Berita kemenangan hasil hitung cepat presiden baru negara ini di siarkan secara besar-besar di keesokan harinya. Tidak hanya satu, bahkan seluruh televisi menyiarkan secara langsung. Bahkan wartawan sudah memenuhi kediaman Pramudya sejak pagi.
Berbagai dukungan dari setiap elemen masyarakat nampak di gaungkan di tengah pusat kota. Semua bersorak, semua bergembira menyambut fase baru dan menanti kebijakan-kebijakan yang akan membawa negara ini menjadi negara adidaya.
Namun tidak bagi seorang Rimu Reon. Rasa sakit hatinya bercampur dengan dendam, karena Pramudya beserta dengan White Wolfgang berani menipunya. Mengembalikan akses warga negara pada mereka semua yang ada di sini? Omong kosong! Mereka semua akan menghabisi Red District dalam waktu dekat.
Rimu sedang tak berada di markas sekarang, tugas di distrik di serahkannya pada Alex, karena Rimu sangat mempercayai Alex lebih dari siapapun yang dirinya kenal selama ini. Rimu memilih untuk mencari jalan keluar dari masalah ini, tidak, ini bukan masalah. Ini adalah ancaman terbesar yang pernah di terimanya seumur hidup. Pramudya takkan semudah itu mendengarkan ucapannya. Dia pasti akan menghancurkan Rimu berkeping-keping.
Rimu baru saja memasuki sebuah toko minuman terkenal di seluruh dunia dan tengah mengantre untuk memesan. Manik elangnya menjelajah menu yang terpampang di depan matanya, sampai ketika dirinya menoleh, Rimu mendapati pemandangan yang menyakitkan batinnya lagi.
Maniknya nanar saat menatap kedua orang yang tengah asik berbincang di seberang sana. Tampak sekali mereka tak menyadari kedatangan Rimu, bahkankeadannya saat ini terbalut masker dan kacamata yang tentunya membuatnya sulit di kenali. Rimu tidak terlalu memperdulikan si laki-laki, pandangannya hanya tertuju pada gadis yang baru saja memukul pelan lengan lawan bicaranya. Rasa kesal segera menyerang tanpa diminta. Bukankah seharusnya Rimu yang ada disana?
Tidak.
Gadis itu harus aman dan lepas dari segala teror yang datang akibat dekat dengannya. Meskipun cara yang Rimu pilih adalah meninggalkan gadis itu dan mengabaikan tangisannya kala itu, namun sampai saat ini Rimu masih menyayangi dia. Perasannya masih sama, Rimu sangat membutuhkan kembali dunianya.
"Na, maafkan gue," lirihnya pelan, kemudian Rimu berbalik dengan langkah berat dan tidak jadi memesan.
Rimu keluar dari toko minuman dengan rasa cemburu yang membumbung tinggi ke udara. Maniknya sempat terpejam sebentar karena di terpa sengatan sinar matahari, lalu kembali terbuka dan melangkah menuju tempat lain.
***
"Ryan, ini beneran kita bolos gini nggak kenapa-napa?"
Si empunya nama melirik pada gadis di depannya yang sedang mengaduk-aduk matcha latte kesukaannya dengan sedotan. Lalu meminumnya sambil tak melepaskan pandangannya pada Ryan karena menanti jawabannya.
"Sesekali nggak masalah kan? Lagian biar kamu nggak stress kuliah terus," katanya riang. Sedangkan Riana baru saja memukul lengan kokoh Ryan yang tentunya tidak memberikan efek apapun. "Aduh, sakit ih." Ryan mengaduh, tapi sebenarnya dia berbohong.
Riana memajukan bibirnya barusan, mencibirnya karena sebal. Lalu kembali menyeruput minumannya tanpa memperhatikan lagi Ryan yang sedang gemas menatapnya, beruntung Ryan sedang tidak ingin menjawil pipi Riana sekarang.
Sejak hari itu, Ryan sama sekali tidak melihat laki-laki itu ada di sekitar Riana. Gadis ini juga tidak membicarakannya, maka Ryan mengambil keputusan lebih baik untuk tidak membahasnya. Ryan tak ingin hari-hari seperti ini menghilang lagi, cukup sudah baginya beberapa waktu mendiamkan Riana.
"Oh iya, kau tau kalau ada toko roti baru di seberang sana?" tanya Riana sambil menunjuk ke sembarang arah. "Katanya mereka punya roti keju yang benar-benar enak."
