- REDLINE -

Sf_Anastasia
Chapter #20

#19 - Howling

Pagi ini seperti biasanya Riana sudah bangun lebih awal dari biasanya. Sudah mandi dan sekarang duduk di depan meja riasnya sambil memoleskan lipbalm tipis-tipis di bibirnya, kemudian tangannya mengambil sisir dan merapihkan sedikit tatanan rambut panjangnya yang di biarkan tergerai. Riana memilih blouse berwarna putih dengan jeans berwarna biru tua. Tak lupa mengenakan cardigan karena Riana termasuk salah satu gadis yang tidak terlalu suka mengekspose lengannya. Sekarang tangannya menyambar sebotol parfum dan menyemprotkannya ke seluruh tubuh, lalu menghirup harum wanginya. Menyenangkan sekali.

Baru saja hendak meraih tasnya, ponselnya sudah berbunyi terlebih dahulu. Wajahnya berseri-seri karena menebak siapakah yang mengiriminya pesan sepagi ini. Apakah jangan-jangan...

Senyum di wajahnya pudar ketika melihat nama yang tertera di sana. Bukan Rimu, bukan. Melainkan orang lain yang beberapa hari kebelakang memang ada di sekitarnya. Tentunya bukan Ryan, karena laki-laki itu masih marah terhadapnya. Bahkan untuk sekedar tahu kabarnya saja, Riana harus menghubungi Abel.

"Lucas?"

Jarinya menekan pesan whatsapp yang masuk ke ponselnya. Lalu mulai membaca isi pesan yang ternyata singkat dan to the point.

Lucas

Na, hari ini ada waktu?

Dahinya berkerut samar. Ada apa gerangan sampai Lucas mengirimkan pesan se pagi ini padanya?

Riana

Hai, ada apa?

Lucas

Temani aku, ke toko buku yang waktu itu.

Hah?

Gimana?

Riana

Hari ini?

Lucas

Yup, kamu ada waktu jam berapa?

Sekarang, Riana jadi terdiam memandang pesan dari Lucas yang belum di balasnya sama sekali. Detik demi detik telah berlalu, namun jari jemarinya belum berhasil menemukan satu kata pun yang di rasa pantas untuk di katakan. Peringatan dari Rimu masih terngiang di benaknya, betapa laki-laki itu sangat membenci keberadaan Lucas di sekitarnya. Namun tidak bagi Riana, Lucas tetap teman yang baik, sangat baik karena pernah membantu mengembalikan moodnya yang rusak.

Riana

Oke, jam satu siang gimana? Aku ada kuliah pagi.

Baru saja hendak memasukkan ponselnya ke dalam tas, benda pipih itu sudah kembali bergetar. Terpaksa Riana menyapu kembali layarnya untuk membaca pesan yang di kirimkan kepadanya.

Lucas

Oke. Kita ketemu di stasiun UI ya.

Riana

Oke.

Riana menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum memasukkan kembali ponselnya ke tas. Kemudian berjalan keluar kost sambil menenteng tas sling bagnya. Namun, sesampainya di luar maniknya melebar kaget. Laki-laki yang akhir-akhir ini mengisi harinya sudah berdiri di sana, tepat di depan mobilnya sambil bersandar pada kap pajeronya. Manik elang itu tampak memandang ke langit, menikmati langit pagi cerah hari ini dan tidak sadar akan kehadirannya.

"Rim," sapanya sampai manik elang itu menatap padanya. Senyum manis merekah di wajah Rimu hingga membuatnya tersipu. "Kok di sini?"

"Mau kasih lo kejutan," ujarnya. Sebelah tangannya terangkat dan membelai puncuk kepala Riana yang sudah berdiri di depannya. "Dan sepertinya kejutan gue berhasil."

Merasa tertangkap basah, Riana menundukkan kepalanya karena malu. "Apa sih, masih pagi juga."

Rimu tertawa kecil mendapati tingkah manis Riana. "Berangkat yuk!"

Sekarang, mereka sudah berada di jalur bebas hambatan di dalam kota. Rimu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang sambil bersenandung bersama dengan Riana. Mereka tertawa, lalu saling bertukar cerita-cerita lucu dan membuat mereka terbahak-bahak bersama. Sampai Rimu tidak menyadari jika ponselnye bergetar di dashboard sejak tadi.

