***
Langit mulai menggelap semenjak kepergiannya dari apartment sekitar tiga puluh menit lalu. Beberapa kali, tangannya menekan klakson dengan sekuat tenaga agar kendaraan di sekitarnya memberikan jalan untuknya. Tentu saja hal itu berguna, tapi di sisi lain juga membuat para pengendara lainnya ikut mengeluarkan emosinya setelah pajeronya berhasil melewati mereka. Maniknya hanya menatap geram pada mereka, lalu kembali fokus pada kemudinya.
Sebelum kepergiannya, dirinya sudah menerima pesan singkat mengenai lokasi yang di kirimkan laki-laki sialan itu. Jujur saja, pikiran serta tubuhnya di kuasai oleh amarah sekarang. Lihat tangannya yang memegang kemudi kuat-kuat hingga buku-buku tangannya memutih, belum lagi napasnya yang memburu. Dirinya benar-benar di kejar oleh waktu. Sedetik saja terlambat, sama sekali tak terpikirkan olehnya apa yang akan terjadi pada gadis itu. Dari jarak yang agak jauh, maniknya menangkap sinyal dari lampu dim dari dua kendaraan lainnya yang terpantul di kaca spionnya. Anggota Redline yang mengikutinya sudah ada di belakangnya, hanya terpaut lima mobil. Alex juga ada di sana bersama dengan mereka.
Pikirannya fokus, tapi juga melayang ke saat di mana Riana meminta untuk tidak mengantarnya pulang.
"Temen gue nggak seberbahaya itu, Rim."
Sebelah tangannya memukul kemudinya sebentar. Rasa kesal terus menderanya tanpa henti. Seharusnya, tidak semudah itu dirinya percaya akan ucapan Riana. Dan seharusnya juga, dirinya tidak membiarkan Riana seorang diri tanpa pengawasan. Perasaan sesal merambati dirinya sekarang.
Di sebuah pertigaan, tangannya dengan lihai membelokkan kendaraannya ke arah kanan lalu menekan pedal gas kuat-kuat setelah melihat jalanan yang sepi. Area ini di penuhi gudang-gudang penyimpanan barang yang biasanya di gunakan untuk keperluan ekspor dan impor. Maniknya mengedar sambil sesekali menatap layar ponselnya yang ada di dashboard. Seketika tanda merah di layar menunjukkan lokasi yang tepat, Rimu segera memberhentikan pajeronya di depan sebuah gudang dengan halaman yang luas, kelihatan sekali sudah lama tidak di gunakan. Maniknya tidak melihat ada satupun kendaraan lain di sini. Namun dirinya tak ingin berlama-lama dan memilih segera turun.
Kakinya mulai memasuki gudang besar ini melewati pintu depan yang terbuka lebar, seakan sudah di persiapkan untuknya. Apabila ini adalah jebakan, maka sekarang Rimu sudah masuk ke dalam perangkap. Meskipun begitu, Rimu tidak peduli akan keselamatannya sendiri. Riana adalah prioritasnya sekarang.
Suara isakan seorang gadis membuat maniknya melebar kaget, sehingga tanpa sadar Rimu setengah berlari menuju asal suara. Dan betapa kagetnya Rimu saat melihat pemandangan di depan sana. Seluruh tubuhnya mendidih, seketika itu juga Rimu merangsek masuk dan langsung menghajar laki-laki itu hingga dia terdorong hingga ke dinding.
"ARGH!" erang Lucas kencang yang kesakitan setelah tubuhnya terlempar hingga menyentuh dinding. Rasa pusing mendera kepalanya setelah menghantam dinding terlebih dahulu. "Bangsat!" umpatnya kasar.
Rimu menatapnya nyalak. "BERANINYA LO SENTUH RIANA, BAJINGAN!"
Suara Rimu menggelegar kencang setelah berhasil menghajar Lucas, yang dengan berani memangut bibir Riana paksa. Maniknya belum sempat melihat pada gadis di sampingnya karena Rimu sudah lebih dahulu maju ke hadapan Lucas.
Di tariknya paksa kerah baju Lucas hingga laki-laki ini berdiri di depannya sekarang. "Kurang ajar!"
Di lepaskannya satu pukulan yang menghantam rahang Lucas hingga Lucas kembali menghantam dinding. Sebelah tangan Lucas terangkat untuk melindungi wajah saat tangan Rimu kembali melancarkan aksinya.
