- REDLINE -

Sf_Anastasia
Chapter #24

#23 - Mayday

***

Semuanya berjalan lancar, pemilu ini terlaksana pertama kalinya di Red District dengan suasana kondusif. Tidak ada keributan, warga yang meninggali tempat ini nampak patuh. Alex memperhatikan setiap inci kegiatan yang berlangsung dari pagi hingga di siang hari, tepat di mana mereka mulai menghitung suara. Rimu juga sudah memberikan hak suaranya namun memilih untuk pergi dan menyerahkan segalanya pada Alex. Sebenarnya Alex cukup jengah, namun untuk memancing amarah Rimu tentu saja Alex enggan. Tidak mungkin kan mereka semua akan melihat betapa membabi buta Rimu saat sedang mengamuk?

Lexa dan Bobby juga berada tak jauh darinya. Gadis itu bahkan tidak berani mendekat pada Rimu tadi, karena melihat suasana hatinya yang buruk. Tidak biasanya Lexa menjadi gadis penakut, dan bukan menjadi Lexa yang liar seperti biasanya. Bobby sendiri sampai heran di buatnya.

Para petugas itu mulai mengangkat lima kotak suara dan membawanya ke sisi yang lain. Petugas lainnya sudah mengeluarkan kunci, kemudian membuka gembok yang mengunci kotak ini hingga kertas suara yang ada di dalamnya mulai menyembul keluar. Alex memperhatikan dengan seksama, begitu juga Lexa dan Bobby.

Penghitungannya masih manual, menggunakan papan board dan spidol. Petugas lainnya mengeluarkan satu buah kertas yang di ambilnya acak, lalu membukanya.

"Nomor urut satu, Pramudya Alatas."

Petugas lainnya mendokumentasikan hal ini dan petugas yang lainnya lagi mencatat di papan board

"Nomor urut satu, Pramudya Alatas."

Alex nampak puas melihatnya, sejauh ini belum ada satu kesalahan apapun yang tercipta. Semua sudah di berikan arahan sejak semalam. Karena kemenangan Pramudya Alatas di atas segalanya sekarang.

"Nomor urut satu, Pramudya Alatas."

Lagi-lagi petugas menyebutkan nama itu berulang kali hingga hampir separuh papan sudah mencatatkan kemenangan pria tua itu. Sampai manik Alex memandang curiga saat petugas memicing aneh melihat kertas suara dalam genggamannya.

"Nomor urut dua, Feriansyah Nugroho."

Manik Alex membulat, diikuti juga dengan Lexa dan Bobby serta anggota Redline lainnya. Mau tidak mau Alex jadi maju ke tempat si petugas, dan mengambil paksa kertas suara itu dari tangannya. Maniknya benar-benar di buat membulat sekali lagi saat melihat kertas itu, benar-benar di coblos di nomor urut dua. 

Wah, siapa yang mencoba membuat kemarahan Rimu mengudara?

Alex mulai mencari-cari sesuatu sampai menemukan di ujung kertas suara, terdapat nama yang sengaja di tulis di sana, Kinara. Dahinya berkerut samar karena merasa nama ini sangatlah tidak asing.

"Boleh saya melanjutkan pekerjaan saya, Mas?"

Pertanyaan si petugas di sampingnya membuyarkan segala spekulasinya. Alex mengangguk. "Silahkan," katanya, lalu menyingkir sambil membawa kertas itu di tangannya. Lexa dan Bobby terlihat resah.

"Kok bisa?" tanya Bobby dengan suara pelan. "Siapa yang berani kayak gini ke kita?"

Alex diam sebentar, mencoba mencari kalimat yang tepat sekalipun kata itu sama sekali tak ingin keluar dari benaknya. Alex sekarang menatap Bobby dan Lexa bergantian.

"Nyokapnya Rimu."

Jawaban singkatnya membuat manik Lexa dan Bobby membulat dan saling berpandangan heran.

"Heh? Wanita sialan itu minta di habisi rupanya. Biar gue yang nyamperin dia," ucap Lexa dengan kemarahan yang membumbung tinggi. Tapi Bobby segera mencegat pergelangan tangannya agar gadis ini tidak buru-buru pergi.

Menyadari langkahnya tertahan, Lexa menatap Bobby tajam. "Lepasin tangan gue. Wanita itu harus di bunuh biar nggak ngerusak Rimu lagi!"

"Xa, sabar dulu. Lo ngegas banget!" seru Bobby dengan suara rendah. Alex juga mengangguk setuju.

"Iya, Xa. Ada baiknya kita ngomong sama Rimu dulu soal ini. Biar gue hubungin dia dulu. Lo berdua tetap di sini, jangan kemana-mana."

Lexa terpaksa mengalah meskipun amarahnya memuncak setiap kali wanita itu di sebutkan dalam percakapan mereka. Betapa Lexa sangat membenci wanita sialan yang sudah membuat Rimu terluka batin sejak dulu. Begitu juga dengan Bobby, namun Bobby masih bisa menahan rasa marahnya dan mencoba berpikir jernih, seperti Alex.

Alex berjalan menjauhi kerumunan dan kembali ke mobilnya. Sebenarnya Alex berharap Rimu ada di sana, namun Alex harus menelan pil pahit karena Rimu tidak ada di sana. Entah menghilang kemana.

