- REDLINE -

Sf_Anastasia
Chapter #17

#16 - As Time Stops

Sejak hari itu, hubungan di antara Riana dan Ryan merenggang. Tidak ada lagi yang menunggu Riana di depan kost sambil duduk di atas motor sambil sesekali bersenandung riang. Bahkan perayaan kecil yang biasanya mereka lakukan apabila ada hari penting juga sama sekali tidak ada. Ryan memilih menjauh setelah menentang ucapan yang Rimu lontarkan di hari itu dan menghajar laki-laki itu di tempat.

Terjadi keributan memang, namun Rimu tidak sempat membalas pukulan itu karena Andra sudah menghadangnya terlebih dahulu dan berakhir dengan Ryan yang memilih untuk pergi dari tempat itu. Riana memalingkan wajahnya keluar jendela, mengingat kembali hari itu.

Emosi Ryan langsung terbakar, tanpa peringatan dia bergerak maju dan menarik kerah baju Rimu. Manik elang itu melotot, sedetik kemudian Rimu jatuh tersungkur dan mengerang kesakitan.

"DIA BUKAN PACAR LO!"

"ARGGGH" Rimu berteriak kencang, gigi-giginya bergemeretuk. Ibu jarinya menyeka sudut bibirnya yang pecah dan mengeluarkan darah. Maniknya nyalang menatap Ryan yang pundaknya naik turun seiring emosinya yang memuncak. "BERANINYA LO NGEHAJAR GUE!"

"LO PIKIR GUE TAKUT?"

"STOP! STOP KALIAN BERDUA!" Riana berteriak kencang, dan mengambil tempat di antara mereka sambil merentangkan kedua tangan. "Salah satu dari kalian berani maju, berhadapan sama gue!"

Ryan menatapnya tak percaya. "Kamu belain dia? " tanya Ryan. "Kamu pacaran sama dia, Riana?"

Seluruh pasang mata sekarang tertuju padanya, terutama Ryan dan Abel yang menuntut penjelasan lebih darinya. Jika di pikir, memang tanpa sadar Riana tidak menjawab ucapan Rimu saat laki-laki itu memintanya menjadi kekasihnya. Akan tetapi, Riana juga tidak menolak saat Rimu mengatakan jika dirinya harus bersiap-siap. Namun, Riana juga sangat terkejut mengetahui orang-orang semalam, Andra dan juga Rimu. Jadi? 

"I--iya," jawabnya terbata. Kepala Riana tertunduk, tak sanggup untuk melihat wajah kecewa Ryan yang tergambar jelas di sana. "Ya--yan?"

Ryan mundur perlahan, matanya berubah nanar, seakan dunianya runtuh seketika. Riana jelas menatapnya bingung karena tak mengerti, lain halnya dengan Abel yang langsung menahan lengan kekar Ryan. Manik itu melihat pada Abel, kemudian menunduk.

"Biar gue yang baw--"

"Anggep aja aku nggak pernah dengar ini semua, Riana," kata Ryan yang memotong kalimat Abel sebelumnya.

Ryan berbalik, menuju motornya tanpa pernah menoleh lagi pada Riana yang masih mematung di belakang. Abel mengikutinya di belakang dan ikut pergi bersama dengan Ryan sampai menghilang di ujung jalan.

Suara denting bel dari bagian dapur menyadarkannya kembali ke waktu saat ini. Riana masih termenung seorang diri, duduk di salah satu sudut cafe di Central Park, sambil tetap melemparkan pandangannya ke luar jendela. Langit begitu biru dengan sinar matahari yang terik. Ingin rasanya berlari keluar dan menikmati hawa hari ini, namun semua itu ia urungkan dan memilih untuk tetap duduk nyaman. Sesekali tangannya mengetik beberapa kalimat untuk artikelnya di layar laptopnya, lalu mengecek ponselnya yang tergeletak manis di meja. Di sisi lainnya, ada segelas Greentea Latte dan New York Cheese Cake yang telah tersisa setengah.

Ponselnya bergetar, di liriknya benda pipih itu di meja hingga menampilkan ruang obrolan milik teman-teman kantornya.

Delon

Mas Dev, kerjanya sambil nongki kayak @Riana yak...

Ardhan

Manja bat ni manusia!

Delon

Protes aja lu, taplak!

Sella

Bicit ya kalian!

Nissa

Astagfirullah, kalian ya...

Mas Devian 

KERJA YA KALIAN!

Sudut bibirnya menyinggungkan seulas senyum tipis. Obrolan singkat namun membuat harinya sedikit membaik. Meskipun di lubuk hatinya tetap tidak merasa baik-baik saja karena tidak bisa menghubungi Ryan. Beberapa kali, jari telunjuknya melihat riwayat chat dengan Ryan beberapa hari lalu, sebelum ia menghilang semalaman.

