Tangan yang terkulai lemas di atas ranjang lusuh itu mulai menggeliat. Serta merta, kedua matanya yang terpejam mulai terbuka sedikit demi sedikit. Indera penciumannya menangkap aroma asing yang tidak di kenalnya, bahkan aroma debu yang menyengat mendera tanpa henti. Saat matanya terbuka sepenuhnya, hal pertama yang di lihatnya adalah langit-langit berwarna cokelat tua. Kelihatan cukup tua, sampai rasa sakit di kepala menyerangnya sebentar hingga membuat sebelah tangannya terangkat untuk menyentuhnya, untuk sedikit meredakan rasa sakitnya. Perlahan ia mencoba bangkit dan mendapati dirinya ada di ruangan yang asing.
"Ini, dimana?" batinnya. "Eh? Ini tempat apa?"
Ruangan ini gelap dengan lampu gantung yang termaram di atasnya, dan lampu . Ia ternyata terbaring di ranjang besar di tengah ruangan. Kelihatan sudah cukup lama dan tak terlalu nyaman untuk berbaring dengan selimut berwarna cokelat yang sudah lusuh ada di ujungnya. Di sudut lain, ada tv tua yang masih bisa di pergunakan, wastafel lama yang ada di ujung ruangan dekat dengan kamar mandi, dan lemari besar hitam yang ada di sudut yang lain. Tidak terlihat adanya jendela di ruangan ini. Lalu ada meja yang ada di sudut lain, berserakan bermacam-macam botol minuman yang belum di buangnya. Begitu juga di sofa lusuh berwarna gelap itu, berserakan entah obat-obatan milik siapa.
Dahinya mengernyit, mencoba menelaah apa yang sedang terjadi di sini. Saat ia mencoba kembali mengingat, tubuhnya tersentak dengan kedua tangan yang secara langsung memegangi leher. Pundaknya naik turun seiring dengan napasnya yang tercekat mendadak. Kemudian kesadarannya kembali, ia tidak dalam keadaan tercekik. Di tatapnya kedua tangannya dan saat matanya melirik di salah satu jari, terdapat noda-noda darah. Lagi-lagi ia tersentak karena ingatannya kembali.
Laki-laki itu, mencekiknya dengan kekuatan penuh. Ia sama sekali tak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Dalam ingatannya, tidak ada rentetan hal buruk, sampai ia teringat akan sesuatu.
Wanita itu. Ya, wanita yang dengan sadar menghajar laki-laki itu tanpa ampun. Ia memang tidak mendengar ucapan mereka, tapi perlakuan yang di berikan olehnya masih tergambar jelas. Apa ini? Ia sama sekali tak mengerti.
Dalam kegamangannya, ia berusaha turun dari ranjang ini dan berjalan menuju pintu. Sungguh, ruangan ini tua sekali dan kotor. Beberapa kali ia harus terbatuk-batuk akibat debu yang ada. Aneh, ruangan ini sama sekali tidak memiliki jendela, seakan si pemilik tak membiarkan setitik cahaya matahari masuk ke dalamnya. Ia tiba di depan satu dari pintu lain di ruangan ini, karena pintu yang lainnya adalan pintu kamar mandi. Sebelah tangannya mencoba membuka kenop pintu, tapi sayangnya tidak mau terbuka.
"Eh? Kok nggak ke buka? Tolong! Siapapun yang di luar buka pintunya!" teriaknya sambil menggedor pintu dengan kepalan tangannya. Ia tak yakin apakah suaranya akan terdengar keluar, namun setidaknya ia sudah berusaha.
"TOLONG! BUKA PINTUNYA!" panggilnya sekali lagi pada siapapun yang ada di luar.
"HALO! SIAPAPUN YANG DI LUAR TOLONG BUKA PINTUNYA."
