- REDLINE -

Sf_Anastasia
Chapter #16

#15 - Quando Corpus Morietur

***

Saat kebenaran tersingkap, tubuhnya seakan mati rasa. Kehidupan sederhananya akan segera berakhir. Batinnya berontak, mengadu pada sang Pencipta karena membiarkan dirinya terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Perlahan tubuhnya akan lelah, dan satu permintaan meluncur dari bibirnya. Kapankah tubuhnya akan mati?

***

Berita mengenai bergabungnya Redline dengan White Wolfgang sudah terdengar oleh seluruh kelompok kecil maupun besar di seantero negeri, dan tentunya juga sudah sampai ke telinga Nezha, sebagai ketua dari Bloods. Sebelah tangannya yang masih memegang gelas minuman terpaksa di bantingnya ke lantai hingga pecah berkeping-keping saat berita ini sampai padanya. Anggota inti Bloods yang ada di ruangan ini terkejut, tidak mengira kemarahan Nezha langsung muncul seketika.

"Gue nggak nyangka hari ini dateng juga," kata Nezha sinis. Wajahnya berkedut, menahan amarah yang hampir tak terkendali. Maniknya melirik si pembawa berita yang berdiri di sebelahnya. "Awasin terus gerak-gerik Redline. Cari tau isi pembicaraan mereka!"

Si pembawa berita mengangguk. "Baik, Bos!" yang kemudian dia langsung keluar ruangan tanpa berbalik lagi.

Lucas yang sejak tadi ikut ada di ruangan ini, menghampiri Nezha. Sedangkan yang lainnya memilih untuk diam terlebih dahulu.

"Bang," panggil Lucas.

Kepala Nezha menoleh pada Lucas. "Ini nggak bisa di biarin. Gimana cara kita hancurin Redline sekarang?"" tanyanya yang melempar pertanyaan pada setiap orang yang ada di ruangan ini. 

Napas Nezha tak teratur karena emosinya yang memuncak. Rencana balas dendam mereka bisa kacau balau karena aliansi ini. Jika seujung kuku saja Bloods mencoba mencari masalah dengan RedlineWhite Wolfgang tidak akan mungkin tinggal diam. 

"Biar gue yang cari titik lemahnya mereka!" seru salah seorang di antara mereka, menyebabkan seluruh pasang mata menatap padanya. Dia anggota tertua di Bloods setelah Nezha, Sebastian.

Nezha tajam menatapnya. "Maksudnya?"

Sebastian berdiri, berjalan ke arah jendela besar yang ada di ruangan ini dan menatap keluar. "Salah satu dari anggota inti mereka, pasti punya sesuatu yang mereka lindungi. Entah aset atau barang, atau mungkin seseorang." Sebastian berbalik sekarang. "Gue yang akan cari tau soal itu. Setelah gue dapet, gue pancing titik lemah mereka buat ngancem Redline. Tentu White Wolfgang nggak bisa seenaknya ikut campur."

Senyum sinis Nezha terbit setelah mendengar ide dari Sebastian. "Menarik. Gue serahin itu sama lo. Butuh anggota?"

Kepala Sebastian menggeleng, lalu kakinya berjalan ke arah Lucas dan menepuk pundaknya, menyebabkan tubuh Lucas tersentak. "Lucas akan ikut gue. Cukup dia aja."

Lucas menengadah pada Sebastian, "Gue bang?" sambil menunjuk pada dirinya sendiri dan Sebastian pun mengangguk.

"Lo pemberani. Cuman lo satu-satunya yang berani sampai masuk ke club terbesar di Red District. Gue percaya sama lo."

Jujur saja, Lucas terperangah dan senang di saat yang bersamaan. Mendapatkan pujian seperti itu seakan menerbangkannya tinggi sekali. Nezha dan anggota lainnya juga kelihatan setuju dengan gagasan dari Sebastian.

"Oke. Gue serahin tugas ini sama lo berdua. Sisanya, biar gue dan anggota lain yang urus," kata Nezha senang. "Kali ini, kita harus berhasil."

"Easy, Nezha!" timpal Sebastian yakin. "Redline pasti hancur!"

"Benar itu, mereka harus tanggung akibatnya!"

"Ya, mereka harus di hanguskan dari muka bumi!"

Ruangan jadi berubah riuh, karena seluruh anggota yang ada di sini ikut menimpali ucapan Sebastian. Senyuman menakutkan Nezha terbit. Dengan tangan terkepal ke udara, Nezha meyakini akhir Redline akan di mulai sebentar lagi. Lucas tentunya juga senang, namun ada sesuatu yang mengganjalnya. Sayangnya Lucas tidak bisa mengingat, meskipun batinnya terus memberikan peringatan.

"Cas? Lo kenapa?" tanya Sebastian. Lucas menggeleng.

"Nggak apa-apa, Bang. Gue seneng kita bisa hancurin Redline," ucap Lucas yang membuat Sebastian senang.

"Bagus. Kita memang bisa ngancurin mereka. Lo tenang aja."

