GEDUNG PARlEMEN MAROKO terletak di Rabat, tepat di tengah jalan kembar Muhammad Khamis. Bangunan utama didominasi warna cokelat kuning emas, dengan pilar-pilar tinggi warna senada. Aksen merah menyala menghiasi dinding bangunan, tegas dan berani. Bangunan lantai dua memiliki tujuh jendela besar di lantai atas dengan tirai putih mutiara yang tersibak. Tiga bendera merah Maroko berkibar gagah; satu di atap, dua di sisi kiri kanan jalan setapak. lambang bintang di tengah berwarna hijau tua, bersudut lima membentuk pentagram.
Di belakang gedung utama berdiri bangunan putih pualam berlantai dua yang jauh lebih luas, tempat para wakil rakyat bekerja. Pagar hitam membatasi gedung dengan jalan raya. Di antara keduanya terhampar kebun cantik sewarna zamrud. Perdu setinggi 2,5 meter menjadi pembatas antara pandangan pejalan kaki dengan aktivitas dalam gedung parlemen. Halaman rumput berselang-seling ditumbuhi bougenville ungu dan kurma-kurma tidak berbuah yang rapi terpangkas. Jalan kembar Muhammad Khamis dihiasi taman berumput dan pohon-pohon kurma yang sengaja tidak dibiarkan berbuah, dedaunan menjuntai ranum, batangbatang berhias lampu-lampu yang menyala terang di Reem malam hari. Di ujung Jalan Muhammad Khamis yang berbatasan dengan Maroc Telecom, Societe Generale, dan Bank Maghribi, burung-burung dara bebas mendarat mematuk-matuk bebijian yang disebarkan pengunjung.
Bank Maghribi adalah bangunan yang paling menarik pengunjung. Warnanya senada dengan gedung parlemen. Didominasi cokelat kuning keemasan tanpa corak merah. Sebagai pelengkap, dinding putih pualam menjadi pemanis warna bangunan dan pahatan bebatuan pada dinding serta atap gedung mengingatkan orang pada istana raja-raja di kisah Sherazade Seribu Satu Malam. Rumit. Dipenuhi lengkungan, irisan, pola-pola berulang simetris: pilar-pilar pualam yang mempersilakan nasabah memasuki dunia silam.
Di depan gedung parlemen, masyarakat serta mahasiswa sering mengadakan aksi demonstrasi. Mungkin itu sebabnya, Royal Morocco Armed Forces berjaga senantiasa dengan aksi jalan bertiga.
Demonstrasi Palestina kali ini termasuk yang paling meriah dan menarik banyak peminat. Bukan saja menghadirkan mahasiswa dari segala penjuru Maroko, tapi juga dimeriahkan oleh perwakilan mahasiswa antarnegara yang berkuliah di fakultas-fakultas pilihan. Mereka mempertunjukkan beragam atraksi budaya rakyat Palestina.
Senandung jernih pemuda kecil Palestina mengumandangkan As Shaff ayat 1 sampai 4, membuka aksi demonstrasi.
Sabbaha lillahi maa fissamawati wamaa fil ardhi wahuwal ‘Azizulhakim. Yaa ayyuhalladzina aamanu lima taquuluuna maa laa taf’aluun. Kabura maqtan ‘indallahi antaquuluu maa laa taf’aluun. Innallaha yuhibbulladzina yuqaatiluuna fii sabiilihii shoffan kaannahum bunyanun marshus.
Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah, Dialah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Wahai orang-orang beriman, mengapa engkau mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur. Mereka laksana bangunan yang tersusun kokoh .
Sambutan Duktur Amr singkat dan tepat. Tidak membakar serta memprovokasi, tetapi membangkitkan kesadaran akan posisi manusia terhadap manusia yang lain.
“Kita mungkin akan punya pendapat beragam terkait perjuangan rakyat Palestina. Sebagian menganggapnya perlawanan melawan kolonisasi, sebagian mengang gapnya terorisme, sebagian mengang gap urusan Palestina adalah urusan dalam negerinya sendiri.
Kita mungkin menyokong gerakan itu, kita mungkin pula mengkritiknya. Namun, saya hanya ingin menyampaikan ucapan seorang ulama Palestina ter hadap saudara-saudaranya kaum muslimin.
Jika kalian tidak dapat memberi bantuan fisik atau materil, doa saja cukup bagi perjuangan Palestina. Insya Allah, bangsa Palestina dianugerahi Allah fisik dan mental yang kokoh perkasa.
