***
Setiap manusia pasti pernah merasakan titik terendah dalam hidupnya. Sebagian mencoba untuk bertahan meskipun hanya untuk mendongak ke langit rasanya sulit, dan sebagian lainnya mencoba untuk mengakhiri hidupnya agar tak lagi merasakan rasa sakit yang terus menerus mendera. Bagi Rimu, keduanya pernah di lalui. Rimu telah melalui titik tersulit dalam hidupnya untuk bertahan dari keras dan kejamnya dunia. Tak pernah mendapatkan kasih sayang sejak kecil, Rimu setiap harinya hanya mendapatkan kekerasan. Rimu bukanlah anak seorang yang hidup dalam keluarga yang harmonis. Sama sekali tak mengetahui siapa Ayahnya, Rimu hanya mengenal sosok Ibu yang kejam. Tak segan untuk membunuhnya jika ingin, tak segan untuk menghukumnya apabila menangis. Rimu kecil adalah sosok yang harus merasakan kejamnya dunia yang seakan di limpahkan hanya untuknya seorang.
Rimu mengarahkan pajeronya ke arah lain, dengan sebelumnya sudah mengabari pada Alex untuk menarik pengawalan darinya, karena Rimu meminta waktu beberapa saat untuk berbicara empat mata hanya dengan Riana. Kini mereka tiba di pantai, tempat yang sama saat Rimu menyelamatkan Riana di club dan membawanya ke sini. Kali ini mereka memilih untuk tidak turun, dan menikmati ombak yang bergulung menuju bibir pantai dari dalam mobil saja.
Sejak pertanyaan yang di lontarkannya tadi, Riana masih tetap diam dan tak memberikan ekspresi ataupun jawaban apapun. Rimu sebenarnya sudah bisa menebak jika gadis ini pasti terkejut. Namun Rimu tidak bisa memastikan apakah Riana sudah mengetahui tentangnya ataupun Redline. Karena Riana belum memberikan satu patah kalimatpun padanya.
Bibir Rimu terasa bergetar sesaat, kebingungan cukup melandanya untuk mengucapkan kalimat demi kalimat yang akan panjang di dengar dari sekarang. Dari manakah Rimu harus memulai?
"Sejak dulu, kota ini memang berbahaya. Nggak pernah ada kebahagiaan di sini, apalagi bisa ngelihat orang-orangnya tertawa lepas kayak di dufan kemarin."
Riana menoleh pada Rimu di sampingnya. Manik elang itu menatap jauh ke depan sana tanpa sedikitpun untuk melihat Riana sedetik saja sekarang. Rimu terlalu takut untuk melihat bagaimana ekspresi Riana.
"Gue terbiasa melihat kekerasan apapun sejak kecil, bahkan gue juga adalah salah satunya yang menerima perlakuan buruk itu, dari orang yang gue tau bahwa di adalah Ibu. Hampir setiap hari, wanita itu pulang dan mukulin gue. Gimana ya rasanya?" Rimu terdiam sebentar, suaranya bergetar dan tidak setegas biasanya. "Sakit, tentu saja. Tubuh gue kayak mati rasa. Amis darah, lebam, udah biasa gue lihat di badan sendiri. Mungkin, lo liat waktu itu gue di siksa sama dia dan gue nggak bisa ngelawan? Itu kelemahan gue. Nggak tau, kenapa gue nggak bisa ngelawan dia sampe sekarang. Padahal, seharusnya gue bisa kan ngebales perlakuan dia?"
Sebelah tangan Riana terulur menggenggam tangannya yang mulai dingin. Kehangatan dari telapak tangan Riana mulai menjalari dirinya. "Rim," ucapnya lirih.
Manik elangnya menatap tangan Riana, tanpa membalasnya dan kembali melihat ke laut lepas. "Gue menyedihkan ya? Nggak seperti yang biasa lo lihat. Cowok nyebelin yang gangguin lo."
Riana menggeleng. "Nggak kok," jawabnya lirih sampai tanpa sadar setetes air matanya jatuh. "Gue nggak tau lo pernah ngalamin hal seberat itu."
Rasanya ingin tersenyum simpul pun sulit bagi Rimu. "Nggak apa. Lo orang pertama yang denger ini. Gue bukan mau nunjukkin sisi kelam gue. Gue cuman mau lo tau tentang gue, dari gue."
"Kenapa lo berpikir gitu?" tanya Riana.
Rimu menggigit bibir bawahnya. "Karena lambat laun lo bakal tau siapa gue." Kepalanya menoleh pada Riana sekarang. "Dan gue cuman nggak mau lo denger dari orang lain dan bukan dari diri gue sendiri yang ngomong langsung." Rimu diam sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya. "Gue bukan orang baik, Ri. Semua berita yang pernah lo denger tentang kota ini, sebagian besar di sebabkan oleh gue."