"Lo pikir semudah itu ngehajar gue? Nggak bangsat!" teriak Lucas tak kalah kencang.
Lucas kemudian menghindar sehingga pukulan Rimu malah menghantam dinding. Manik Lucas cukup menatap ngeri saat melihat dinding itu retak dan meninggalkan jejak darah dari buku-buku tangan Rimu yang terluka. Manik elang itu siap membunuh apapun yang berani melawannya.
Namun karena lengah, Lucas tak sadar jika Rimu sudah lebih dahulu ada di hadapannya dan meninju perutnya sehingga Lucas mundur ke belakang sampai terbatuk-batuk. Sebelah tangannya menyeka darah segar yang ikut termuntahkan. Cukup banyak hingga membuat pakaian dan lantai yang di pijaknya ikut kotor.
"Rimu sialan! Argh!"
Tanpa berpikir lagi, Lucas maju ke depan dan berhasil menghajar Rimu sehingga sudut bibir Rimu pecah. Rasa nyeri langsung mendera Rimu namun sayangnya pukulannya tak berhasil membuat Rimu terjatuh ke lantai yang kotor, refleks orang yang sedang di lawannya lebih baik daripada dirinya.
"Bangsat! Lo yang berani nyentuh hal yang jadi punya gue" seru Rimu kencang. Kemudian, satu pukulan kembali menghantam perut Lucas sampai memuntahkan darah segar lagi dan Lucas terjatuh ke lantai.
Sebelah tangan Lucas menyeka darah dari mulutnya. "Riana milik gue!"
Seruan kencang Lucas di sertai dengan laki-laki ini yang maju ke arahnya, Rimu sempat lengah sebentar sehingga perutnya terkena hantaman pukulan Lucas. Tubuhnya mundur lumayan jauh, dan terbatuk-batuk hingga memuntahkan darah. Rasa nyeri mulai menyerangnya lagi, begitu juga dengan Lucas di seberang sana yang mengalami hal yang sama. Tak ingin kehilangan momentum, Rimu langsung berlari ke arah Lucas yang tanpa persiapan hingga membuat tubuh Lucas limbung menghantam lantai yang kotor. Lalu...
"ANJING!"
Satu.
Dua.
Tiga.
Empat.
Lima.
Enam.
Rimu melancarkan pukulan ke rahang Lucas hingga laki-laki ini hampir kehilangan kesadaran. Matanya mulai membiru dengan sudut bibir yang pecah, wajahnya juga di penuhi luka gores.
"MATI LO BANGSAT! MATI!" teriak Rimu kencang dengan amarah yang membumbung tinggi ke udara. Rimu terus menghajar lawannya yang mulai tak sadarkan diri. Hingga saat dirinya hendak melancarkan pukulan berikutnya, suara Riana menyadarkannya kembali.
"Rim," panggil Riana dengan suara lemah.
Kepalanya menoleh, di lihatnya Riana yang melihatnya dengan tidak fokus. Sadar akan keselamatan Riana sekarang, Rimu melepaskan Lucas dan setengah berlari ke arah gadis itu.
Tidak mempedulikan rasa sakit yang mendera, Rimu hanya terfokus pada gadisnya sekarang. Di lihatnya seluruh tubuh Riana yang rambutnya terlihat berantakan serta baju dan wajahnya kotor. Maniknya menatap sendu pada gadisnya sambil melepaskan talinya yang mengikat tangan dan kakinya. Betapa hatinya teriris saat melihat pergelangan tangan Riana yang di penuhi luka goresan, sepertinya Riana berusaha melarikan diri. namun gagal karena ikatan yang di buat oleh Lucas terlalu kencang.
"Riana? Gue di sini. Maafin gue dateng terlambat" ucapnya dengan suara lemah, bibirnya terasa perih dan rasa sakit yang mendera tubuhnya sekarang akibat pertempuran barusan. Di sekanya debu yang menempel pada wajah Riana dengan punggung tangan.
Kepala Riana mengangguk lemah dengan manik yang tak lagi fokus melihat padanya. "Iya."
Rimu langsung menarik tubuh lemah Riana ke dalam pelukannya. "Maafin gue, harusnya gue nggak ninggalin lo sendirian," ucapnya setengah terisak sambil mengeratkan pelukannya. "Maafin gue, maafin gue."