Butuh waktu tiga puluh menit untuk tiba di kampus. Beberapa hari lalu mereka berdua telah menyelesaikan tugas yang akan di presentasikan pada hari ini. Riana memeriksa tasnya dan mendapati harddisk eksternalnya ada di sana. Hari ini mereka akan presentasi menggunakan laptop milik Rimu, yang sebelumnya mereka sudah berdebat panjang dan berakhir dengan Riana yang mengalah.

Sepanjang perjalanan dari parkiran hingga sampai di depan kelas, tatapan para mahasiswi sangat tajam pada Riana. Tentu saja mereka semua iri karena dirinya bisa berjalan tepat di sebelah seorang Rimu Reon. Lihat dia, hanya menggunakan kaos putih, jaket dan celana jeans saja sudah memancarkan aura wibawa dan betapa tampannya dia. Bahkan saat Rimu menarik rambut bagian depannya ke belakang, mereka semua histeris seakan lupa Riana ada di sampingnya. Riana sendiri hanya memandang aneh dan berusaha tidak mempedulikan. 

Sesampainya di kelas pun, Riana langsung mendapatkan tatapan tajam dari gadis yang biasa ada di samping Rimu, Lexa. Maniknya melotot tajam seakan hendak keluar dengan wajah garang. Rimu yang melihatnya langsung menyambar pergelangan tangannya yang bebas dan menariknya menuju kursi yang ada di paling depan. Lexa hampir saja melompat ke arah mereka, jika Alex yang juga teman Rimu, tidak segera menghentikannya. 

"Rim, lo nggak di sebelah Lexa aja?" tanyanya sesaat baru saja duduk di kursi dan meletakkan tasnya di meja. "Daritadi dia ngeliatin kesini. Kayaknya dia mau lo duduk di sana deh."

Manik elang itu menatapnya heran. "Lo mau cowok lo duduk di sebelah cewek lain?"

"Bukan gitu, kan kalian temen. Nggak apa-apa kok," ujarnya jujur. Namun Rimu nampak terdiam sambil melemparkan padangannya ke depan kelas. Seakan enggan untuk membahas lagi.

"Gue mau duduk sama cewek gue, jadi jangan coba-coba ngusir gue dari sini," kata Rimu yang baru saja menoleh padanya. "Mendingan, kita urusin presentasi kita ntar." Sebelah tangan Rimu mengeluarkan laptopnya dari dalam tas, dan segera menyalakannya. "Itu lebih baik daripada kita debat kayak tadi." 

Kepalanya mengangguk patuh. "Iya juga ya, kita kan ada presentasi."

"See? Makanya gue nggak mau jauh dari lo."

Dahinya berkerut samar sekarang. "Maksudnya presentasi kan?"

Rimu menggeleng. "Nope. Dalam semua hal."

Laki-laki di sampingnya pasti bisa melihat wajah membekunya barusan. Rimu memang sudah sering mengatakan hal seperti itu, namun tetap saja memberikan dampak yang sama saat pertama kali mendengarkannya. Riana mengigit bibir bawahnya tanpa sadar, membuat sebelah tangan Rimu terangkat untuk menghentikannya. 

"Udah sering gue bilang, nanti bibir lo luka. Seneng banget ya liat gue ngomel. Nggak tau gue khawatir apa!"

"Yang penting nggak luka kan?" 

Rimu tertawa kecil. "Sekali lagi kayak gitu, bibir lo yang gue gigit," ucapnya memperingatkan. Sebelah tangan Riana terangkat dan memukul bahu kokoh Rimu. "Aduh, sakit tau."

"Macem-macem kita berantem di sini!" serunya sebal sambil mencibir pada Rimu.

"Yakin mau berantem sama gue?" tanya Rimu dengan menaikkan sebelah alisnya. "Gue nggak yakin lo bisa ngalahin gue."

Belum sempat pertengkaran kecil mereka berlanjut, Pak Budiman sudah lebih dahulu memasuki ruangan dan menyapa seisi kelas. Wajahnya terlihat berseri-seri menatap seluruh mahasiswa dan mahasiswinya.