Jika doa saja tidak dapat kalian kirimkan, maka diam menjadi pilihan terbaik kalian, wahai Kaum Muslimin.
Daripada kalian sibuk memperdebatkan jalan juang kami dengan segenap prasangka dan dugaan! ”
Pekik takbir membelah safir langit Rabat.
***
“Aku, kan, tadi bilang kita naik kereta saja, turun di Gare de Rabat Ville!” gerutu Ilham.
“Ayo , cepat!” Kasim melesat mendahului. “Masih men ding tramway kita di Muhammad Khamis daripada Al Joulane!”
“Tramway kita memang Muhammad Khamis, tapi jauh lagi, Bro, dari jalan kembar Muhammad Khamis!” napas Ilham tersedak.
“Tunggu, dong, perutku sakit, nih, habis makan terus lari-larian,” Alya juga protes.
“Jarang olahraga, sih, kalian!” celetuk Kasim sambil berlari menyusuri Avenue Moulay Youssef.
Kaki Kasim bagai berpijak di sepatu roket ketika melewati Rue Zahla.
“Kasim!” Ilham menyalak. “Kamu ninggalin saudara sendiri, ya!” Kasim membalikkan badan, berlari mundur.
“Dikiiit lagi, hei!”
Wajah merah Kasim bersimbah peluh, tapi suara dan pancaran matanya menyala dalam gairah menuju kerumunan ratusan orang yang membawa spanduk bersimbol bendera Palestina.
Pray for Palestine.
Save Children of Gaza.
Gadis-gadis membagikan bunga kertas berpita merah-hijau-putih-hitam.
Kasim mencoba menyeruak kerumunan, menyelisip maju, berdesakan, mencari celah. Maju lagi. Dia terimpit di antara teriakan takbir dan tangan-tangan terkepal di udara. Suara lantang menembus telinga. Sambil melin dungi kedua daun telinga, dia terus mencoba mencari posisi terbaik untuk dapat lebih dekat ke arah panggung demonstrasi yang terbuat dari mobil, dengan bak terbuka berlapis alas kayu berkarpet hijau.
Dari jauh, suara teguh seorang laki-laki membuat Kasim ingin segera berlari mendekat. Suara karismatik yang membuat para pendengar lebih ingin menyimak.
“... Jika doa saja tidak dapat kalian kirimkan, maka diam menjadi pilihan terbaik kalian, wahai Kaum Muslimin.
Daripada kalian sibuk memperdebatkan jalan juang kami dengan segenap prasangka dan dugaan! ”
Kasim terhenti.
Lumayan mendapatkan pandangan. Tidak tepat di depan, tapi mendapat sudut yang cukup leluasa untuk melihat seluruh peserta aksi.
Laki-laki di depannya, yang tertera bernama Duktur Amr di selebaran adalah seorang laki-laki tinggi langsing dengan mata tajam sejuk dan jenggot warna perak. Dia mengibarkan bendera Maroko dan Palestina, mene riakkan takbir, dan melambaikan tangan kepada para peserta aksi.
Kasim memotretnya, bersyukur mendapatkan gambar yang lumayan jelas.
Suara Ilham berteriak-teriak di belakangnya.
“Kasim! Hei! Aku enggak bisa ke situ!”
Kasim memberikan isyarat agar Ilham tetap di tempatnya. Kerumunan semakin padat oleh orang- orang yang bersimpati ingin melihat aksi demonstrasi dan sajian budaya Palestina.
Seorang pemuda naik panggung, mengambil alih mikrofon yang disodorkan Duktur Amr. Tubuhnya tinggi te gap, dengan cambang rapi dan mata cokelat yang memukau. “Takbir!”
Lautan manusia membalas ucapannya.
“Palestina adalah bangsa yang dekat dengan kita. Mengapa tidak kita dengarkan prosa pendek atau syair yang dilantunkan oleh saudara kita yang memiliki darah murni bangsa Palestina?”
Takbir bersahutan.
“Kita dengarkan, Reem Radhwa!”
Kasim mengambil gambar berulang ke arah pembawa acara tersebut. Ke arah kerumunan. Ke arah bendera-bendera. Ke arah spanduk. Ke arah bunga- bunga kertas di tangan gadis-gadis. Ke arah sebuah sosok anggun yang menyibakkan barisan orang-orang. Jilbab kremnya membingkai wajah. Garis alisnya tegas, dengan mata memukau yang lembut teduh, tapi menikam. Dia berpegangan pada tepian podium buatan, melontarkan tubuhnya ke atas dan menerima mikrofon yang diberikan padanya.