Ia mendesah pelan karena sama sekali tak ada jawaban sampai akhirnya kenop pintu berbunyi. Tubuhnya mundur sedikit ke belakang, memberikan ruang pada seseorang yang hendak masuk ke dalam. Matanya sedikit menyipit karena saat pintu terbuka, sinar dari bola lampu yang terpasang di luar lebih menyilaukan daripada di dalam sini. Lalu seorang laki-laki masuk ke dalam dan pintu kembali terkunci dari luar. Matanya melebar kaget mendapati sosok ini ada di hadapannya sekarang.
"Kak Andra?"
Wajah Andra datar tanpa ekspresi, namun helaan napasnya terdengar panjang. "Kamu nggak apa-apa?"
Ada getaran khawatir di sana. Tapi ia sama sekali tak mengerti dengan yang terjadi sekarang. "Kak Andra kok di sini? Terus ini ruangan apa?" tanyanya, lalu otaknya berpikir cepat hingga membuat tubuhnya mundur, menjauh dari Andra dengan kedua tangan menyilang di depan dada, memeluk tubuhnya sendiri.
Tangan Andra terulur dan menempatkannya di depan dada. "Nggak, ini nggak seperti yang kamu pikir. Aku nggak ngapa-ngapain kamu. Malah aku yang mau tanya balik ke kamu."
"Ta--tanya apa?"
Andra mengusap tengkuknya. "Kenapa kamu bisa sampai ada di sini?"
Kedua alisnya mengernyit heran. "Di sini? Ruangan ini?"
Kepala Andra mengangguk, membuatnya semakin di landa kebingungan. "Kamu nggak tau kenapa bisa ada di sini?"
Ia menggeleng, lalu tangannya merambat memegang lehernya sendiri, membuat Andra memicing karena menangkap sesuatu yang mencurigakan. "Aa--ku...-"
Kaki Andra melangkah sampai berdiri tepat di depannya. "Riana," sebelah tangan Andra terangkat dan menyingkirkan tangan Riana dari lehernya sendiri sehingga jejak kemerahan itu nampak jelas. Mata Andra melebar kaget, membuatnya semakin tak mengerti.
"Kak Andra?"
Andra tersadar, wajahnya di penuhi kekhawatiran yang sama sekali tidak bisa dia sembunyikan. "Kamu lupa kata-kata aku waktu itu? Jangan pernah kesini lagi atau bahkan ketemu lagi sama Rimu. Kamu kenapa sih nggak dengerin kata-kata aku?"
"Sebentar, memangnya Rimu siapa? Ada apa dengan tempat ini? Bahkan Riana ada di mana sekarang juga nggak tau," ucap Riana dengan suara bergetar. Napasnya mulai tidak terkendali, menyebabkan rasa pusing mulai merambatinya.
"Rimu itu--,"
Belum sempat Andra melanjutkan kalimatnya, pintu ruangan ini sudah terbuka kembali. Keduanya menoleh ke arah pintu, dan mendapati sosok Rimu muncul dari sana. Di wajahnya terdapat sedikit noda darah. Wajahnya tegas, manik elangnya langsung mengarah tepat ke Riana.
"Ndra, keluar!" perintah Rimu pada Andra.
Tapi Andra kelihatan berbeda, dia berjalan ke arah Rimu dan menatapnya tajam, menyebabkan Rimu terpaksa meliriknya.
"Keluar gue bilang!" perintah Rimu sekali lagi. Sayangnya Andra masih tetap diam dan tajam melihat ke dalam manik elangnya. "Kenapa? Lo mau ngelawan gue?"
Riana menatap keduanya bergantian. Tangan Andra terlihat mengepal, dan pundaknya menjadi turun. Kepala Andra tertunduk sebentar sebelum kembali pada Rimu.
"Iya, gue keluar," jawab Andra, yang kemudian segera meninggalkan ruangan ini.
Sepeninggal Andra, pintu langsung tertutup kembali. Berbeda dengan sebelumnya yang di kunci dari luar, sekarang pintu di kunci dari arah dalam oleh Rimu yang lansung memasukkan kunci itu ke saku celana. Manik elang itu menulusurinya dari atas hingga ke bawah, lalu berakhir tepat di lehernya. Tanpa sadar, tubuhnya memberikan peringatan sehingga kakinya mundur perlahan-lahan. Seharusnya juga, Rimu dapat melihat getaran dalam dirinya.