"Aku harus gimana, ya?" batinnya bertanya.

Riana sendiri tidak sadar sudah menjalin hubungan di atas teman oleh Rimu. Ucapan Rimu saat di ruangan itu memang tidak di jawabnya secara langsung, tapi memang mengisyaratkan Riana setuju dengan hubungan ini. Namun di sisi lain, Riana juga ragu setelah sedikit demi sedikit mengetahui siapa diri Rimu sebenarnya. Riana takut, dan penasaran di saat yang bersamaan. Takut mengetahui jika Rimu benar pemimpin dari kelompok gangster itu dan penasaran mengapa Rimu bisa di perlakukan kasar oleh wanita yang di lihatnya saat bersembunyi di mobil Rimu. Di satu sisi, Riana biasa melihat Rimu yang kasar, seenaknya dan aneh. Tapi juga Riana bisa melihat sisi rapuh dan terluka dalam diri Rimu. Hal itu yang menyebabkan rasa penasarannya juga tinggi, ada perasaan ingin membantu Rimu untuk melalui itu semua.

Lama terhanyut dalam lamunannya, Riana tidak sadar jika sejak tadi sudah duduk seorang laki-laki di depannya. Tubuhnya tersentak kala manik mereka bertemu.

"Astaga, kok lo di sini?"

Sudut bibir pemilik manik elang ini naik sebelah, menandakan dia sudah berhasil menemukan buruannya. Sebelah tangannya menopang dagu. Hari ini dia mengenakan kaos putih polos dan celana jeans saja. Jam tangan yang bentuknya aneh melingkar di pergelangan tangan kirinya. Seperti smartwatch, tapi dengan desain yang lebih unik.

"Kenapa? Mau ketemu pacar kan nggak harus ijin dulu," ucap Rimu dengan pede.

Maniknya mendelik heran. "Nggak, bukan itu. Lo tau dari mana gue ada di sini?" tanyanya lagi, sampai maniknya melebar kaget. "Lo ngikutin gue ya?"

Rimu tersenyum penuh kemenangan. "Kan gue udah bilang, lo tuh nggak bisa kemana-mana. Gue bakal bisa nemuin lo. Bahkan, di ujung dunia sekalipun."

Seketika rasa mual menghinggapi dirinya, sebelah tangannya menyambar tissue dengan kasar di sisi kanannya, lalu menutupi mulutnya. Alis Rimu naik sebelah di buatnya.

"Buaya banget, kaget gue!" seru Riana sebal. Rimu tertawa terpingkal-pingkal, sesekali tangannya memukul pinggir meja karena geli. Riana menatapnya heran. "Bener-bener lo ya, Rim!"

Kedua tangan Rimu secara otomatis menutupi wajahnya ketika Riana melemparkan tissue tadi padanya. Menyebabkan gelak tawanya kembali meledak. Orang-orang di sekitar mereka hanya melihat dengan tatapan aneh dan kagum, karena sejujurnya Rimu terlihat sangat menarik.

"Gue tadinya pengen marah, tapi liat ekspresi lo malah bikin gue mau ketawa," ucap Rimu sambil menyeka sudut matanya dengan jari akibat tertawa terlalu kencang. "Tapi makasih ya. Jarang-jarang gue ketawa kayak tadi."

Sungguh, tiba-tiba saja pipinya memanas, bukan karena pendingin ruangan yang tiba-tiba mati, melainkan karena ulah laki-laki di depannya. Rimu sungguu berbeda hari ini, bahkan Riana sampai melupakan hal yang ia ketahui kemarin.

Sebelah tangan Rimu terangkat, menyentuh pipinya. "Kok merah? Lo nggak demam tiba-tiba kan?" lalu tangannya naik ke dahi untuk memastikan ia memang baik-baik saja.

Tapi keadaan ini semakin tidak baik karena pipinya makin memanas.

"RIMU!" serunya kencang ketika sadar kedua tangan Rimu mencubit manja kedua pipinya. Bibirnya maju karena sebal. Hal itu membuat Rimu malah semakin gemas.

"Nggak mau gue lepas. Lucu banget sih lo," ucap Rimu gemas sambil tertawa.

Sedangkan Riana malah makin sebal di buatnya. Kedua tangannya ikut terangkat, melakukan hal yang sama hingga pemilik manik elang ini menatapnya geram.

"Lepas, Ri!" perintahnya, tapi bukan Riana jika tak bisa menolak. Ia malah menjulurkan lidahnya

"Bweeek. Nggak mau. Lo dulu lepas!"

Bukannya di lepas, Rimu malah mengencangkan jari-jarinya di pipi Riana "Nggak mau. Lo dulu!"

"Aw, sakit Rim!" Riana berteriak dan memperingatkan dengan menyebut nama laki-laki ini penuh penekanan. Riana juga mengencangkan jari-jarinya sekarang.

Lihat selengkapnya