Ryan tertawa kecil sambil memiringkan wajahnya. "Hai kau wahai gadis keju, apa minuman di tanganmu serta kue di depanmu itu nggak bikin kenyang?"
Riana menggeleng yakin. "Tentu saja tidak. Aku mau makan enak seharian!" serunya dengan senyum lebar.
Pertahanan Ryan runtuh sudah, sebelah tangannya menjawil sebelah pipi Riana yang baru saja memasukkan sesuap kue ke mulutnya. Manik Riana membulat.
"Ya! Apa yang kau lakukan? Lepas!" Peringatan pertama dari Riana sudah di lepaskan, tapi tawa Ryan malah semakin lebar.
"Tidak. Aku tidak mau melepaskannya. Kau terlalu menggemaskan," puji Ryan yang tetap tertawa, membuat Riana jadi sebal lagi.
Di lepasnya garpu yang ada genggaman tangannya di piring kecil, lalu sebelah tangannya terangkat menjawil sisi lain pipi Ryan hingga dia melotot.
"Na, lepas!"
Riana mencebik. "Tidak, kau yang lepas!"
"Riana, lepas ya. Aaakk--"
Riana baru saja menarik pipinya ke depan hingga tubuhnya ikut condong. "Tidak mau!"
"Na," panggilnya lagi.
Tapi sesaat kemudian tangan Riana mengendur, bahkan wajahnya menapakkan ekspresi sedih. Rasanya, Riana pernah mengalami hal ini, dan sama persis. Hanya saja bukan dengan Ryan, melainkan dengan laki-laki itu.
Ryan yang menyadari perubahan dalam dirinya, langsung melepaskan tangannya dan berbalik menyentuh lembut pipi Riana.
"Hei, ada apa?"
Manik Riana naik, terangkat menatap maniknya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis alu menggeleng. "Tidak. Barusan kaget aja," ucapnya bohong.
Tapi Ryan sadar ada yang Riana pikirkan. Lalu tangannya terlepas dan merambat naik ke pangkal kepala Riana, lalu mengusapnya perlahan sampai Riana menatapnya aneh.
Ryan sendiri juga tidak berusaha untuk mengucapkan apapun. Bagi Ryan, Riana sudah ada lagi di hidupnya adalah keajaiban. Dan takkan lagi Ryan biarkan Riana untuk menangis lagi.
Sedangkan Riana, maniknya semakin turun menatap makanan yang ada di meja mereka. Perlakuan Ryan terhadapnya mengingatkannya akan laki-laki itu. Sudah lama sekali Riana tidak melihatnya dan tidak tahu kabarnya. Beberapa kali Riana pernah tak sengaja menekan nomor teleponnya, namun tidak ada sambungan monoton yang di dengarnya. Panggilannya di alihkan. Laki-laki itu benar meninggalkannya, setelah membuatnya jatuh cinta.
Jahat sekali bukan?
Tapi Riana masih tidak bisa membencinya, meskipun Sandra sudah memarahinya berulang kali. Perasaan ini masih setia untuknya, dan tidak hilang semudah itu. Apabila saja ada keajaiban, apakah laki-laki itu bisa kembali ke hidupnya?
Tidak, Riana. Mari berpikir logis. Laki-laki itu meninggalkanmu bahkan mengusirmu dari hidupnya. Jangan ragu lagi untuk menghapusnya dari hidupmu sekarang.
Hai, lo lagi apa sekarang? Tahukah kalo gue di sini merindukan lo?
***
Gue merindukan lo, sangat.
Rimu duduk di dalam pajeronya seorang diri di tengah pusat kota sambil menyesap kopi hangat yang di belinya dari penjaja kopi keliling dan sebelah tangan yang membaca laporan dari Alex di aplikasi pesan singkatnya. Setelah pergi meninggalkan pemandangan yang amat menyesakkan hatinya, Rimu memilih menyendiri sambil memandang aliran sungai yang ada di depannya.
Masalah dalam hidupnya begitu rumit. Tak jarang Rimu ingin melompat ke dalam air, menenggelamkan seluruh tubuhnya di sana dan tidak kembali ke daratan. Maniknya terpejam, hidup terlalu kejam untuknya.
Selama ini, Alex pasti berpikir dirinya menghilang adalah pergi ke suatu tempat untuk mengumpulkan data. Sebenarnya bukan, Rimu tak melakukan itu di sela-sela waktunya. Rimu, mengikuti gadis itu kemanapun dia pergi.