"Kenapa mundur?" tanya Rimu sambil berjalan terus ke arahnya.
Tapi Riana semakin mundur sampai kakinya menabrak ranjang yang memang berada di tengah ruangan hingga membuat tubuhnya limbung dan terjatuh di atas ranjang tua ini.
"Waaaaaaa!" teriaknya memekik kaget. Riana meringis karena rasa sakit pada bagian kakinya dan tentu juga bagian kepalanya yang membentur ranjang tua ini. Sampai tidak sadar jika saat ini Rimu sudah ada di atas tubuhnya, mengunci pergerakannya dengan kedua tangan yang ada tepat di samping kepala Riana. Akhirnya Riana sadar akan keberadaan Rimu ketika kedua kaki Rimu mengunci tubuhnya.
Matanya melebar kaget karena manik elang itu menatapnya tajam. Riana mengedar, berusaha untuk melarikan diri ke arah lain, sayangnya Rimu sudah mencegat dirinya terlebih dahulu. Riana takkan mudah bisa lepas dan kabur dalam posisi seperti ini.
"Ma--mau apa?" tanya Riana terbata, tubuhnya tak bisa berhenti gemetar sampai membuat lidahnya kelu. Bahkan rasanya sulit untuk sekedar menelan saliva. Riana mulai ingat saat Rimu mencekiknya tadi. Sorot matanya berubah menjadi ketakutan dengan napas yang memburu. Riana berusaha memalingkan wajah ke arah lain untuk menghindari manik elang milik Rimu.
Tanpa Riana sadari, raut wajah Rimu berangsur berubah. Wajahnya di penuhi rasa penyesalan, meskipun Rimu tidak mengerti bagaimana hal seperti itu bisa terjadi. Sebelah tangannya terlepas, lalu mencoba menyentuh wajah Riana, namun--
"JANGAN SENTUH GUE!"
Pemilik manik elang itu terkejut saat Riana berteriak dan kedua tangannya menutup wajahnya, berusaha melindunginya dari serbuan tangan miliknya.
"Ri--riana," panggil Rimu dengan suara lemah dan terbata. Tangannya berusaha melepas tangan Riana dari wajahnya. Rimu jelas bisa merasakan tubuh Riana bergetar hebat karena ketakutan padanya.
Namun Riana langsung menepis tangannya dengan kasar. Sekarang, Riana melotot pada Rimu. Ia memang masih takut, tapi keberaniannya mulai tumbuh. "LO MAU NGAPAIN? MAU BUNUH GUE LAGI?"
Manik elang itu menjadi sendu, bibirnya gemetar hingga suara dari deretan giginya yang bergemertuk terdengar sampai ke telinganya. Dari jarak sedekat ini, bahkan setiap napas dan detak jantungnya pun tak mungkin Riana tidak mendengarnya.
"Maafin gue," ucap Rimu, sebelah tangannya kini memberanikan diri menyentuh wajah Riana yang tak lagi mendapatkan penolakan. Harusnya Riana menolak dan mengenyahkan tangan itu beserta dengan tubuh si pemilik, tapi tubuhnya tak merespon sama sekali.
"Maafin gue, maafin gue, maafin gue, Riana," kata Rimu berulang kali, dan menyebut namanya penuh dengan lirih. Matanya terpejam seiring dengan isakan yang mulai terdengar. Sedetik kemudian manik Riana melebar kaget tatkala setetes bulir air mata jatuh ke pipinya.
Rimu, menangis?
Sebelah tangannya terangkat tanpa di minta, menyeka air mata yang turun. Seketika manik elang itu terbuka kembali, menatapnya sedih. Mereka sama-sama berpikir sikap mereka aneh dan tak bisa di mengerti satu sama lain. Riana yang selalu berusaha menjauh dari Rimu, lalu Rimu yang selalu berbuat sesuka hatinya pada Riana.