.
.
.
"Meja ini bisa lo pakai untuk kerja."
Ini adalah kalimat yang baru saja Refa katakan sejak Adit memasuki butik ini.
Pagi tadi Adit di jemput oleh Ferdi dari kontrakannya menuju butik hingga bertemu dengan Refa. Dari tadi sejak bertemu, Refa hanya diam memandang Adit seolah meminta untuk mengikutinya.
Pandangan Adit mulai berkeliling, memperhatikan tempat kerja barunya. Ada sofa panjang dengan meja di depan meja kerja Adit. Di sisi ruangan juga di pasang white board yang belum bersih dari coretan. Sepertinya habis di pakai brefieng oleh Refa.
Terlalu lama melihat sekeliling ia berdiri. Adit baru sadar memperhatikan benda-benda yang ada di atas meja, yang nantinya akan menjadi meja kerjanya.
Ada laptop, beberapa tumpuk buku, dan telpon. Pandangannya bergerak melihat Refa yang baru saja keluar dari ruangan yang berada tak jauh dari mejanya sedang membawa folder tebal di tangan kirinya.
Kapan Refa masuk ke dalam?
Refa merogoh kantung celana jeans-nya lalu mengeluarkan sesuatu dari sana. "Handphone ini bisa lo pakai. Di dalamnya sudah ada nomor klien dan model yang bisa lo hubungi nanti. Dan juga nomor gue." Adit langsung menerimanya dalam diam.
Brugh!
Refa menaruh kasar folder dipegangnya di meja depan Adit berdiri. "Lo harus mulai ngapalin nama-nama bahan."
Mata adit melihat folder tebal di depannya. Folder itu berisi potongan bahan-bahan yang tersusun rapi sesuai dengan namanya. Refa sendiri yang membuat folder itu saat ia memulai bisnis ini agar mudah mengingat nama-nama bahan.
Adit diam hanya mengangguk setelah mendengar ucapan Refa. Sejujurnya Adit sedang bingung, bingung memikirkan panggilan apa yang mesti ia sematkan ke bos barunya ini.
Refa tidak mau dipanggil bapak, lalu bagaimana dengan om? Sepertinya Refa akan tambah sinis terhadapnya.
Bagaimana jika dengan kak? Atau bang seperti ia memanggil Ferdi? Atau mengikuti Ferdi yang memanggilnya bos?
Okay, nampaknya Adit harus men-skip soal ini, karena ia melihat Refa yang berjalan menjauh darinya.