"Maksudnya?" tanya Riana yang kebingungan.
"Semua berita kematian, huru-hara, keributan, asalnya dari gue. Lo inget cerita gue di awal tentang penyiksaan yang gue terima karena nggak ada yang ngelindungin gue?" Riana mengangguk kecil. Rimu diam lagi. "Karena hal itulah, gue membangun Redline."
Tangan Riana terasa bergetar, diiringi dengan tubuh Riana yang juga bergetar kaget. Tidak di sangka oleh Riana akan mendengar hal ini sekarang. Ucapan Sandra, seakan terasa dekat dengan hidupnya sekarang. Sedangkan Rimu berusaha untuk tidak menebak perasaan Riana saat ini. Rimu hanya ingin Riana mendengarkannya.
"Gue nggak mau ngeliat orang-orang di sini hidup tanpa perlindungan. Memang tidak ada hukum di sini, tapi seenggaknya gue yang akan ngehukum mereka. Karena itulah, Redline ada. Menurut lo, gue jahat?" tanyanya. Manik elang Rimu menatap jauh ke dalam manik Riana yang kelihatan tidak percaya dengan ucapannya.
Riana tetap pada posisinya, tidak berusaha untuk menarik diri darinya. Hanya saja, Riana di liputi kegamangan. Sandra sudah sangat jelas memperingatkannya mengenai kelompok berbahaya yang menguasai kota ini. Namun Riana jelas tak menyangka jika dia akan berhadapan langsung dengan...
"Lo, pemimpin--"
"Iya," potong Rimu. "Yang punya kuasa di sini, yang paling berhak untuk menghukum mereka yang nggak ada di pihak Redline, itu gue."
Tanpa sadar, Riana mulai menarik tangannya. Belum sempat tangannya kembali, Rimu sudah menarik tangannya dan menempelkannya di dada. Manik elangnya berubah sendu. Sudah pasti Riana bisa merasakan degup jantungnya yang berpacu. Rasa takut mulai menghantui Rimu, dirinya takut jika Riana akan pergi meninggalkannya. Tapi sejauh apapun Riana pergi, Rimu takkan pernah melepaskannya. Tak akan pernah. Egois kah?
"Lo takut sama gue sekarang?"
***
Pernahkah kamu mendengarkan sebuah kalimat yang seharusnya tak seharusnya di dengar?
Tentu saja. Riana baru mengalaminya hari ini. Beberapa waktu lalu, Riana memang sudah mengetahui sedikit demi sedikit mengenai siapa diri Rimu sebenarnya, meskipun belum pernah mendengar langsung dari mulutnya sendiri. Riana hanya tak menyangka, jika apa yang ada di pikirannya selama ini ternyata benar adanya. Berusaha untuk menampik, namun rasanya gagal karena hal di ucapkan Rimu adalah kenyataan yang sebenarnnya.
Riana jadi lebih mengerti sekarang, mengapa orang-orang yang ada di ruangan itu sangat patuh kepadanya. Kemudian, ingatannya juga melayang pada hari pertama pertemuan mereka, betapa kedua laki-laki yang menganggunya sangat ketakutan saat melihat Rimu, begitu juga dengan laki-laki di club. Mereka semua tidak ada yang berani melawan Rimu, seakan keberanian dalam diri meraka hilang tak bersisa. Bahkan dengan Lucas. Tunggu, siapa Lucas di mata Rimu?
"Lo takut sama gue sekarang?"
Maniknya terangkat untuk menatap manik elang yang sedari tadi menuntut jawabannya. Dia terlihat sendu, rasa takut juga terlihat menguasai dirinya. Rimu lebih pasrah, pasrah terhadap berbagai jawaban yang akan keluar darinya.
Riana menarik napas sebanyak mungkin. "Dari awal, gue sama sekali nggak takut sama lo," jawabnya. Riana masih membiarkan tangannya itu ada dalam dada Rimu, sehingga Riana bisa merasakan setiap degup jantungnya.
Rimu menatap Riana tajam. "Kenapa lo nggak takut sama gue? Seperti yang lain," tanyanya dengan serius. Bahkan Rimu tidak melepaskan sedikitpun pandangannya. Rimu hanya melihat ke arah Riana, menunggu jawaban yang akan dia lontarkan.