"Selamat pagi, mari kita mulai perkuliahan ini dengan membaca doa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa, di mulai."

***

Lucas memejamkan mata sejenak di kamar tidurnya di markas. Sama sekali tidak tidur, Lucas hanya ingin mengistirahatkan maniknya dari segala sinar dan warna yang dapat di lihatnya setiap hari. Terakhir kali, saat dirinya menyelamatkan Riana dan bertemu langsung dengan Rimu, membuatnya di sidang oleh Nezha dan juga Sebastian setibanya mereka kembali ke markas. Saat itu, wajah Nezha merah padam dan menatapnya jengah.

"Lo masih berani nyelametin dia?" tanya Nezha tak percaya dengan hal yang di sampaikan oleh Sebastian. "Lo lupa siapa gadis itu sekarang? Dia ada di pihak Redline, dan lo harusnya sadar sama apa yang lo lakuin tadi, Lucas!"

Kepala Lucas tertunduk lesu. "Perasaan gue nggak bisa hilang semudah itu, bang. Gue nggak bisa biarin dia terluka tadi."

Nezha maju ke arahnya, memaksa manik mereka bertemu. "Terus? Lo mau apa kalo kita semua di sini nyakitin dia demi mancing Rimu keluar dari kandangnya? Harusnya dengan liat dia teruka lo bakalan nyerah sama dia."

Manik Lucas melotot tajam. "BANG!" serunya kencang, Sebastian segera menahan tubuhnya yang hampir saja maju untuk menghajar Nezha.

"LUCAS!" seru Sebastian galak. "Apa yang Nezha bilang benar. Lo emang saat ini belum bisa ilangin perasaan lo. Tapi lo harus siap buat mengesampingkan perasaan lo sama gadis itu. "

"Siap ngeliat orang yang gue sayang di sakitin?" tanya Lucas dengan tatapan tak percaya. Namun Nezha juga membalasnya dengan tatapan yang sama. "Itu yang abang berdua mau?"

"Lo lupa sama apa yang terjadi sama Daniel? Lupa apa yang udah di lewatin Daniel sampai akhirnya harus meregang nyawa? Masih nggak bisa sadar juga?"

Jantung Lucas terhenti sejenak setelah nama Daniel kembali di kumandangkan. Maniknya terpejam kesal, karena hampir saja melupakan hal yang terjadi pada Daniel dulu.

"Gue harap, ini terakhir kalinya lo berbuat kayak gini. Balas dendam kita yang utama, Lucas!"

Dan Nezha memilih keluar dari ruangan dan di ikuti Sebastian dari belakang, meninggalkan Lucas dengan segala perasaan bersalahnya pada Daniel.

Kini maniknya kembali terbuka sepenuhnya, menatap langit-langit putih di kamarnya. Lucas memang sudah berjanji untuk membalas dendam atas kematian Daniel. Namun dengan mengorbankan Riana? Ini adalah pilihan yang sulit. Lucas akan menggunakan hari ini untuk menentukan keputusannya.

Segera Lucas bangkit dari ranjangnya dan bergegas untuk mandi, lalu kemudian bersiap-siap untuk memenuhi janjinya hari ini dengan Riana.

***

"Tujuan utama perusahaan/perseorangan yang memiliki usaha adalah untuk memaksimalkan tintkat penjualan dan laba. Ini dapat dicapai melalui promosi dan komunikasi tentang barang dan jasa yang kita miliki. Fungsi manajemen pemasaran ini memungkinkan perusahaan/perseorangan yang memiliki usaha untuk memberikan informasi tentang produk kepada pelanggan tetap mereka, ataupun untuk menggaet pelanggan baru."

Rimu berdiri di podium sambil membawakan presentasinya hari ini. Wajah tampan Rimu sangat membius para mahasiswi dan tentunya mahasiswa juga. Mereka berpikir bahwa biasannya, setiap manusia memiliki satu celah dalam dirinya, namun ini seakan tak berlaku pada seseorang seperti Rimu. Tampan? Cerdas? Mengapa bisa semuanya ada dalam dirinya?

Sebelah tangan Rimu menekan tombol presentasinya hingga slide berganti.

