KAMPUS DI RABAT siang itu dipadati mahasiswa. Sebagian perkuliahan memang dimulai selepas zuhur dan baru berakhir malam usai isya. Bangunan tempat Kasim menimba ilmu tidak pernah sepi dari mahasiswa setempat maupun para pengunjung dari Casablanca hingga Tangier yang ingin melakukan studi banding.
Setiap kali memasuki bangunan utama, seakan memasuki masjid. Gerbang terdepan berlapis-lapis, pintu bagian atas berbentuk kubah yang merupakan ciri khas arsitektur Islam. Bata kuning berpadu pualam yang dipahat dengan pola berukir, pilar kembar di kanan dan kiri. Pintu masuk kayu, berbentuk anyaman seperti motif pada permadani Beni Ourain, menempel pada kaca-kaca hingga cahaya tetap berlimpah masuk. lentera besi penuh ornamen tergantung cantik di tepi dinding.
Tidak terkecuali, hal paling indah dan paling memukau yang merupakan ciri khas bangunan Maroko: tatahan keramik zillij pada beberapa permuka an din- ding, tangga, dan lingkar kusen pintu. Zillij ber- ukuran sa ngat kecil, ketebalan 2 sentimeter dengan luas ber kisar 5 hingga 15 senti. Ditatah dan ditempel membentuk pola simetris berwarna-warni hingga tersusun bintang segi delapan‒oktagon‒ atau bintang segi enam belas, segitiga, jajaran genjang. Sebuah pintu zillij memerlukan waktu tiga bulan untuk diselesaikan. Perajinnya, dikarantina sejak usia muda untuk mendapatkan pelatihan keterampilan serta ajaran kesabaran. Sembari menunggu tungku keramik dibakar, para perajin disediakan musala khusus untuk bermunajat dan membaca Quran.
Seluruh bangunan kampus Kasim adalah karya seni, hingga langit-langitnya pun merupakan kayu yang dipahat demikian rumit mengikuti pola kaligrafis. Taman kampus berhias rumput, pohon-pohon palm dan kurma, tentu saja. Tumbuhan yang mirip dengan Indonesia adalah pohon pisang, berbentuk kipas, tinggi menjulang dan tidak pernah berbuah. Bangku-bangku menjadi tempat mahasiswa berkumpul, bertukar pikiran, mengerjakan tugas dengan nikmat sembari terhubung ke jaringan internet supercepat.
Kasim duduk, menyimak perkataan Reem sembari mencatat pada laptopnya. Di balik sikap menutup diri, Reem ternyata gadis yang ramah dan berperangai halus.
“Ceritakan padaku tentang Palestina,” tanya Reem.
“Bukannya itu yang ingin kutanyakan padamu?” Kasim mengerutkan kening, heran.
“Tidak. Aku ingin mendengar darimu dulu. Apa yang ada di benakmu tentang Palestina?”
Kasim menundukkan kepala, mengerutkan bibir. Matanya tertuju ke bawah, mengumpulkan ingatan demi ingatan.
“Guru sejarahku,” lamat suara Kasim, sebelum dia ralat segera,“... oh, bukan. Guru agama. Ya, guru agama. Saat itu, kami sedang membahas sejarah budaya Islam, dan sampailah menyinggung tentang sejarah Walisongo. Sejarah bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya. lalu, perjuangan heroik bangsa kami melawan penjajah. Perjuangan yang tidak mudah lewat jalur senjata dan meja perundingan.”
Reem tersenyum.
“Eh, kok, malah cerita Indonesia, ya?” Kasim garuk kepala.
Reem tersenyum, “lanjutkan. Membongkar ingat an itu akan menjalar ke mana-mana.”
Kasim pun tertawa.
“Waktu itu aku SMP,” Kasim mengingat-ingat. “Guru agama kami saat itu salah satu guru favorit sebab beliau banyak cerita, enggak hanya membahas bab shalat atau pembagian harta waris. Dan, gaya mendongengnya, aku suka!”
Reem mengangguk.
