Pada checkpoint pertama
Antara Jordan dan Palestina
Tentara Israel bertanya
Tentang kewarganegaraanku
Hampir kuberteriak
“Ayo, lihat aku!
Katakan, apa yang kau lihat!”
Dari nadiku muncul batang zaitun
Tumbuh karena kemarahan
Kutunjukkan padanya gaun ibuku, yang
Disulam dengan darah kakekku
Dua hari
Kami menunggu di jembatan
Terkurung bagai ternak
Berdesakan dalam kandang bersama gerombolan lalat
yang berenang di keringat kami
Udara sepanas neraka
Tangisan dahaga dan lapar anak-anak
Leher mereka kering, retak kehausan
~ Iqbal Tamimi ~
Di sini di lereng bukit, menentang senja dan meriam waktu
Menghampiri taman dari bayangan retak
Kami lakukan apa yang biasa dilakukan tahanan
Dan apa yang dilakukan pengangguran: menanam harapan
Negara menyiapkan permulaan
Kami lebih dekat menyaksikan saat kemenangan
Tak ada malam dalam malam kami yang dinyalakan dengan pengeboman
Musuh kami waspada dan menyalakan cahaya untuk kami
Dalam kegelapan gudang bawah tanah
Di sini tidak ada “aku”
Di sini Adam mengingat debu dari tanah
liatnya
~Mahmud Darwish~
REEM TENGGELAM DALAM catatan.
Membaca berulang bait-bait puisi para penyair Palestina atau penyair-penyair yang menyuarakan harapan rakyat Palestina. Membacanya berkali-kali tidak membuatnya bosan, bagai menyiram batang tiin dan zaitun menggunakan percik air Sungai Nil. Pelan, perlahan, membasahi, menyuburkan. Semakin mengingat. Semakin tertancap. Meninggalkan jejak. Memahatkan bekas. Kadang, hingga larut bahkan menjelang subuh, Reem masih terbenam dalam bacaan dan tulisan. Biasanya dia lanjutkan dengan murajaah hafalan Quran dan shalat malam, sebelum memejamkan mata dengan ketenangan yang dalam.
Bibi Aisyah pelan membuka pintu, suara derit engsel tidak mengusik kenyamanan seorang seniman yang tenggelam dalam imaji. Saat lembut tangan Bibi menyentuh pundak dan punggungnya, Reem hanya menggerakkan bahunya ke atas sedikit.
“Belum tidur?”
Reem tersenyum.
“Kamu lagi ngapain?”
“Baca buku, Bi. Supaya ngantuk,” Reem tersenyum.
“Kamu enggak akan ngantuk kalau baca buku di meja belajar seperti itu? Bawalah bukumu ke tempat tidur, nanti akan mengantuk.”
“Reem memang belum mengantuk,” Reem tertawa kecil.
“Kamu sudah seharian di luar, bahkan temanmu Fetima tadi sudah kedengaran teler ketika menelepon Bibi.”
“Ada apa Fetima menelepon?” Reem melengak heran.
“Dia bilang kamu sepertinya kurang enak badan. Dia mau memastikan, kamu sudah sampai rumah.”
“Oh,” Reem menggumam, melengkungkan senyum, “gadis baik. Dia selalu penuh perhatian pada temantemannya. Reem enggak apa-apa, Bi.”
“Sudah larut begini dan kamu belum tidur?”
“Sepertinya sebentar lagi Reem tertidur.”
Bibi Aisyah mengelus punggung Reem, menyadari gadis cantiknya tengah menyembunyikan sesuatu.
“Besok, katanya Reem mau baca puisi di depan gedung parlemen?”
“Iya, Bi. Doakan, ya ....”
“Pasti bisa!”
“Insya Allah, aamiin, Bi.”
Bibi Aisyah meraih kepala Reem, membenamkannya di pelukan. Kehangatan yang mengalir, cinta yang merambati pembuluh darah, menyebabkan Reem meletakkan pulpen dan kertas, serta buku-buku yang dibaca. Kedua lengannya terulur memeluk pinggang Bibi Aisyah. Nyaman sekali membenamkan wajah di sana, dalam pelukan orang yang mencintai kita. Perlahan, pipi Reem menghangat.
“Kamu kenapa?” Bibi Aisyah memegang kepala Reem.
Reem menggeleng. Kelembutan dan kesantunan gadis itu tidak akan memecahkan rahasia sebelum waktunya.
Ketika Bibi Aisyah menjangkau pintu dan membukanya, pertanyaan Reem adalah jawaban bagi air yang mengalir di pipi.
Ada yang tiba-tiba muncul, melintas di benak, menggenapi sesak.
Jemari Ummi menyibak anak-anak rambutnya, membungkuk dan menatap ke dalam matanya. Membersihkan debu yang mengotori kerah baju, ujung jilbab yang terkoyak. Tangan Ummi mengelus lembut siku Reem, menyusuri hingga pergelangan tangan dan melihat kuku-kuku Reem. Reem akan menyembunyikan tangannya di belakang punggung.