Lucas menangguk. "Iya, Bang."

Batin Lucas semakin berteriak, membuatnya menjadi berpikir keras. Apa? Apa yang gue lupakan?

***

Rimu duduk di meja kerjanya sambil memperhatikan layar laptop miliknya, yang menampilkan isi perjanjian semalam bersama dengan White Wolfgang. Segalanya berjalan lancar, bahkan Mr. Darren sangat terkesan dengan kekuatan yang di miliki oleh anggota Redline. Hanya satu yang tidak berjalan mulus. Ya, gadis itu.

Sebelah tangannya menurunkan sedikit layar laptopnya hingga menampakkan ranjang besar miliknya yang ada di tengah ruangan. Di lapisi dengan sprei serta bedcover putih, gadis itu terbaring di sana dengan Andra yang ada di sisinya, mencoba mengecek keadaannya. Dia tak sadarkan diri semenjak Rimu membawanya keluar dari markas semalam dan kini dia ada di apartemennya di Kuningan. Rimu tak tahu pasti mengapa dia bersikap demikian. Apakah hanya shock saja?

Andra sepertinya telah selesai memeriksa gadis itu, dan melangkah ke arahnya. "Dia nggak apa-apa."

Manik elangnya melirik ke arah Andra, lalu kembali ke arah gadis itu. "Lo yakin? Yakin dia nggak apa-apa?"

Kepala Andra mengangguk patuh. "Iya. Gue pikir dia cuman shock." Sebelah tangan Andra menarik kursi di seberang meja kerjanya dan duduk di sana. "Kenapa dia pingsan?" tanya Andra yang terdiam sebentar, lalu tersadar akan sesuatu. "Lo nggak bikin dia--"

Rimu bangkit, manik elangnya nyalang menatap Andra.

"NGGAK YA!" seru Rimu kencang seraya menutup layar laptopnya secara penuh. Pundaknya naik turun seiring emosinya yang memuncak secara tiba-tiba karena Andra kembali menuduhnya melakukan sesuatu pada gadis itu. "Gue nggak tau."

"Santai, Rim," kata Andra yang menempatkan kedua tangannya di depan dada, jujur saja ini juga salahnya karena memancing emosi Rimu se pagi ini. "Tenang. Gue tanya nggak maksud nuduh."

Rimu memalingkan wajahnya ke arah lain, sambil berusaha menurunkan kadar emosinya. Sebelah tangannya memijit pelipisnya yang berkedut. Emosi sesaatnya ini membuatnya menjadi tak karuan. Seharusnya, Rimu mendengarkan Alex untuk mengontrol emosi.

Andra nampak terdiam sebentar, namun pikirannya melayang pada kejadian semalam. Tentu saja Andra masih berusaha memilah kata yang tepat untuk menghindari amukan Rimu. Jelas Andra tak ingin mendengar ada barang yang hancur maupun wajahnya yang jadi babak belur.

"Rim, apa jangan-jangan dia tau soal siapa lo sebenarnya?" kepala Andra menoleh pada gadis yang terbaring di ranjang, lalu kembali pada Rimu yang sekarang menatapnya. "Dia ngeliat semua anggota Redline di ruangan itu kan, termasuk gue juga di sana."

Kini Rimu yang jadi terdiam, pikirannya melayang kembali pada saat Riana terlihat ketakutan dan memintanya untuk menjauh. Rimu awalnya tidak mengerti, namun akibat perkataan Andra barusan, Rimu jadi berpikir kembali. Apakah Riana tahu sesuatu mengenai dirinya?

"Di--dia, sempet ketakutan liat gue pas di parkiran," ucapnya terbata, sampai membuat manik Andra melebar.

"Ketakutan?"

Kepala Rimu mengangguk, manik elangnya menatap tubuh gadis itu, yang masih tidak ada tanda-tanda akan sadarkan diri dengan segera. Namun kakinya melangkah, menghampiri tubuh itu. Sempat diam sebentar, Rimu memilih duduk di tepi ranjang, seperti kemarin. Andra tak bergeming dan membiarkan hal ini terjadi. Setidaknya Rimu tidak akan melakukan macam-macam karena Andra sudah pasti jadi orang yang lebih dahulu menghentikannya.

Sebelah tangan Rimu menggenggam erat tangan yang terkulai lemas di ranjang. Di pandanginya wajah cantik gadis ini dengan rambut yang di biarkan tergerai.

"Dia tiba-tiba ketakutan liat gue semalam," jawab Rimu dengan nada getir, "Gue sama sekali nggak tau apa yang bikin dia takut. Tapi, apa mungkin dia benar tahu siapa gue sebenarnya?"

Andra memandang punggung kokoh itu, terlihat melemah karena berhadapan dengan si gadis. "Gue cuman bisa nebak-nebak aja." Tubuh Andra bangkit dari kursinya lalu berjalan ke sisi yang lain dari ranjang ini. "Lo inget pas pertama kali kita ketemu dia kan?"

Lihat selengkapnya