“Beliau sudah tua, kadang berkaca-kaca menceritakan sejarah bangsa Indonesia di masa lalu. Melihat tahun lahirnya, sih, beliau enggak mengalami zaman perang kemerdekaan, tapi itu zaman Indonesia sangat sulit, masih belum cukup makmur seperti sekarang.”
Kasim menahan napas.
“Awal kemerdekaan, Indonesia menggalang dukung an. Bayangkan! Sebuah negara baru, negara kaya alam, tetapi miskin ekonomi. Negara yang memiliki tentara ala kadarnya, saat itu, dengan seragam pasukan serba-sederhana, pesawat tempur dan kapal laut apalagi! Memproklamasikan kemerdekaan di masa seperti itu ...”
Kasim mendadak cengeng tiap kali menceritakan sisi pahit perjalanan Indonesia. Entah mengapa, di negeri orang, kecintaan pada negeri sendiri tumbuh subur di sanubari bagai zaitun dan tiin tumbuh ranum di Gurun Agafay.
“Musuh Indonesia saat itu adalah negara-negara Eropa yang sudah pasti lebih mapan, Sang Penjajah Belanda salah satunya. Sungguh, kehadiran seorang sahabat sejati di situasi sulit merupakan anugerah tidak ternilai. Itulah sebabnya, ukhuwah Islamiyah adalah hadiah besar bagi kaum muslimin sesudah keimanan, bukan?” Kasim menarik napas, tersenyum.
Reem mengangguk, untuk kesekian kali.
“Mesir-lah negara yang pertama kali mendukung kemerdekaan Indonesia. lalu, Palestina. Ya, Palestina.” Kasim menatap Reem sekilas.
Gadis di depannya menunduk. Palestina. Nama yang baginya selalu membangkitkan gelombang dalam denyut jantung, sel-sel kelabu otak, serta aliran darah.
“Aku masih ingat betul nama mufti besar Palestina saat itu yang mendukung kemerdekaan Indonesia, yang telah berkelana ke mana-mana,” Kasim melanjutkan. “Dia mengumandangkan kemerdekaan Indonesia lewat radio-radio, walau Palestina sendiri masih dicengkeram peperangan. Nama beliau ...”
“Syaikh Amir Hussaini,” Reem dan Kasim mengucap bersamaan.
“Meski, nama beliau jarang disebut, tapi dalam kenyataannya sosok beliau membersamai perjalanan awal bangsa Indonesia,” Kasim menegaskan.
“Ada nama Rue Sukarno di Rabat. Semoga akan ada nama pemimpin besar Indonesia lainnya yang disematkan di jalan Maroko ini,” doa Reem. “Semoga, ada pula nama besar pemimpin dunia yang diabadikan dalam jalan-jalan di Indonesia demi mengingat tali persahabatan kedua negara.”
“Amin,” Kasim mengangguk.
Mereka terdiam sesaat, tenggelam dalam pikiran serta perasaan masing-masing.
Sekarang giliranmu,” Kasim meminta.
“Ups, aku belum selesai menanyaimu,” Reem menggeleng.
“lho, bukankah aku yang perlu menggali informasi?”
“Tenang,” Reem mengangkat telapak tangan, meminta kesabaran lawan bicara. “Akan kuberikan apa yang kamu butuhkan, Kasim. Tapi agar ceritaku berman faat, perlu kita selaraskan dulu apa yang ada di pikiran.”
“Selaraskan, ya,” Kasim mengulang. “Maksudmu keharmonisan cerita kita?”
Reem merasakan pipinya bersemu merah.
“Ceritaku tentang Palestina mungkin tidak sesuai dengan tesismu,” suara Reem merendah. “Kamu butuh data, sedangkan yang aku sajikan adalah cerita personal melankolis. Kamu butuh fakta, sedangkan yang aku ceritakan malah pengalaman pribadi yang subjektif.”
“It’s okay,” Kasim sudah siap dengan catatan dan pulpen, selain bertumpu pada laptopnya. “Apa pun ceritamu, mengalirlah. Biarkan aku yang nanti memilah.”
Reem melipat tangan di depan dada.
“Buku apa saja yang sudah kamu baca tentang Palestina?” pancing Reem.
