"Atas perintah Yang Maha Kuasa! Hancurkan dan bunuh mereka, kesemuanya!"
Suara gemuruh memekakkan. Para pasukan suci bersayap menebas penguasa buana atas titah kepala pasukan, sosok roh suci—Gabriel. Jan merupakan nenek moyang demon, sebab banyak melanggar dan berbuat kerusakan, malaikat membumihanguskan mereka; mengosongkan bumi.
Sosok malaikat dewasa melesat, mengejar wanita Jan terbang tak karuan. Menarik rapier; menikam ceruk leher jenjang. Suara debam dan gemercik menggaung. Tak mengindahkan mayat yang masih mencipratkan cairan amis, Aruel kembali mengirap. Namun, seketika kepakan terhenti paksa hingga helai bulu melayang, mendengar isak bayi dari balik jasad.
Sepertinya, rambut krem panjang serta lebar sayap hitam si wanita efektif menutupi. Ingat dengan tugas, Aruel hendak membunuh bayi tersebut. Seketika hatinya bergetar dan goyah ketika lengan kecil itu merentang, pun mata hijau menatap tak berdosa.
Hati-hati jemari kekar menyentuh pipi si kecil, sungguh indah bagi sang mata biru blue bell. Rambut krem apricot; sepasang sayap demonic bermotif merah. Malaikat tak berpangkat ini berpikiran untuk merawatnya dengan harapan tidak tumbuh seperti Jan pada umumnya—senang berbuat kerusakan—karena akan berada di kalangan malaikat. Akhirnya ia pergi bersama bayi dalam gendongan ke surga. Itu adalah kesalahan ... fatal.
-oOo-
"Azazel! Ayo kita pergi! Bermain dan mengejar burung di telaga ya!"
"Ami!" Mendengar suara ajakan, pemuda berlari keluar dengan mengibas sedikit santak hampir terbang. Tak lama, Azazel merangkul perawakan yang lebih tua darinya.
Ami tertawa kecil mendapat tingkah temannya. "Azazel! Serindu itukah?"
"Ami ... engkau sahabatku, tidak tahukah akan perasaanku?" gumam Azazel, mengundang senyum simpul pada laki-laki berambut merah.
"Azazel, kamu sendiri yang mengatakannya, aku adalah sahabatmu, tentu aku tahu ... saudaraku."
Mendengar itu, Azazel tersenyum hingga mata hijau terpejam; makin erat memeluk sang lelaki feminim.
Ami menepuk pelan kepala Azazel, terasa rambut krem tebal di jemari. Tak lama, sosok malaikat dewasa perlahan menghampiri mereka. Gurat sabit jelas terukir melihat tingkah kedua insan.
"Ami hanya engkau dekat dengan Azazel, tolong jaga dia baik-baik. Azazel, anakku, jika engkau ingin pergi bermain, jangan lupa untuk kembali ketika para bidadari menyanyikan lagu mereka untuk memuja dan beribadah pada Yang Maha Suci."
"Baik, tuan Aruel." Ami mengangguk seraya membungkuk hormat, sedangkan Azazel terbang santai mendekati malaikat rambut keabuan, menggenggam pelan tangan kanan sang pria.
"Ayah, aku pasti kembali. Aku tidak pernah lupa untuk beribadah pada Yang Maha Suci." Merentangkan kedua sayap, bulu penyusun berhamburan. Mencium tangan sang Ayah atas keanggunan, mengucap salam dan menjauh bersama Ami.
"Oh, Lucifer! Cahaya fajar, kebanggaanku"
Azazel, Jan yang telah Aruel rawat sejak pembasmian. Tumbuh seperti usia empat belas tahun—umur asli tak diketahui—berwujud bak malaikat umumnya. Ajaran dari sang Ayah; tinggal di surga; berbaur dengan malaikat lain, membuat dia mempelajari segala hal tentang sosok suci dan memiliki kekuatan seperti halnya mereka.
Azazel dan Ami terbang melintas surga, pergi pada telaga dekat gerbang di mana tirta amarta terlampau sejuk. Jika ada seseorang meminum airnya, senantiasa tidak akan haus lagi. Mengepak konstan; saling mengucap salam, suasana surga yang indah; tenang; asri, melebihi segala hal. Belum pernah ada mata melihat, mulut mengucap, dan pikiran membayangkan.
Sampai pada tujuan, teramat luas. Lebih baik disebut samudra dengan gelas melebihi bintang. Pemilik rambut merah terempas angin langsung bermain, berlari mengejar burung penghuni. Berbeda dengan Azazel, memandang bias dirinya. Menyadari tingkah senyap sang sahabat, Ami langsung menepuk pundak membuat si rambut krem terkejut.
"Ada apa Azazel, saudaraku?" Yang dituju menggeleng, lalu bersandar pada pinggir telaga; mencelupkan sebelah tangan; bertopang dagu.
Seketika gelombang rendaman nampak menyebar, membuat air berubah sesaat menjadi biru kelam. Gelas permata, mengambang dan bersinar. Sungguh, telaga bak langit malam gemerling. Ami akhirnya duduk di samping Azazel, kagum dengan apa yang dilihat; sedikit bersiul.
Pemuda itu memecah sunyi, "Ami, apa pendapatmu tentang diriku?"
Ami mematung. Sebenarnya ingin menjawab dengan canda seperti kamu cakap, jika lompat ke kumpulan bidadari, mereka akan berlomba-lomba memeluk dan menciummu tapi melihat raut Azazel, dia memilih bungkam.
"Aku tahu ... beda 'kan?" Mendengar itu sang mata merah mengerdip, diam sejenak kemudian tertawa. Tentu Azazel heran.
"Kenapa berkata seperti itu? Bukankah kamu tahu sendiri, saudaraku, kamu sama saja seperti aku dan yang lain."
"Sama seperti yang Ayah katakan!" sambar Azazel tapi dibalas dengan senyum hangat.
"Aaaah iya, aku tahu, aku tahu. Memang kamu berbeda, lalu? Lihat bayanganmu dan aku dalam air, sama saja."
"Mereka tidak beranggapan seperti itu." Bariton sedih kentara, nampak mata hijau itu sayup.