"Seperti contoh, perusahaan ini. Mari kita sebut dia perusahaan A. Bergerak di bidang industri kecantikan yang mereka tentunya memerlukan treatment untuk mempertahankan pelanggan mereka dan juga mendapatkan pelanggan baru."

Slide pun berganti, menampilkan serangkaian gambar cara perusahaan A untuk memasarkan produk mereka. Rimu kembali membalikkan badannya pada audience.

"Mereka rajin menerbitkan artikel. Seperti contohnya artikel ini, tentang pemanfaatan kulit pisang yang bisa di gunakan untuk kulit wajah. Atau," tangan Rimu kembali menekan tombol. "Menampilkan produk-produk mereka yang di highlight baik di artikel, Instagram, dan iklan mereka untuk menggaet pelanggan baru ataupun juga mempertahankan pelanggan lama mereka agar sadar akan promo yang ada saat ini."

Rimu berjalan ke arah Riana, dan memberikan tombol dalam genggamannya pada gadis ini. Riana meraih benda itu, dan berjalan ke arah podium.

"Dengan timeline sebanyak ini, tentunya harus di lakukan secara berkala dan setiap hari untuk menampilkan proses pemasaran yang terstruktur dan dapat mencapai tujuan utama perusahaan, yaitu penjualan."

Senyum di wajah Rimu terbit, sudah di duganya bahwa Riana akan lancar pada saat presentasi. Ide dari presentasi hari ini juga berasal darinya, karena saat ini tengah bekerja di salah satu perusahaan kecantikan di Jakarta. Dan Rimu juga sudah menduga, bahwa ide itu brilliant.

Saat ini sesi tanya jawab sudah di mulai, terlihat Riana nampak melempar senyum pada siapapun yang bertanya. Sampai...

"Sampai kapan lo mau berdiri di sebelah Rimu?"

Pertanyaan menggelegar itu datang dari Lexa yang baru saja mengangkat sebelah tangannya. Maniknya tajam penuh dengan sorot kebencian saat menatap Riana. Tentu saja degup jantung Riana sempat berhenti sesaat karena pertanyaan itu. Belum lagi seluruh mata tertuju pada mereka berdua termasuk Pak Budiman.

"Lexa, kamu bertanya di luar presentasi," ucap Pak Budiman padanya, namun Lexa seakan tak menyadari keberadan Dosennya sendiri.

"A--iya. Pertanyaan kamu di luar konte--"

"Jawab aja," potong Lexa. "Mau sampai kapan lo ada di sebelah Rimu?" 

Alex yang ada di sebelahnya segera mencengkram tangan Lexa. Sedangkan Rimu maju ke depan podium, menutup tubuh Riana dengan tubuhnya sendiri.

"Nggak bisa liat konteksnya, Xa?"

Lexa berdiri, tanpa bisa di cegah Alex. "Minggir. Gue tanya sama cewek sialan itu, bukan sama lo!"

Kedua tangan Rimu mengepal keras hingga buku-bukunya memutih. Manik elangnya jalang menatap Lexa yang tak kalah tajam. Pundak Rimu sudah turun naik seiring emosinya yang mulai meninggi akibat ucapan sembarang Lexa yang tak memiliki alasan. Rimu tak tahan lagi, kakinya mulai melangkah turun dari podium. Belum sempat lebih jauh, Rimu tak bisa bergerak lantaran sebelah tangannya sudah di cegat oleh Riana.

Kepala Riana menggeleng. "Udah. Nggak usah."

Rimu jelas tak menyukai gagasan dari Riana barusan karena meskipun Lexa adalah temannya, gadis itu perlu di ajari rasa hormat pada seseorang yang ada di sampingnya.

"Na, lepas tangan gue!" pintanya, sayangnya Riana tidak mau melepaskannya.

Suasana mulai menegang, di tambah Alex yang juga ikut mencegat tubuh Lexa yang emosinya meluap. Pak Budiman segera berjalan ke tengah.

"Kalian berdua," tunjuk Pak Budiman pada Rimu dan Lexa. "Netralkan emosi kalian. Jika memang ada masalah di luar perkuliahan, saya harap jangan di bawa ke dalam kelas. Lihat teman-teman kalian yang ingin belajar. Saya pikir perkuliahan hari ini sudah cukup. Saya terkesan dengan presentasi hari ini, tapi saya tidak bisa melihat pertengkaran ini lebih jauh. Tolong di hentikan sekarang juga."