“Eh?” alis Kasim naik.
“Coba sebutkan.”
“Baik,” Kasim mengalah. Untuk kesekian kalinya dia membongkar ingatan.
“Aku membaca Palestina dari buku-buku catatan perjalanan para dokter Indonesia yang pernah melawat ke Palestina. Mereka berangkat atas nama pemerintah maupun NGO. Aku juga suka novel dan kumpulan puisi seorang anak berusia tiga belas tahun. Randa Ghazi namanya. Dia memang bukan orang Palestina, lebih tepatnya Mesir, tapi tulisannya tentang Palestina sungguh luar biasa.”
“Ya. Mesir adalah tetangga terdekat kami,” Reem mengiakan. “Ada bagian yang kamu ingat dari buku Ghazi?”
“Aku lupa puisinya,” suara Kasim merendah.
Reem mengangguk.
“Tapi, aku ingat novel jenaka tapi heroik karya Elizabeth laird, Bola-Bola Mimpi. Ya ...,” Kasim tertawa lepas. “Mungkin karena aku suka sepak bola.”
Memangnya, buku itu bercerita tentang sepak bola?”
“Begitulah.” “
Ceritakan,” pinta Reem.
“Tentang kakak adik, Jamal dan Karim,” Kasim seketika ingat Alya. Kalau sudah bertengkar sengit, mereka bisa saling tidak menyapa bagai musuh di perbatasan. “Jamal masuk masa puber, jatuh cinta pada Violette, gadis bawel jerawatan yang sama sekali bukan tipe kakak idaman bagi Karim.”
Reem tertawa.
“Karim ingin jadi pemain sepak bola dunia, apa pun ditendangnya. Ruang basement, lantai bawah apartmen mereka yang kumuh, atau dinding-dinding yang masih menyisakan reruntuhan menjadi partner berlatihnya.”
Mata Reem sayu, menerawang, “... ya, anak-anak Palestina membuat apa pun di sekelilingnya sebagai alat mainan. Tetanggaku dulu, Umi Kulsum, mengisi kaos kaki dengan pasir dan mengikatnya. Membuatnya jadi boneka.”
“Kreatif,” puji Kasim. “ Hm, terus?”
“Kamu belum selesai dengan daftar bukumu.”
Kasim menggeleng-gelengkan kepala, “Betapa teguh nya kamu, Reem! Oke. Yang pernah kubaca tentang Palestina? Oh, ya. Novel, Moonlight on the Holy Land Palestine, kisah cinta Asad dan Malla. Asad relawan asal Irak yang rela bergabung sebagai tentara Palestina.”
“Kamu lebih suka baca novel untuk menggali informasi tentang Palestina?” tanya Reem.
“Novel, cerpen, karya sastra adalah produk budaya. Seni adalah refleksi pikiran dan perasaan manusia. Pada naskah-naskah itu terlukis secara halus, implisit, tentang Palestina di mata para pelaku dan pengamatnya.”
“Ya,” Reem tersenyum. “Kamu pernah tahu Joe Sacco?”
Kasim mengangguk lamat, “Sepertinya aku pernah dengar. Jurnaliskah?”
“Ya. Jurnalis nyentrik, komikus juga. Suka memotret berita cover both side. Sudah baca?”
“Belum,” Kasim jujur mengaku. “Aku hanya baca profilnya via internet ketika mencari bahan untuk tesisku.”
“Kamu harus baca. Komik jurnalisnya tentang Bosnia dan Palestina, memberikan informasi yang berbeda.”
“Baik. Kamu punya, Reem?” tanya Kasim, berharap Reem akan memberikan banyak informasi–dan waktu untuk berbincang seperti ini. Berbicara tentang Palestina menyenangkan. Berbicara dengan Reem, apalagi.
“Aku lihat dulu, apa masih ada di perpustakaan rumah kami. Aku payah dalam menyusun katalog buku.”
“Baiklah,” Kasim mencatat Joe Sacco di kertas catatan, dan bertekad kali berikutnya bertemu Reem, dia harus sudah membacanya. “Ada lagi buku yang ingin kamu sampaikan?”
