"
Menyadari perubahan pada sorot mata Alex, Rimu membenarkan posisinya untuk menghindari pertanyaan yang akan semakin Alex cecar.
"Bukan apa-apa. Jadi, minggir dari jalan gue!"
Rimu membanting tubuhnya ke arah lain, yang menyebabkan tangan Alex terlepas. Jelas saja tubuh Alex terlonjak karena tidak siap dengan keadaan barusan. Melihat keadaan itu, Rimu segera bergegas menapaki setiap anak tangga hingga mencapai ruangannya. Sementara Alex masih mematung, mencoba mencerna apa yang di lihatnya. Bobby kebingungan harus menghampiri siapa, Lexa yang terlihat marah dan sedih di saat bersamaan, atau Alex yang kebingungan.
"Hei, kalian berdua. Jangan bikin gue bingung dong," ucap Bobby kencang. Baik Lexa maupun Alex tidak ada yang peduli dengan ucapan barusan, membuat Bobby mulai gelisah.
Sedetik kemudian, Alex tersadar akan yang di lihatnya tadi dan segera bergegas menyusul Rimu. Alex tak ingin gadis itu jadi korban berikutnya.
***
Ruangan terbesar yang ada di lantai ini adalah miliknya, tempat Rimu biasa beristirahat dari segala rutinitas paling menyebalkan di kota ini. Sebelum Rimu memiliki apartemen di Kuningan, Rimu lebih sering menghabiskan waktu di sini. Dan di sinilah tempatnya dan gadis-gadis bermain, termasuk juga dengan Lexa.
Tidak ada yang istimewa dari ruangan ini. Hanya ada ranjang besar di tengah ruangan yang kelihatan sudah cukup lama dan tak terlalu nyaman untuk berbaring dengan selimut berwarna cokelat yang sudah lusuh, tv tua yang masih bisa di pergunakan, wastafel lama yang ada di ujung ruangan dekat dengan kamar mandi, dan lemari besar hitam yang ada di sudut yang lain. Ruangan ini gelap, karena Rimu sama sekali tak membiarkan setitik cahaya matahari untuk menyinari tanpa se izinnya. Di meja yang ada di sudut lain, berserakan bermacam-macam botol minuman yang belum di buangnya. Begitu juga di sofa lusuh berwarna gelap itu, berserakan entah obat-obatan milik siapa.
Rimu berjalan selangkah demi selangkah ketika sudah memasuki ruangan ini, bergerak menuju ranjang besar miliknya lalu membaringkan gadis ini di sana. Mata elangnya nampak sendu saat melihat jejak merah itu masih tertinggal di lehernya. Cukup lama terdiam, menatap hasil karya miliknya yang tentu membuat perasaannya sedikit koyak. Matanya terpejam sejenak, pikirannya mulai membuka kejadian hari ini sampai pertemuannya dengan wanita itu dan Riana berakhir seperti ini.
Suara pintu ruangannya yang di buka paksa dengan kencang membuatnya menoleh seketika. Terlihat Alex merangsek masuk, wajahnya di penuhi rasa marah. Tangannya terkepal erat, siap menghajarnya di tempat. Rimu yakin, Alex tahu perbuatannya. Dan benar saja, ketika Alex mencapai tempatnya, dia langsung menarik kerah pakaiannya.
"Lo apain dia?" tanya Alex marah, sambil sebelah tangannya menunjuk ke arah leher Riana yang di penuhi jejak tangannya. Tentu saja masih berwarna merah. "jawab gue!"
Rimu memilih diam, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain, membuat Alex semakin kesal.
"JAWAB GUE RIM!" teriak Alex dengan nada penekanan. Tapi sayangnya Rimu tetap diam membisu, meskipun Alex sudah tahu rasa penyesalan merambati diri temannya ini. Khawatir emosinya tak lagi bisa dia tahan, Alex melepaskan Rimu begitu saja.
Kepala Rimu tertunduk, lalu kakinya melangkah dan duduk di tepi ranjang. Sedangkan Alex mengusap-usap tengkuk lehernya kemudian memijit pelipisnya yang berkedut. Tingkah laku Rimu memang tidak bisa di tebak, namun Alex tidak bisa memprediksi jika Rimu juga akan melakukan hal seperti ini pada gadis ini. Baru saja hendak mengomel lagi, mata Alex menangkap sesuatu yang tidak biasa Rimu lakukan.
Sebelah tangan Rimu yang bebas meraih tangan gadis yang masih terpejam, lalu menuntun tangan mungil itu ke sisi wajahnya. Rimu nampak memejamkan mata karena rasa hangat yang mulai menjalar. Alex terpaku sejenak melihat keanehan ini, jelas ada yang salah dengan temannya ini.
"Lex, tanpa sadar gue udah jatuh hati," ucap Rimu pelan, seakan lupa jika Alex beberapa saat lalu siap menghajarnya.