Reflection of Lavengenia

Eka Vebriana
Chapter #11

(11) Acrophobia

Puluhan tahun lalu di kala semua masih baik-baik saja hanya ada ayah, aku, dan Maria sungguh saat-saat yang kurindukan. Malam setelah pembantaian ternak-ternak gunung, ayah pulang membawa seorang kakak tiri untukku. Dia tersenyum dengan sangat baik di depan ayah, tapi tidak seperti itu dimataku. Aku tahu benar mata penuh dendam dari ternak-ternak gunung itu, mereka sangat sombong dan tidak tahu diri. Jika tidak ada kami para vampir, mereka pasti sudah mati dimakan serigala-serigala itu.

“Luca untuk sementara berbagilah ruangan dengannya.” ucap Malaxis pada Luca kecil yang hanya setinggi anak manusia usia 5 tahun.

Karena ayah sudah mengakuinya kurasa aku harus berbuat sedikit baik terhadapnya. Tepat setelah aku mengunci pintu sosok dirinya yang sebenarnya keluar. Wajah sombong dan seringaian jahatnya itu tidak akan pernah lenyap dari ingatanku, sosok kakak tiri terburuk yang pernah ada.

Lebatnya hujan malam itu serta gelegar halilintar membuatku sadar betapa buruknya sosok kakak tiriku ini. Mungkin inilah alasan ayah menjadikannya vampir. Sumpah serapah, ancaman, dan sikap angkuhnya memenuhi malam-malamku dengannya, meski pada akhirnya kami tidak pernah berbagi temat tidur sama sekali.

Dengan berbagai sikap kejamnya itu tidak mungkin mampu mengalahkanku yang seorang vampir darah murni. Namun, melihatnya yang merebut hati ayah dan Maria dengan cara menjatuhkanku, adalah satu-satunya hal yang tidak bisa kumaafkan, mulutnya hanya berisikan rayuan iblis. Saat itulah kusadar, manusia yang telah jatuh pastilah seorang iblis.

Lalu apa mungkin iblis jatuh cinta?

Luca yang melihat dari balik jendela besar di tempat sang ayah yang masih terbaring, Vincent dan Liliana. Pandangan matanya terfokus pada genggaman tangan keduanya yang berlanjut dengan sebuah pelukan, meski pada akhirnya di tepis oleh Liliana. Luca terus memperhatikan mereka yang terlihat sedang bertengkar. Hingga suara ketukan pintu membuatnya harus beralih sebentar dari jendela. Dan sesaat kemudian keduanya telah hilang dari pandangan Luca. Kemana perginya mereka?

Sementara itu di menara tertinggi kastil, Vincent dalam kedipan mata sudah membawa Lilia ke puncaknya. Namun sekali lagi sungguh tidak disangka dari seorang putri es, Lilia tidak mau membuka matanya bahkan dia memeluk tubuh Vincent dari belakang. Dalam sekejap Vincent sadar pada tingkah aneh Lilia, mungkinkah sang putri kesayangannya ini?

Posisi Liliapun berubah, dengan sigapnya Vincent beralih menggendong Lilia. Tentu saja berkat aksinya itu Lilia terpaksa harus membuka matanya. Belum ada seperdetik Lilia membuka mata dan melihat sekilas pemandangan di bawahnya, tangannya secara refleks merangkul leher Vincent berusaha menguatkan pegangannya agar tidak terjatuh.

“Haha.. tidak kusangka seorang putri es sepertimu juga takut ketinggian rupanya!” ejek Vincent pada Lilia yang menyembunyikan dirinya di dadanya.

“Hei cepat turunkan aku!” ujar Lilia kesal dan memukul Vincent tanpa arah karena masih menutup matanya.

“Lihatlah daratan es yang telah kau ciptakan ini, gunung Valor yang pernah kita daki, kastil tempatmu dibesarkan, bahkan hutan tempatmu bersembunyi. Inilah duniamu Lilia lihatlah baik-baik!” ujar Vincent.

Lihat selengkapnya