Namun gadis ini tidak menjawab, dan di rasakannya kepala Riana terkulai lemas. Maniknya melebar kaget mendapati situasi ini.
"Riana!"
***
Seluruh orang yang di dalam mobil hanya memandang ke satu orang saja, yaitu Nezha, yang duduk di kursi depan. Sebastian ada di sebelahnya sambil mengemudikan dengan kecepatan tinggi, dan dua orang di belakangnya adalah anggota inti lain dari Bloods. Di sisi lain mereka, ada dua kendaraan lainnya yang mengikuti. Wajah mereka resah, karena memikirkan keselamatan satu orang saja sekarang.
Beberapa saat lalu, anggota Bloods yang berada tak jauh dari Lucas mengabari bahwa dia membawa gadis itu bersamanya dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tentu saja Nezha merasa senang, begitu juga dengan Sebastian. Karena tak menyangka jika Lucas bisa dengan cepat berubah ke dirinya yang selama ini di kuburnya dalam-dalam. Sosok pembunuh Lucas yang sebenarnya. Namun betapa terkejutnya mereka jika Lucas langsung memanggil Rimu untuk melakukan pertarungan satu lawan satu. Darah dalam tubuh Nezha seketika mendidih, Lucas masih menyimpan perasaannya.
"Si bangsat, kenapa pake gegabah sih," kata Sebastian yang hampir saja memukul kemudinya. masih tidak terpikirkan olehnya Lucas akan melakukan hal bodoh seperti itu.
Nezha memijit pelipisnya yang berkedut. "Itu juga yang gue pikirin. Gue masih nggak habis pikir sama itu anak. Dia bisa di hubungin?"
Anggota yang duduk di belakang menggeleng, dengan wajah kecut. "Nggak di angkat. Yang ngikutin dia juga nggak tau posisinya dimana."
"Tenang, koordinatnya udah berhasil di temukan," kata Nezha menenangkan mereka semua. Di lihatnya benda pipih dalam genggamannya. Lalu meletakkan benda itu di dashboard agar terlihat oleh Sebastian juga.
Sebastian melirik sekilas. "Oke, gue udah tau itu di mana."
Mobil pun semakin melaju kencang diikuti dengan dua mobil lain di belakangnya. Di sebuah pertigaan, Sebastian membelokkan kendaraannya ke arah kanan. Manik Nezha mengedar, area ini di penuhi gudang-gudang penyimpanan barang yang biasanya di gunakan untuk keperluan ekspor dan impor barang-barang ke dalam serta luar negeri. Sebastian segera menghentikan mobilnya di depan sebuah gudang dengan halaman yang luas, kelihatan sekali sudah lama tidak di gunakan. Seperti tidak ada siapapun di sini, tapi mereka semua bergegas turun juga dengan anggota lainnya di mobil yang lain. Sebagian berjaga di luar, beberapa lainnya termasuk Nezha dan Sebastian bergegas masuk.
Tempat ini benar-benar terbengkalai, bisa di lihat dari banyaknya debu dan kotornya seluruh ruangan ini baik di luar maupun di dalam. Tentu saja Nezha dan Sebastian saling berpandangan. Dari mana Lucas tahu tempat seperti ini?
Sampai akhirnya mereka tiba di ruangan dan melihat banyaknya jejak darah. Lalu manik Sebastian melebar kaget melihat seseorang tergeletak tak sadarkan diri di tengah ruangan.
"LUCAS?"
Sebastian setengah berlari menghampiri Lucas yang dalam keadaan babak belur. Seluruh pakaiannya kotor oleh darah dan debu. Sudut bibirnya pecah, bagian matanya membiru dan juga di pelipis serta wajahnya banyak luka goresan. Nezha dan Sebastian memandang tak percaya. Buru-buru Sebastian memeriksa keadaan Lucas.
"Lucas? Woi?" Nezha mengguncangkan tubuh Lucas. "Gimana?" tanyanya pada Sebastian.
Manik Sebastian menatapnya dengan napas berat setelah memeriksa keadaan Lucas. "Masih selamat. Bawa dia pergi dari sini sekarang," perintahnya pada anggota lain di belakangnya. "Cari kendaraan Lucas di sekitar sini dan bawa pulang ke markas."
"Baik," ucap para anggota yang di tugaskan.