Senyumnya mengembang tenang menyapu hadirin di hadapan. Menghunjam tepat hati Kasim ketika mereka tanpa sadar bertatapan. Kasim mengalihkan mata ke kamera, memfokuskan target lensa. Mengambil jarak jauh, dekat, sedang, berusaha menangkap setiap gerak-gerik si gadis di podium. Mengatur tombol rekam agar tersimpan jelas setiap kata dan bait puisi yang akan dibacakan Reem.
Mengawali dengan salam, lalu takbir.
Dia, si gadis berdarah murni Palestina, menarik napas panjang sebelum mengumandangkan bait-bait syair. Suaranya jernih, lantang, mampu memainkan hati- hati pendengar ke dalam lautan iba yang mengombak air mata. Intonasinya tetap terpelihara meski getar memainkan pita suara.
“Nasihat seorang ibu kepada anaknya:
Berhati-hatilah, Sayang
Ketika kau melangkah
Sebab pemakaman di kota ini, lubangnya lebar
menganga
Jarak jengkalnya melebihi jangkauan kakimu
Baik-baiklah kau di sekolah, Nak
Perhatikan sirene bila tiba-tiba
Diberlakukan darurat perang
Pulanglah melewati gang-gang kecil
Agar tembakan tidak mengenai kepalamu
Nak,
Pohon-pohon zaitun kita
Jurang ganas, lembah-lembah, dan saf batu nisan
Ke mana pun kau berkelana di kota ini
Banyak pemandangan terlantar
Tak usah takut,
Tempat ini terbiasa dengan kejadian dan suasana
mencekam
Ketakutan dan darah, kejahatan dan hukuman, ada
dari halaman ke halaman
Tak ada sejengkal pun tanah tanpa kekerasan
Anakku Sayang,
Bila nanti kau pulang,
tak mendapati dinding rumah
dan makanan kecuali
reruntuhan
Pergilah kau ke masjid terdekat
Kumandangkan azan
Basuhlah kesedihan
Ibu tidak ke mana
Hanya sejenak menengok surga kita.”
Surat ini kutulis lima belas tahun silam. Apa yang kualami, terjadi lagi menimpa anak-anak Palestina hari ini. Terulang, berkali-kali, entah sampai kapan. Meskipun, rasanya mimpi untuk hidup dalam kedamaian, kami tidak akan pernah menyerah. Anak- anak Palestina tumbuh kuat, seperti mereka yang tetap bertahan untuk membela tanah air mereka.”
Reem tersenyum ke arah anak-anak yang menatapnya menengadah. Anak-anak yang siap menarikan Dabkah Shamaliyya. Juga, ke arah pelantun As Shaff yang berdiri menyandar manja pada Yousef, sang pembawa acara. Teman-teman Reem yang juga panitia demonstrasi kali ini ikut terhanyut. Fetima mengusap mata, Nadia mengambil tisu dan menyeka pipinya. Sadia telah tersedu pelan sejak bait pertama puisi Reem dibacakan.
Mustafa naik podium, menggantikan Reem.
Suara beratnya bagai raungan tank menggilas bukit pasir Jabaliyah di perbatasan. Takbirnya serak, menggesek udara Rabat, tangis tertahan laki-laki yang teraduk bersama semangat keberanian.
Reem mengusap sedikit ujung mata dengan jari telunjuk. Suara Mustafa dan Yousef berapi-api berorasi.
“Fetima dan Nadia benar! Puisimu lebih indah dari Mahmud Darwish,” Sadia memburu Reem.
Reem menunduk, tidak mampu tersenyum atas pujian tersebut.
“Bagus sekali, Reem!” Fetima berusaha meraih tangannya.
Reem mencoba tersenyum, hanya sedetik, lalu berusaha melepaskan tangan Fetima. Nadia dan Sadia memburunya. Fetima menahan keduanya.
“Biarkan Reem, dia pasti sedih ingat ibunya. Kesedihan butuh kesendirian.”
Reem meninggalkan panggung dan kerumunan, meninggalkan teman-temannya. Menjauh menuju ujung Jalan Muhammad Khamis, tempat burung-burung dara mendarat berkelompok. Teman-teman yang mencintainya dengan tulus, tidak dapat menggantikan ke hadiran Ummi yang sekian lama dirindukannya. Kadang, perasaannya sesak melihat kemesraan Fetima dengan ibunya di telepon. Atau, Sadia yang masih kolokan kepada babanya, sementara baba Reem berada jauh di daerah konflik. Nadia sebetulnya sama seperti Reem, tidak memiliki ibu. Namun, ibu Nadia gugur tanpa meninggalkan jejak trauma. Reem tahu, Fetima, Nadia, dan Sadia adalah sahabat-sahabat terbaiknya, tapi sungguh, tidak mudah baginya untuk melupakan Ummi dan meluapkan kerinduannya pada Baba. Kehadiran Bibi Aisyah menghangatkan dirinya, tapi tentu tidak dapat melenyapkan kerinduan akan kasih sayang yang sempurna.