Kemana saja dia pergi, apapun yang dia makan, apa yang dia lihat, Rimu tahu. Itu semua di lakukan hanya sekedar untuk mengobati rasa rindunya yang tak tertahankan. Perasaannya tetap tidak bisa menghilang. Rimu sangat mencintai gadisnya.
Hanya hari ini saja, Rimu melarikan diri dan tidak mengikuti gadis itu akibat perih yang melanda batinnya. Sosok Ryan yang ada di sekitar Riana membuatnya sakit. Seharusnya, harusnya Rimu yang ada di sana, tertawa bersamanya dan saling melempar senyum, seperti dulu.
Sebelah tangannya terangkat untuk memijit pelipisnya yang berkedut. Pikiran tentang Riana menari-nari di pikirannya tiada henti. Bahkan ketika panggilan telepon dari Alex masuk ke ponselnya, rasa ini belum reda juga.
"Halo?"
Suara Alex terdengar berisik, sepertinya dia ada di dalam mobil bersama dengan Bobby.
"Rim, Bloods kelihatan punya pergerakan. Kita atau mereka yang lebih dulu?"
Sementara, ingatannya tentang Riana harus di kesampingkan sejenak. "Apa yang mereka lakukan?"
"Kelihatannya mereka menyusun rencana untuk menghancurkan kita. Tidak di sangka, mereka mulai memperlihatkan taringnya."
Setelah kejadian kemarin, astaga! Rimu mendesah dalam hati, benar-benar tidak ada hari di mana dirinya bisa beristirahat sejenak. Apakah Tuhan sudah gila?
"Prepare! Biarkan mereka bergerak dulu, biar kita yang hancurin mereka saat mereka lengah. Penjagaan tetap ketat, kita antisipasi jika White Wolfgang bergerak juga."
"Oke. Dan tolong, lo jangan sendirian. Berbahaya buat lo juga."
Rimu tertawa kecil. "Lo khawatir sama gue?"
Decakan kasar terdengar di ujung sana. "Semua orang ya. Lo pikir aja lo siapa? Bener-bener lo ya!"
Kepalanya menggeleng karena tak habis pikir dengan apa yang baru saja di dengarnya. Setidaknya Rimu bisa sedikit lega karena masih ada yang orang-orang yang mengkhawatirkannya. Sudut bibirnya jadi naik sedikit.
"Iya."
Jawaban singkatnya barusan juga menutup sambungan telepon. Sebelah tangannya hampir saja meletakkan benda pipih itu di dashboard saat sebuah notifikasi muncul di layarnya. Tidak, lebih tepatnya baru di sadarinya setelah sekian lama.
Terpampang nyata, notifikasi sambungan telepon yang di alihkan, dan Rimu ingat nomor itu. Milik gadis itu. Lalu jari jemarinya menelisik lebih dalam hingga manik elangnya membulat sempurna. Selama ini... selama ini, Riana beberapa kali menghubunginya. Sebelah tangannya meremat kencang benda pipih itu dan kemudian melempar kasar ke kursi di sampingnya.
Bisakah aku menarikmu lagi ke duniaku? Aku tak ingin berhenti. Aku terlalu menginginkanmu. Sayangku, tolong katakan jika kau ingin kembali. Aku tak bisa bernapas tanpamu, aku menjadi gila tanpa kehadiranmu. Kumohon, berikan aku kesempatan.
***
Lagi-lagi Riana melakukannya lagi. Tanpa sadar, jemarinya menekan angka satu dan menempelkan benda pipih itu ke telinga hingga suara operator yang membosankan itu mengalun lagi di telinganya. Tetap sama, laki-laki itu memang mengusirnya pergi tanpa membiarkan Riana untuk bertanya, lagi.
Riana memandang benda itu agak lama, sampai ketika Ryan menampakkan kembali batang hidungnya, dengan sebelah tangan Riana menurunkan benda itu.
"Menelpon siapa?" tanya Ryan yang menyodorkan es krim padanya.
Sebelah tangannya terangkat, mengambil benda itu dari tangan Ryan. "Makasih," ucapnya. "Bukan siapa-siapa. Tadi cuman liat notif."
Ryan hanya memangut saja, lalu mengambil tempat duduk di sampingnya. "Aku lama ya?"
Kepalanya buru-buru menggeleng. "Tidak, kan di sana nggak ngantri," sebelah tangannya terangkat ke arah truk es krim yang berdiri di seberangnya, lalu tersenyum sambil menatap Ryan. "Lihat, berkatmu kerumunannya jadi ramai."
Ryan tertawa sekilas. "Sepertinya kita pembawa keberuntungan untuk orang lain."