Mereka mulai membawa Lucas keluar dari tempat ini di ikuti dengan Nezha yang berjalan di belakangnya. Namun langkahnya terhenti saat melihat Sebastian masih berdiri di tempatnya dan tidak bergerak sedikitpun.
"Sebastian? Ayo," ajak Nezha untuk segera pergi. Manik Nezha akhirnya terfokus pada apa yang sedang di lihat oleh Sebastian. Kakinya melangkah mendekat. "I--ini?"
"Rimu sekuat ini?" tanyanya pada Nezha di sampingnya, karena mereka berdua sekarang sedang menatap sebuah pahatan di dinding yang di hasilkan dari pukulan kencang. Dinding itu mengalami retakan cukup dalam, jika kekuatannya lebih dari ini, jujur saja dinding ini bisa saja hancur.
Nezha cukup memandang ngeri apa yang sedang di lihatnya sekarang. "Astaga. Kita bakalan melawan monster?"
Sebastian dan Nezha saling berpandangan sekarang. Tak ada jalan untuk mundur sekarang, mereka memang selangkah lebih dekat untuk menghancurkan Redline. Namun tanpa mereka sadari, Redline memiliki seorang monster yang sanggup menghancurkan Bloods tanpa ampun.
***
Alex menginjak pedas gas pajero milik Rimu dengan kuat. Saat ini dirinya sangat di kejar oleh waktu. Sejak keluar dari bangunan tadi, wajah seram dan khawatirnya Rimu tidak kunjung hilang. Alex melebar tak percaya ketika Rimu melangkah keluar dengan kondisi babak belur dan membawa Riana dalam pelukannya. Gadis itu tak sadarkan diri. Di pergelangan tangannya ada luka yang berpola. Keadaannya juga berantakan dan kotor. Alex hanya berharap tidak erjadi hal yang lebih buruk pada Riana.
Tentu Alex dan anggota lainnya segera menghampiri. Anggota lainnya tetap di kendaraan masing-masing, sedangkan Alex menawarkan diri untuk mengendarai mobil Rimu.
Sekarang, Rimu duduk di kursi belakang bersama dengan Riana yang masih tak sadarkan diri. Sebelah tangan Rimu menempelkan benda pipih ke telinga, karena sejak tadi sedang menghubungi Andra.
"Sekitar lima belas menit lagi gue tiba di markas," kata Rimu sambil memeriksa jam di ponselnya. "Oke. Tolong siapin ruangan operasi."
Seketika sambungan telepon terputus, Rimu menjatuhkan benda itu begitu saja ke dekat kakinya. Kepalanya bersandar sebentar sebelum kembali lagi memeriksa keadaan Riana yang ternyata masih sama. Rimu memejamkan matanya sejenak.
Alex hanya memperhatikannya Rimu dari balik kaca spion. Rasanya untuk mengucapkan satu patah kata terasa sulit baginya. Rimu dan gadis itu baik-baik saja sudah cukup untuknya sekarang.
Tepat sesuai dengan perkiraan, mereka kembali tiba di markas sesuai dengan informasi dari Rimu. Baru saja hendak membuka pintu saat pajeronya berhenti, Rimu meringis kencang sehingga Alex langsung menoleh.
"Rim, kenapa?" tanyanya panik.
Rimu sendiri tengah memegangi perutnya yang sepertinya terasa nyeri. Tubuhnya bergetar, tapi dengan cepat Rimu seakan menahan rasa sakit yang menderanya. Manik elangnya melirik pada Alex.
"Nggak," jawabnya cepat. "Ngilu doang."
"Riana gue aja yang gendong ke dalam ya," tawar Alex pada Rimu. Namun ketuanya ini langsung menolak dengan keras.
"Nggak bisa. Riana sama gue!"
Alex mendesah pelan. "Lo luka-luka begitu. Sadar diri dikit napa."
Rimu memalingkan wajahnya karena jengah telah di nasehati. "Anggep aja gue nggak denger lo barusan ngomong apaan."
Baiklah, Alex lebih baik menyerah. Sekarang, Alex turun dari mobil dan berjalan ke sisi Rimu dan membukakan pintu untuknya. Jelas sekali Rimu beberapa kali meringis saat membawa Riana keluar dari mobil dan membawanya ke dalam markas. Terlihat Andra keluar dari markas dengan melemparkan tatapan tak percaya akan apa yang di lihatnya sekarang.