“Sejarah Tuhan, Karen Armstrong,” Kasim berucap.
“Itu bukan tentang Palestina?” Reem tersenyum dikulum.
“Tidak khusus membahas Palestina, tapi tentang agama langit: Islam, Nasrani, dan Yahudi. Tiga agama langit itu beririsan dengan Palestina. Sebagaimana kalau membahas Jerusalem the Biography, Simon Sebag Montefiore.”
Alis Reem naik, “Kamu baca buku itu rupanya.”
“Ya.”
“Buku bagus, bestseller internasional. Meski selalu, ada ideologi tertentu yang masuk seiring sebuah naskah dipublikasikan.”
“Betul, Reem, sebuah buku membawa pikiran penulisnya. Sebagaimana tesisku nanti akan membawa idealismeku, ideologiku, dan keberpihakanku. Walau, aku mencoba seobjektif mungkin. Data, fakta, jurnal yang kukumpulkan; akan kupilih dari sudut pandangku, meski tentu dikuatkan teori pendukung sebelumnya. Tapi, mengapa aku memilih teori tertentu, itu karena aku berpihak padanya.”
Reem mengemasi barangnya.
“Kamu mau ke mana?” Kasim bertanya heran, menyesali mengapa waktu cepat berlalu.
“Aku ada kuliah tambahan,” Reem melirik arlojinya. “Ucapanmu tentang ideologi tadi mengingatkanku pada mata kuliah Filsafat Islam.”
Wajah Kasim tampak kecewa.
Reem merogoh isi tasnya, “Oh, coba kamu baca ini dan kita kembali diskusi.”
Kasim menerima uluran pemberian Reem.
Buku kecil, dengan cover bukit-bukit berbatu, tanaman tiin dan zaitun di kejauhan. Palestinian Walks: Notes on a Vanishing Landscape.
“Kisah nyata, orang-orang yang mempertahankan tanah mereka lewat jalur hukum,” suara Reem dan tubuhnya menjauh. Hanya tersisa senyuman samar.
Kasim menangkap jelas sorot sendu gadis itu, suara tenang-lembutnya yang menghanyutkan, tetapi dia tegas dalam berucap. Ada kepedihan menggurat halus di lekuk-lekuk wajahnya. Setiap kali kata Palestina terucap, nyala dan hujan beriringan timbul tenggelam di kerlip mata.
Kasim ingin mundur jika melihat kepedihan Reem berbicara tentang Palestina. Namun, dia pikir sudah kepalang basah. lagi pula, saat dia merasakan ada bagian dari diri gadis itu yang ingin dimilikinya.
“Hei, Reem, kapan kita jumpa lagi?”
Reem membalikkan badan sejenak, memberikan isyarat kelingking dan ibu jari ke telinga bahwa mereka akan saling menelepon.
***
“Kakak ke mana aja, sih?”
“Di kampus, hunting bahan.”
“Ke kampus apa pacaran?”
“Ke kampus.”
“Nemuin cewek itu?”
Cewek itu apaan?”
“Cewek Palestina itu.”
“Oh, dia memang salah satu subjek penelitian.”
“Subjek apa subjek. Bilang aja pacaran!”
“Ya, ampun! Alya! Apaan, sih, kamu ... aku, tuh, enggak pacaran!”
“Kalau gitu, ngapain wawancara lama banget?!”
“Dari kemarin-kemarin, aku kalau wawancara subjek-subjek lama, kan? Tempo hari saat aku pergi ke kota lama Fez sampai dua hari buat menemui keluarga- keluarga Palestina yang ada di sana, kamu enggak ribut!” “
Kakak kenapa sewot, sih?”
“Aku enggak sewot!”
“Itu sewot namanya! Suaranya sangar kayak gitu!”
“Aku enggak sewot ... ck, aku cuma capek, Al!”
“Kalau pulang capek! Kalau sama cewek itu enggak capek!”