Setelah masuk ke dalam mobil, sebelah tangannya segera menempelkan benda pipih dalam genggamannya ke telinga. Suara monoton itu masih terdengar sampai beberapa detik.

"Halo?"

Alex bisa bernapas lega sekarang karena Rimu menjawab panggilannya.

"Rim, lo di mana?"

"Tidur, kenapa?"

"Nyokap--, err maksud gue wanita sialan itu bikin ulah," ucapnya yang segera meralat kata-katanya untuk menghindari amukan Rimu.

Terdengar suara drum terbating di sana, cukup membuatnya melepaskan benda pipih itu sejenak.

"Ngapain dia?"

Alex menatap kertas suara itu yang ada dalam genggamannya. "Dia bukan memilih Pramudya."

"Apa?!"

Rimu tersentak kaget di ujunga sana, lalu terdengar napasnya lebih cepat, seperti tengah berlari.

"Lo mau keman--,"

"Cari koordinatnya sekarang! Dan kirim ke gue!" potong Rimu cepat.

"O--oke. Gue cari dulu."

Tepat saat sambungan telepon terputus, Alex segera mengambil laptopnya yang ada di kursi belakang, kemudian mulai membuka salah satu aplikasi untuk menemukan Kinara, dari sinyal ponsel yang di pancarkannya. Kinara sama sekali tidak mengetahui hal ini, karena Alex memasangnya secara diam-diam.

Berhasil!

Alex menemukannya dengan cepat, lalu mengirimkannya ke ponsel Rimu. Alex juga memanggil Bobby segera ke mobilnya untuk ikut bersamanya mengejar Rimu, sedangkan Lexa di minta untuk tetap berjaga dengan yang lainnya.

Dan Alex kini bergerak, mengikuti kemana Rimu pergi bersama dengan Bobby di sampingnya.

***

Hari mulai menjelang petang ketika Pramudya duduk di mobilnya menuju sebuah tempat. Sesekali maniknya menjelajah melihat keluar jendela mobil, ataupun sesekali mengobrol dengan supir pribadinya.

Pagi ini di mulai dengan indah. Cecillia bangun pagi sekali untuk pergi ke tempat pemungutan suara yang jaraknya dekat dengan kediaman mereka. Setelah menyapa para wartawan yang hadir lalu memberikan hak suara, mereka kembali ke kediaman dan melakukan open house bersama dengan warga sekitar.

Cecillia tampak bahagia, begitu juga dengan Pramudya. Meskipun jauh di lubuk hati Pramudya terbagi dua, antara pemilu hari ini dan Kinara.

Ya, Kinara sudah berjanji padanya akan memberitahukan kabar Edgar kini. Sejauh ini, Pramudya hanya berharap Kinara tidak menipunya.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan belas, saat mobilnya keluar dari jalur bebas hambatan. Seharusnya Pramudya hadir bersama dengan partai pendukungnya untuk melihat hasil hitung cepat. Namun Pramudya berdalih untuk pergi sejenak barang satu jam untuk mengunjungi makam orang tuanya, tanpa Cecillia yang tengah disibukkan dengan perkumpulan Ibu-Ibu yang terdiri dari orang penting.

Benda pipih salam genggamannya bergetar, di liriknya benda itu sekilas hingga menampakkan pesan singkat dari Mr. Darren.

Kemenanganmu sudah di depan mata, Nak. Esok hari, persiapan kita akan di mulai.

Pramudya tersenyum puas. Ini menunjukkan hasil hitung cepat memang menguntungkannya. Sekarang fokusnya hanya tertuju pada Edgar. Sekitar satu menit lalu mobilnya berhenti tepat di area pengisian bahan bakar yang jauh dari kota. Pengawalnya ada berjarak sekitar dua mobil di belakang mereka, dan ada yang berjaga di luar untuk mengawasi kedatangan Kinara.

Detik demi detik berlalu, Pramudya senantiasa sabar. Hingga sosok itu benar-benar muncul. Kinara turun dari sebuah mobil tua, dan berjalan ke arah mobilnya. Pramudya memilih turun, alih-alih berbincang di dalam mobil.

"Kau datang seorang diri," kata Pramudya saat Kinara sudah berdiri hanya beberapa inci dari tempatnya sekarang.

Wanita di depannya tidak menunjukkan ekspresi apapun. "Apa yang ingin kau lakukan di Red District?"


Manik Pramudya memicing heran. "Apa maksudmu?"

Sebelah tangan Kinara terangkat, menunjukkan rekaman semalam yang menampakkan sosok seorang laki-laki yang mengumumkan distrik itu bisa mengikuti pemilu tahun ini.

"Lihat? Apa yang ingin kau lakukan di sana? Distrik itu tak ada artinya untuk anda kan, Tuan Pramudya?" tanya Kinara lagi dengan nada lebih sinis.

Senyum kecil penuh kemenangan tergambar jelas di wajah Pramudya. Tidak di sangka kelompok itu benar-benar bodoh, dan mudah sekali untuk di perdaya. Kinara menatapnya tak percaya. 

"Jawab saya!" bentak Kinara kencang. "Kau ingin melawan anakmu?"

Lihat selengkapnya