***
Kakinya berhenti melangkah di depan sebuah restoran buffet yang cukup terkenal di Jakarta. Tak ada yang berubah dengan dekorasinya hanya suasananya agak sedikit ramai, berbeda saat dirinya datang kemari bersama laki-laki itu. Tanpa sadar, matanya nanar menatap ke sekeliling restoran, memperhatikan setiap detail sudutnya dan berhenti pada salah satu meja yang sekarang di isi oleh satu keluarga bahagia. Mereka nampak tersenyum satu sama lain sambil membakar daging dan memakannya sedikit demi sedikit. Dirinya tidak sadar hingga seorang pelayan wanita menghampirinya dengan senyum mengembang.
"Selamat datang, Kak, " sapa si pelayan padanya." untuk berapa orang? "
Tapi Riana tak mendengarkan satu patah kata dari si pelayan sampai Sandra setengah berlari menghampiri ke arahnya karena menyadari bahwa dirinya menghilang dan tak berada di sisi Sandra sejak tadi.
"Maaf, mbak. Nggak," kata Sandra cepat. Si pelayan mengangguk sambil menatap heran kepada Riana dan berlalu dari hadapan keduanya. Lalu beralih pada dirinya. "Na, lo liat apa sih?"
Seakan tersadar, Riana menoleh lemah dan menggeleng pelan. Tapi bukan Sandra jika tidak dapat mengetahui isi hatinya.
"Lo mikirin dia lagi kan?"
Sandra tahu betul siapa yang selalu ada di dalam hati dan pikiran Riana sampai pada hari ini. Selalu dia. Sudah berulang kali Sandra mengatakannya pada teman baiknya ini untuk melupakan laki-laki sialan itu. Padahal, Riana sempat mengatakan padanya jika sebelum keluar dari kelas, dia sudah mengucapkan selamat tinggal pada laki-laki itu dalam hati. Tapi kelihatannya ucapan serta tindak tanduknya tidak se irama. Sandra cukup pusing di buatnya. Apa yang di tinggalkan laki-laki itu di hati Riana tidak mudah untuk segera di lepaskan.
"Gue sadar pas lo berhenti disini. Kalian berdua pernah kesini kan? Waktu itu lo sempet cerita ke gue. Dia ninggalin lo pas habis dari sini dan gue inget, Na."
Riana mengigit bibir bawahnya, merasa seluruh pikirannya dapat terbaca oleh Sandra.
"Kenapa diem? Gue bener kan. Sekarang gue tanya kenapa lo masih mikirin dia? Dia yang ninggalin lo, Na. Seharusnya lo move on. Masih ada Ryan. Bukannya lo bilang tadi kalo mau lupain dia? Kenapa sekarang malah begini?"
"Tapi gue nggak bisa, San!" katanya setengah berteriak, sampai beberapa orang yang ada disekitar mereka turut memperhatikan. Sandra menundukkan kepalanya sedikit, mengisyaratkan permintaan maaf. "Sulit ternyata buat buang jauh-jauh pikiran tentang dia. Gue merindukannya, San. Sangat."
"Lo, itu bener-bener ya, Ri."
Sebelah tangannya yang menggenggam erat benda pipih di tangannya sejak tadi terangkat, tanpa sadar Riana menekan ikon panggilan dan menekan angka satu. Kemudian Riana menempelkan benda itu ke telinga. Matanya terpejam, berharap ada keajaiban yang menghampirinya. Jauh di dalam lubuk hatinya, Riana masih sangat mencintai laki-laki itu, meskipun dia telah meninggalkannya tanpa alasan jelas, jawaban yang di berikannya waktu itu pastilah suatu kebohongan. Riana yakin ada sesuatu yang membuat dia memilih pergi.
Sedetik kemudian maniknya melebar kaget. Kali ini bukan suara mesin penjawab yang biasa Riana dengar, melainkan nada sambung. Hatinya berteriak. "Angkat, kumohon angkat. Gue tau lo pasti denger panggilan dari gue. Please, gue mohon, Rim,"
"Oh!"
Riana melihat pada Sandra yang terkejut sambil menutup mulutnya. Penasaran, Riana membalikkan tubuh, mengikuti kemana pandangan Sandra tertuju dan mendapati seseorang tengah berjalan ke arah mereka sambil menempelkan benda pipih di telinganya.
Dengan menggunakan jaket kulit hitam, topi hitam, masker serta kacamata, Riana mengernyit. Laki-laki itu melepas kacamata dan maskernya. Tanpa sadar mulutnya terbuka. Riana tahu benar siapa dia. Bibirnya terasa kaku dan tubuhnya membeku. Belum sempat Riana memanggil namanya, laki-laki ini sudah memeluk tubuh Riana erat, mengisyaratkan bahwa dia tak ingin kehilangan sosoknya lagi. Rasa sesak menyelimuti dadanya disertai kerinduan yang amat mendalam. Riana merindukannya, sangat.