Diam-diam, sesosok tubuh mencarinya. Mengejarnya. Menatapnya dengan perhatian penuh dan digenapi rasa ingin tahu.
“Assalamu’alaikum!”
Kasim menghampiri perlahan; menyimpan kamera di dalam tas bahu.
Reem menjawab salam, menoleh sejenak ke arah suara sapaan, menunduk kemudian. Mengamati burung- burung yang tidak terganggu suara manusia, takbir, ataupun nyanyian Ala Dalouna.
“Wa’aar, mizyaan,” Kasim memuji aksi Reem. “Votre poésie est très bonne. Je suis désolé pour votre douleur .”
“Syukron,” Reem tersenyum samar.
“Je suis interesse par votre letterpoésie. Votre poésie est très exquis. Je vous ecris ma these sur Palestine."
Reem terdiam.
“Je suis Kasim. Je suis d’Indonéesie. Espère que vous pouvez m’aider .”
“Reem!”
Reem menoleh. Ternyata, Bibi Aisyah melambai dari jendela taksi.
“Je dois y aller,” Reem berujar.
“ Attendez!” Kasim memohon. “Quel est votre nom8?”
Kasim menepuk jidatnya sendiri. Bukankah di acara aksi Yoesef dan Mustafa menyebut namanya: Reem? Perempuan di taksi itu pun tadi meneriakkan namanya. Kegugupan dapat menimbulkan salah langkah yang memalukan.
“Ayo, pulang!” seru Bibi Aisyah untuk kesekian kali.
“Maaf, saya harus pergi.”
“Tunggu! Kok, kamu bisa bahasa Indonesia?” Kasim ternganga.
Kasim mengejarnya.
“Reem, yalaa !” Bibi Aisyah melambaikan tangan tidak sabar.
“... hei, Reem! Minta nomor teleponmu?” Kasim percaya diri mengeluarkan telepon seluler dan cepat memencet kontak.
“Kamu harus segera pulang!” tegur Bibi Aisyah.
“Mana boleh, Bi? Kami masih aksi demonstrasi,” Reem tentu menolak.
“Pokoknya, kamu harus segera pulang!”
“Bi, Reem masih harus mengurusi demonstrasi. Fetima dan teman-teman masih sibuk di sana. Anak- anak Palestina itu juga harus kembali ke liga.”
“Nanti, Bibi yang telepon Fetima.”
“Tapi ...”
Pintu taksi terbuka, Bibi Aisyah menggeser duduknya menjauh. Memaksa Reem untuk segera bergabung.
“Kamu harus segera pulang. Baba mengirim kabar penting.”
Reem membuka mulut. Matanya memandang ke arah teman-temannya, tarian Dabkah Shamaliyya di kejauhan, lagu Ala Dalouna yang mulai samar-samar terdengar. Bagaimana Falafel mereka? Bagaimana bunga kertas dan bendera Palestina? Siapa yang mengemasi panggung, mobil, dan melakukan jumpa pers? Apa kata Isham nanti bila dia meninggalkan tempat tanpa kabar berita?
Wajah Bibi Aisyah marah menegang.
“Reem!”
Dua orang memanggil serentak.
“Masuk taksi!” peringatan terakhir Bibi Aisyah.
“Nomor teleponmu?” permohonan Kasim tidak digubris.
Reem menarik napas pendek, mengabaikan Kasim dan masuk ke taksi segera. Sopir taksi terlihat mengomel panjang pendek, terjebak kepadatan orang-orang dan jurnalis yang ingin meliput aksi demonstrasi serta pameran budaya Palestina. Reem mengambil telepon genggamnya dan menghubungi Fetima melalui pesan pendek, mengatakan dia dalam perjalanan pulang. Sejam lagi, Reem akan bergabung dengan teman- temannya sesudah berita dari Baba terdengar jelas.
“Jadi?” seseorang menepuk punggung Kasim.
Kasim mendengus. Kesal dan terpana masih mengadukaduk bagai campuran saus-mayones di warung cepat saji.