“Ya, ampun, Alya! Dewasa dikit, kenapa, sih? Kamu itu sedikit-sedikit ngambek. Enggak ditemenin jalan- jalan, ngambek. Enggak diturutin belanja, ngambek. Enggak ditemenin, ngambek, padahal aku bener-bener ngerjain tesis!”
“Oh, jadi Kakak keberatan nemenin aku jalan-jalan? Ya, udah, aku enggak bakal minta ditemenin lagi!”
“Bukan gitu ... aduh, kamu itu, kok, susah diajak ngomong, sih!”
Alya bangkit, membanting majalah dan masuk ke kamar.
Kasim menarik napas. Adik satu-satunya itu memang sedang di ambang batas kematangan. Kadang manja, kadang dewasa. Kadang sangat perhatian, kadang menuntut perhatian. Baru saja dia memutuskan untuk mengalah dan memperbaiki hubungan, Alya membuka pintu. Gadis itu membuka dompet, mengeluarkan isinya.
“Alya kembaliin uang Kakak kemarin yang buat beli sepatu!”
***
Tinggal di perantauan, hubungan kekeluargaan terasa sangat dibutuhkan.
Nyaris seluruh mahasiswa baik strata satu, dua, atau tiga, hidup dalam kesederhanaan. Bila ada yang berlebih uang, itu hanya saat-saat menerima beasiswa atau saat mendapatkan bayaran pekerjaan. Selebihnya, semua serba-seadanya. Persaudaraan terasa mengayakan, sebaliknya, permusuhan seperti menyempitkan. Bila salah satu mahasiswa sakit, yang lainnya akan patungan memberikan santunan. Sering kali, para mahasiswa perantauan hanya dapat memberikan kepingan dua puluh dirham, sepuluh dirham, lima dirham, atau bahkan satu dirham. Menerima bantuan kemanusiaan –tepatnya bantuan rasa kasihan– sangat menakjubkan. Si sakit segera pulih, uang yang terkumpul sebesar dua ratus dirham untuk membeli kurma dan madu.
Hidup seatap dengan orang yang mengobarkan permusuhan, seperti menginjak bara. Kasim serbasalah, sekalipun dia bisa saja bolak-balik hanya di kamarnya sendiri menuju dapur atau ruang tamu mereka yang mungil. Berpapasan dengan Alya di depan kamar mandi atau di depan kulkas sembari saling membuang muka, seperti pertunjukan komedi. Ingin mulai tertawa, tapi gengsi. Baru 2 jam bermusuhan, Kasim sudah tidak tahan.
Dia memencet tombol.
“Kemari, gih!”
“Apaan?”
“Bawain es krim.”
“Perasaan ulang tahunmu sudah lewat. Ulang tahun Alya juga masih jauh.”
“Sudah, belikan aja. Entar kuganti.”
“Lah, kamu, kan, bisa beli sendiri, Sim?”
“Kamu aja yang main kemari. Situasinya lagi butuh hiburan.”
“Oh, aku cowok penghibur, ya?”
“Cepetan!”
“Ya, ampun! Iya! Beneran jadi iparmu, aku lebih kurus dari orang Ethiopia! Kakak adik galak semua!”
Ilham sering kali menyebalkan, tapi dia sahabat yang baik dan menjadi tumpuan banyak orang, termasuk Kasim. Tiga puluh menit sejak telepon Kasim, wajahnya muncul dengan membawa keranjang bawaan.
“Ada KDRT apa ini?” tanyanya.
“Alya ngambek,” keluh Kasim.
“Emang kenapa?” “Dia marah perihal Reem. Padahal, aku enggak ngapa-ngapain!”
“Enggak ngapa-ngapain itu penjelasannya gimana?”
“Yaaa ... aku enggak pacaran seperti yang dituduhkannya. Kami diskusi di taman kampus tadi.”
“Biasanya kamu pulang jam berapa? Antara jam empat jam limaan, kan?”
“Ya. Ini tadi juga harus menghadap Profesor Ahmed sebelum beliau berangkat ke Amerika. Jadi, aku memang agak telat pulang.”
“Kamu enggak telepon Alya? Biasanya kamu rewel SMS, WhatsApp, telepon dia, kan?”
“Iya, sih ...”