"Maaf."
Hanya sebait kata itu yang terucap dari bibir laki-laki ini, air matanya lantas turun tanpa diminta. "Rimu," panggilnya lemah.
"Maafin gue," kata Rimu dengan suara yang teramat dalam di telinganya. Tarikan napasnya terasa berat, mengisyaratkan desakan emosi yang telah lama tertahan. Kedua tangan Rimu memeluk tubuhnya erat, membuat tangannya tak mampu untuk bergerak. "Maafin gue yang udah ninggalin lo waktu itu."
Kepalanya menggeleng dalam pelukan Rimu. Riana yakin Rimu juga merasakan dadanya basah oleh air matanya. "Nggak mau," ucapnya asal, padahal dalam hatinya Riana ingin mengatakan tidak apa-apa dan terima kasih telah kembali padanya.
Di rasakannya pelukan Rimu menguat, bahkan kepala laki-laki ini tertunduk hingga mencapai bahu Riana, mencoba menghirup sebanyak mungkin aroma tubuh milik gadis yang paling Rimu cintai. Begitu juga Riana yang ada dalam dekapan Rimu. Lama sekali rasanya Riana tidak menghirup aroma tubuh Rimu. Keduanya sama-sama saling merindukan, tak ada yang lebih mendominasi.
"Lo janji nggak akan pergi lagi kan?" tanyanya dengan sesenggukan. Di rasakannya dagu Rimu bergerak dan menubruk pundaknya, seakan mengatakan 'ya' dengan cepat.
"Gue nggak akan pernah lepasin lo lagi, dan gue janji."
Ucapan penuh keyakinan dari bibir Rimu semakin menambah deras derai air mata yang turun. Riana selalu mendambakan datangnya hari ini. Hari di mana Rimu kembali padanya dan memeluknya erat.
Riana tahu mencintai seseorang seperti Rimu sungguh sulit, karena Rimu bukanlah seseorang yang biasa. Orang terkuat di seantero Red District, pemilik sekaligus pemegang kepemimpinan di Redline.
Ya, Rimu lah orangnya. Hidupnya penuh dengan warna sekaligus noda hitam semenjak bertemu dengannya. Tapi berkat Rimu jugalah Riana mengalami banyak kebahagiaan yang tak terkira. Sekali lagi, Riana akan kembali kehilangan hari-hari sederhananya. Dan Riana menyambutnya penuh dengan sukacita karena hadirnya lagi Rimu dalam hidupnya.
Thank you, I'm sorry, I love you. It's not enough even if I give you my all my love, I'll protect you all my life, you should follow only me.
***
Tidak terbayangkan jika hari ini tiba juga. Hari di mana Rimu bisa kembali memeluk tubuh mungil Riana, merasakan betapa hangatnya dia dan menghirup aroma tubuhnya yang sejak lama Rimu rindukan. Setelah meninggalkan Riana begitu saja, perasaan terpukul menghujamnya terlalu dalam hingga menyebabkan Rimu seringkali mengikuti Riana kemanapun dia pergi. Setidaknya, meskipun tak lagi bersamanya, Rimu masih bisa menjaganya dari kejauhan.
Namun hari ini, perasaan tak tertahankan lebih kuat dari janji yang di buatnya dengan Alex. Agar Riana aman dari ancaman Lucas dan Bloods, mau tak mau Rimu harus melepaskan Riana, hanya agar dia aman, dan hidupnya tak lagi terganggu. Karena Rimu tahu seberapa dalam kebencian Lucas padanya. Lucas bukanlah laki-laki yang pernah Riana temui sebelumnya, laki-laki itu telah berubah dan tak segan untuk menghabisi Riana jika dia ingin. Dan Rimu takkan pernah membiarkan hal itu terjadi pada gadis yang ia cintai.
Rimu sadar, hari-hari Riana akan berbeda dari saat ia meninggalkannya. Riana akan kembali melihat berbagai macam hal kotor dan berbahaya di depan matanya. Dengan segenap kekuatan yang di miliki, Riana takkan lagi terluka. Rimu bisa memastikan hal itu.
"Lo janji nggak akan pergi lagi kan?"
Pertanyaan Riana sambil menahan tangis membuat kepalanya mengangguk hingga menyentuh pundak Riana. "Gue nggak akan pernah lepasin lo lagi, dan gue janji."
"Gue kangen tau," ucap Riana yang masih juga menangis.
Sebelah tangannya terangkat, menepuk-nepuk punggung mungil Riana. "Gue juga sama. Ngga ada satu haripun gue nggak merindukan lo."