"Rim, ini ada apaan?" tanya Andra yang melihat Rimu luka-luka di wajah dan tangannya. Belum lagi kaosnya yang kotor oleh darah dan debu. Lalu melihat keadaan Riana yang berantakan. "Ini ada apaan sih, Lex?" Sekarang pertanyaan itu di lemparnya ke Alex.
Alex menggeleng lemah, mengisyaratkan agar Andra lebih baik jangan bertanya agar tidak memancing amarah Rimu.
"Ruang operasi udah siap?" tanya Rimu datar pada Andra.
Andra mengangguk dan berjalan tepat di sisinya. "Udah. Kita kesana sekarang."
Seluruh anggota yang berpapasan dengan mereka juga saling berpandangan melihat ketua mereka babak belur dan sambil menggendong seorang gadis. Dugaan mulai muncul di benak mereka, dan sudah di pastikan dugaan itu benar. Beruntung saja Lexa sedang tidak di markas. Dia pergi bersama Bobby untuk melanjutkan pekerjaan yang membutuhkan penembak jitu.
Setibanya mereka di ruang operasi, hanya Andra, Alex serta Rimu yang masuk. Sisa anggota lainnya berjaga di luar pintu markas dan ruang operasi. Rimu bergerak menuju salah satu ranjang kosong dan membaringkan tubuh Riana di sana. Sedangkan Rimu sendiri berjalan lalu duduk di ranjang lainnya. Andra bergegas memeriksa Rimu, namun manik elang itu menatapnya tajam.
"Riana dulu!" perintahnya.
Tubuh Andra sempat bergidik sebentar, lalu melirik Alex sekilas. "Oke."
Jelas sekali Rimu baru saja memuntahkan seluruh emosinya, terlihat dari sikapnya sekarang. Andra mulai memeriksa keadaan Riana, lalu bergegas untuk membersihkan luka di pergelangan tangannya kemudian membalutnya dengan perban. Manik Andra menatap luka ini, seperti di ikat dengan tali yang amat kuat. Andra juga menutupi luka goresan di wajah Riana dengan plester.
Setelah merasa yakin, Andra berbalik menuju Rimu. "Dia aman. Gue duga dia shock aja, kita tunggu sampai dia sadar," kata Andra yang sudah ada di depan Rimu sekarang. "Lo ngerasain apa sekarang?"
Manik Rimu sedari tadi hanya terfokus pada Riana yang terbaring di seberangnya. Wajahnya datar dan tanpa ekspresi. Sampai...
"Argh!" ringisnya sambil memegangi kepala dengan kedua tangan. Andra dan Alex jelas terkesiap.
"Lex, ambil obat di meja itu sekarang," kata Andra memerintahkan Alex sambil menunjuk meja kerjanya. Alex mengangguk, dan bergegas untuk mengambil obat yang di maksud.
Sedangkan Andra langsung memeriksa keadaan temannya ini. Astaga, buku-buku tangannya luka seluruhnya, kelihatan sekali Rimu menggunakan seluruh kekuatannya. Andra berusaha menarik salah satu tangan Rimu. "Rim, coba lepas dan tarik nap--- KKHHHHHH!!!"
Baru saja Alex meraih botol obat yang di maksudkan Andra, tubuhnya terkejut seketika mendengar suara Andra yang tertahan. Saat Alex membalikkan badan, maniknya melebar kaget.
"Rim! Woi lepas!" perintahnya yang langsung menghambur ke arah mereka, mencoba melepaskan tangan Rimu dari leher Andra. Kedua tangan Andra juga berusaha menarik tangan Rimu, namun meskipun dengan bantuan tiga tangan, kekuatan Rimu jauh di atas mereka berdua.
"KHHHH--, Rim!"
Rimu tak menampakkan ekspresi apapun, hanya maniknya yang tajam dan seakan tak mengenali siapa yang ada di sekitarnya. Berapa kali Alex dan Andra mencoba memanggil Rimu, sayangnya temannya ini tidak bereaksi apapun. Sampai manik elang itu mendapati hal lain yang menarik perhatiannya.
Di hempasnya tubuh Andra ke samping sehingga terlempar ke sisi sebelahnya. Suara punggung Andra yang bersinggungan dengan lemari besi terdengar nyaring. Alex langsung berlari ke arah temannya yang lain yang tengah terbatuk-batuk dan mencoba mengembalikan napasnya. Tapi Andra malah memarahinya seketika dirinya berjongkok di hadapannya.