Rimu memejamkan maniknya sebentar, sambil menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Kepalanya mengangguk lemah pada Pak Budiman, lalu berbalik pada Riana. Rimu sama sekali tak peduli lagi dengan Lexa, benar-benar membuatnya emosi dan sakit kepala di saat yang bersamaan. Riana segera membantunya membereskan barang-barangnya dan juga miliknya sendiri. Saat Pak Budiman keluar kelas, mereka berdua mengikuti dari belakang, meninggalkan kelas tanpa berbalik lagi. Lexa masih nampak kesal bukan main sampai berteriak kencang, hingga mengagetkan seisi kelas.

"Lexa. Udah cukup lo bersikap kayak gini. Nggak liat sikap Rimu kayak gimana tadi? Dia marah besar sama lo," ucap Alex dengan cukup kencang sehingga Lexa langsung melihat padanya.

"Gue nggak peduli. Yang penting cewek itu kudu pergi dari sisi Rimu!" serunya tak kalah kencang. 

Alex mencegat tangan Lexa yang baru saja hendak pergi. "Cukup gue bilang. Atau lo mau berhadapan sama Rimu yang lagi ngamuk?"

Lexa terdiam, dengan mulut terkulum karena menahan semua emosi yang ingin di keluarkannya. Tangannya sedikit melemah, Alex menyadari bahwa Lexa sedikit demi sedikit mulai stabil. Alex kemudian membenarkan letak tangannya dan menggenggam erat tangan Lexa.

"Kita balik aja sekarang, ya."

Ajakan darinya mendapat anggukan lemah dari Lexa yang memilih untuk menundukkan kepalanya. Alex lah yang membimbing gadis ini keluar kelas, dan memilih jalan memutar ke arah lain agar tidak berpapasan dengan Rimu dan Riana.

Di sisi lain, Rimu sudah duduk di dalam mobil dengan kepala bersandar, mata terpejam dan tertutup oleh sebelah tangannya. Riana yang duduk di sampingnya memilih diam dan ikut bersandar saja. Emosi Rimu jelas hampir meledak tadi, apabila tak ada Riana, Pak Budiman bahkan Alex, Lexa sudah habis dalam genggamannya. Meskipun teman, dan pernah menemaninya tidur, Rimu tidak bisa memaafkan ucapan Lexa begitu saja kepada Riana. Gadis itu benar-benar marah terhadap Riana dan seharusnya dia juga marah padanya. Rimu menghela napas panjang, kemudian maniknya kembali terbuka seiring tangannya yang memilih untuk bersandar pada kemudi.

"Maaf ya."

Kalimat singkat yang meluncur dari bibir Rimu membuat tubuh Riana tegak kembali. "Eh? Soal apa?"

Manik elang itu melihat padanya. "Soal omongan Lexa tadi. Maafin gue, karena dia ngomong kasar ke lo."

Kepala Riana menggeleng. "Bukan salah lo kok. Gue maklumin kok sikapnya Lexa ke gue."

Dahi Rimu berkerut samar sekarang. "Maksudnya?"

Riana menatapnya lebih dalam. Kepalanya sempat tertunduk sesaat sebelum kembali melihat padanya. "Dia suka sama lo, Rim. Gue sadar itu."

"Tapi gue sukanya sama lo!" seru Rimu agak kencang. Lalu dengan cepat mengatupkan mulutnya. "Maaf lagi, gue jadi terkesan ngebentak lo."

Di luar dugaan, Riana malah tersenyum kecil. "iya, tau kok." Sebelah tangan Riana mengambil sebelah tangannya, dan menepuk-nepuk punggung tangannya. "Lo udah sering ngomong dan gue udah hapal."

Rimu jadi ikut tertawa kecil. "Seneng kalo di hapal. Gue jadi merasa spesial sekarang."

Keduanya jadi tertawa bersama setelah insiden tadi. Sebelah tangan Rimu terangkat, mengusap pelan puncuk kepala Riana. Namun tubuh Riana tersentak kaget.

Lihat selengkapnya