Tangis Riana menjadi semakin kencang setelah kalimat barusan meluncur dari bibirnya, yang membuat tubuhnya kembali mengeratkan kedua tangannya di tubuh Riana yang bergetar hebat sampai jari-jarinya menggenggam punggungnya tak kalah kencang. Rimu memejamkan matanya sejenak, membiarkan seluruh emosi yang ia dan Riana rasakan menguap.
Selama ini, hari-harinya terasa berat, bahkan hanya sekedar untuk melangkah. Hidupnya sebelum bertemu Riana sangat menyakitkan, tapi semenjak kehadirannya, Rimu merasakan bebannya sedikit menghilang. Dan saat Rimu kehilangan Riana, dampak yang di timbulkan cukup parah,bagi dirinya. Sekarang, Rimu tak ingin melepaskan gadisnya lagi. Takkan pernah ia buat hidupnya menjadi berantakan lagi tanpa hadirnya dia. Riana, sejak awal adalah pusat kehidupannya.
Suasana di sekitar mereka hening seketika setelah melihat adegan yang mereka berdua perlihatkan di muka umum. Bahkan Sandra tubuhnya membeku, tidak bisa di bayangkan olehnya jika sang ketua Redline bisa tiba-tiba hadir dan memeluk tubuh Riana di depannya. Sandra sangat tahu bagaimana sikap Rimu terhadap wanita ataupun gadis, terlebih dengan adanya Lexa di sekitar Rimu, membuat Sandra sejujurnya membenci Rimu dengan segala sikapnya.
Tapi hari ini, pandangannya berubah seketika. Caranya menghampiri Riana dan berakhir memeluknya, Sandra bisa melihat sendiri bagaimana emosi yang di rasakan Rimu. Laki-laki ini menyayangi Riana dengan sepenuh hati.
Isak tangis Riana mulai mereda, dia mengendurkan tangan dan tubuhnya dari Rimu, membuat Rimu juga melakukan hal yang sama. Di pandanginya wajah sembab Riana, hingga sebelah tangannya terangkat menyeka air mata yang masih turun sedikit, sampai wajah Riana mendongak ke arahnya.
"Makasih, udah angkat telepon dari gue," ucap Riana dengan sesenggukan. Bibirnya mengulum, "Makasih. Gue pikir bakal operator lagi yang ngomong."
Kepalanya menggeleng. "Gue hampir lari sejak lo tiba di sini."
Kedua alis Riana bertautan. "Maksudnya?"
Rimu tertunduk sebentar. Setelah menemukan keberaniannya, manik elangnya kembali pada Riana.
"Selama ini, kemanapun lo pergi, gue selalu ngikutin lo. Ngawasin lo dari jauh. Beberapa kali saat lo jalan sama laki-laki lain, rasanya gue pengen lari dan ngehajar laki-laki itu karena berani ada di sekitar lo," jawabnya jujur sampai membuat kedua mata Riana membulat tak percaya. "Iya, yang pergi emang gue. Tapi gue juga yang nggak bisa ngelepasin lo gitu aja. Maaf karena selama ini gue nguntit lo kemana aja."
Riana menggeleng pelan. "Nggak apa-apa. Kalo gue jadi lo, mungkin gue bakal ngelakuin hal yang sama."
Mata elangnya melebar. "Why?"
"Karena gue sayang sama lo. Gue nggak mau ngeliat lo terluka sedikitpun," jawab Riana yakin dengan senyum simpul yang mengembang.
"Itu kalimat gue, Riana," protesnya dengan sudut bibir yang naik, menyadari gadis di depannya sekarang masih ingat kalimat yang selalu di ucapkannya. "Ternyata lo masih inget."
"Kita sering berantem gara-gara itu kan?"
Kepalanya mengangguk.
"Karena semenjak ketemu lo, di gang saat di ganggu sama preman-preman sialan itu, tanpa sadar lo udah jadi pusat kehidupan gue. Makanya gue nggak pernah biarin lo terluka dan maafin gue juga yang pernah buat lo terluka sebelumnya," sebelah tangannya menarik tangan Riana yang bebas, dan menempatkan tangan itu di dadanya. Bisa di rasakan Riana degup jantung Rimu yang kencang. "Gue selalu sayang sama lo, dan itu nggak berubah sampai sekarang. Perasaan itu masih sama."
Keduanya terdiam sebentar setelah kalimat itu meluncur bebas dari bibir Rimu. Riana tertunduk dan Rimu yang tak melepaskan pandangannya dari Riana. Bahkan atmosfer di sekitar mereka juga tiba-tiba ikut hening dan hangat secara bersamaan. Mereka memang hanya seperti penonton bayaran sekarang, tapi mereka juga bisa merasakan emosi yang keluar dari Rimu dan Riana. Emosi yang selama ini tertahan dan tersalurkan karena mereka harus terpisah selama beberapa waktu.
"Riana..."
Kepala Riana mendongak, menatap jauh ke dalam mata elang yang sejak tadi tak ingin melepaskannya. "Ya?"