"Gue percaya, orang yang nolong gue bukanlah orang jahat," katanya dengan nada cukup rendah. Keyakinan itu sudah menjadi pedoman hidupnya sudah sejak lama. Papa selalu mengatakan untuk mempercayai siapa saja yang menolongnya. Mereka baik dan tidak jahat.
Berbeda dengannya, kelihatan sekali Rimu tidak bisa menerima jawaban yang meluncur dari bibirnya. Dia berusaha menolak itu semua dengan memalingkan wajah, lalu berusaha memijat pelipis kepalanya yang berdenyut, kemudian kembali menatap Riana dengan serius. "Tapi bisa saja gue punya sesuatu terhadap lo. Seperti ingin berbuat buruk dengan bersembunyi dalam sosok yang baik."
"Lo nggak seperti itu," kata Riana lagi dengan amat yakin. Sedangkan Rimu masih memasang wajah bingung dan heran. Sesekali dia menggigit bibir dan berusaha ingin memotong kata-katanya. Namun dia urungkan. Rimu masih memberikannya kesempatan untuk berbicara.
"Bagaimana lo bisa sepolos ini, Riana? Lo tahu gue adalah salah satu orang yang tinggal di Red District. Gue bisa saja nyakitin lo sekarang atau nggak bunuh lo!" tegasnya dengan nada meninggi, seakan ingin segera Riana dari tempat ini, segera.
Riana melihat ke dalam maniknya. "Lo nggak akan ngelakuin itu ke gue, Rim. "
"Why?"
"Gue lihat mata lo. Dan nggak ada hal buruk disana. Lagipula apa bedanya orang-orang di Red District dengan yang lainnya? Lo sama gue sama-sama manusia."
Sebenarnya, Riana sempat ragu sesaat tadi. Peringatan dari Sandra jelas masih membekas dalam ingatannya dan takkan pernah hilang. Masih jelas sekali saat Sandra mengatakan untuk menjauhi kota ini setelah berada dalam jarak yang tidak jauh dengan anggota Redline. Tapi sekarang, Riana ada di dekat Rimu dengan jarak yang dekat, tanpa ada ruang untuk pergi. Nun jauh di dalam hatinya, Riana memang tak ingin pergi dari sisi Rimu. Sosok laki-laki pemilik manik elang ini memang sejak awal menarik perhatiannya, hanya saja Riana selalu menampiknya. Kali ini, Riana tak ingin lari. Riana ingin selalu ada di sisinya.
"Meskipun lo tau siapa gue? Tau siapa gue sebenarnya?"
Getaran dalam setiap kalimat yang Rimu ucapkan makin terasa. Sebelah tangannya yang bebas terangkat, menuju wajah tegas Rimu yang sendu sekarang. Rimu terlihat terkejut dengan tingkah lakunya, namun memilih untuk membiarkan.
Kepalanya mengangguk, dengan senyum kecil yang terbit di wajahnya. "Lo tetap Rimu Reon yang gue kenal. Nggak akan pernah berubah."
Rimu nampak memejamkan mata, seolah berkata jangan ucapkan hal seperti itu padanya. Kemudian maniknya kembali terbuka, menatapnya lekat-lekat.
"Gue berbahaya, Riana," tegasnya dengan nada sedikit meninggi. Riana menggeleng.
"Lo melakukan itu dengan alasan kan?" Kepala Rimu mengangguk, membuat tangannya kembali membelai pelan wajah tegas Rimu. "It's okay, lo melakukan itu untuk melindungi mereka yang ada di sini. Ya kan? Lo yang bilang di awal. Lo mau ngelindungin mereka, makanya Redline ada. Meskipun gue nggak bisa bilang perbuatan kalian di sini benar, tapi itu adalah jalan satu-satunya yang bisa di ambil kan? Terus kenapa lo masih bilang diri lo berbahaya, Rim?"
"Gue, gue--"
"Rim," potongnya. "Hei, lihat Riana sekarang."
Manik mereka saling menatap satu sama lain, melihat jauh ke dalam sana. "Lo mau gue pergi?"
Jelas, pertanyaan itu membuat manik elang di depannya melebar "Nggak, gue nggak akan pernah biarin lo pergi tanpa seizin gue."
"So, apa lo liat ada keinginan gue yang mau pergi dari sini? Sekarang?"
Sebelah tangan Rimu juga terangkat, memegang sisi wajahnya yang lain. "Lo emang aneh, Ri."
Riana tak menjawab, hanya membiarkan manik mereka saling menatap diiringi denganmu desiran ombak. Tanpa keanehan ini, Riana takkan mengenal Rimu. Namun jika hari itu Riana memilih berbalik dan tetap menunggu Sandra di luar perbatasan, Riana takkan pernah berteman dengan Rimu.