Amarah akan ketidakberdayaannya membuat Lancelot ingin gila. Sang putri yang dicintainya kini hampir mati ditelan oleh kekuatannya sendiri.
Maria menggenggam tangan Lancelot.
“Tuan ksatria percayalah pada Vincent, mereka pasti akan kembali dengan selamat.”
Mata Maria tiba-tiba tertuju pada sebuah cermin rusak di dekatnya, cermin yang tidak asing baginya.
“Bukankah ini milik Liliana?”
Lancelot langsung menoleh dan melihat cermin berkah yang Lilia dapatkan dari ratu elf dulu. Cermin itu sudah hancur lebur. Apakah ini artinya sang putri sudah tidak bisa diselamatkan?
Kemudian Ratu Elf dan Alv tiba-tiba saja muncul di hadapan ketiga orang itu.
“Ratu elf mengapa anda disini?” tanya Lancelot.
“Maaf tapi tugasku sudah berakhir, sekarang sudah tidak ada lagi yang bisa kulakukan.”
“Begitu pula denganku, Vincent sudah membulatkan tekadnya kemudian melepasku.”
“A-apa maksudnya?”
Maria bingung mendengar ucapan kedua makhluk mitos di depannya ini.
“Sekarang kita hanya bisa berdoa agar seluruh takdir ini bisa berakhir bahagia.”
Luca melihat Malaxis yang tertidur abadi dengan senyuman lega diwajahnya. Baru kali ini dia melihat ayahnya bisa tertidur setenang ini.
“Vincent tolong selamatkan putri Lilia.”
“Liliana tolong kembalilah dengan selamat.”
“Vincent Liliana akhiri semua ini dengan langit biru.”
Teriakan Lancelot, Maria, dan Luca berurutan keinginan mereka agar Vincent dan Lilia kembali dengan selamat mampu menjangkau keduanya.
Vincent tersenyum mendengar penuh harapan dari mereka bertiga.
“Lilia kau harus segera bangun, atau mereka semua tidak akan bisa tenang.”
Badai es yang diciptakan Lilia mampu membekukan segala disekitarnya. Sisa kekuatan Malaxis bahkan tidak mampu menangkis semuanya.
Tubuh Vincent kembali dipenuhi luka oleh badai yang berisi duri es tersebut.
Perlu waktu cukup lama untuk bisa melihat Lilia di puncaknya.
“Kau bilang kau takut ketinggian, tapi mengapa justru berada di tempat seperti ini.”
“Lilia sadarlah!” Teriak Vincent.
Sementara itu Lilia di alam bawah sadarnya masih bersama dengan Emeralda.
Sebentar lagi saatnya untukku pergi Lilia segeralah bangun, ada seseorang di luar sana yang berusaha mencapaimu.
“Jangan-jangan Vincent?”
“Benar.”
“Tapi bagaimana bisa?
“Malaxis sepertinya sudah menyusulku, dia mengirimkan Vincent sebagai penggantinya.”
“Apa, Si Malaxis melakukan itu? Tidak mungkin.”
Emeralda tertawa dan mengatakan bahwa dirinya sudah melihat semuanya. Bila memang itu yang dikatakan ibunya maka itulah kenyataannya. Lilia harus menerimanya.
“Jadi Vincent masih hidup.”
Ucap Lilia berlinangan air mata, kemudian dia kembali sadar keadaannya saat ini.
“Tapi aku sudah tidak tertolong.”
“Lilia apa kau masih ingat tugas utama yang kau emban sebagai putri es?”
“Melindungi Lavengenia dan membebaskan belenggu es nya. Tapi bagaimana caranya cinta yang tulus? Aku sama sekali tidak mengerti.”
“Bila kau tidak mengerti percayakan semuanya pada Vincent, dia akan membantumu. Bukankah selama ini selalu seperti itu.”
Lilia terdiam dan merona merah di seluruh wajahnya. Dia baru menyadari sesuatu yang memalukan. Pernyataan cinta yang baru Lilia ucapkan beberapa menit yang lalu saat Vincent hampir mati.
“Arghh ini sangat memalukan!”
“Hahaha putriku ini sudah dewasa rupanya.”
‘Ahh’
Tubuh Emeralda mulai memudar perlahan. Ini adalah akhir waktu Emeralda.
“Baiklah sepertinya ini akhirku. Lilia berjanjilah padaku agar tidak membuat keputusan yang akan membuatmu menyesal nantinya.”
Melihat tubuh Emeralda yang semakin memudar Lilia menjawab dengan senyuman percaya diri.
“Percayalah padaku ibu!”
Kemudian Emeralda menghilang bersama butiran cahaya.
“Lilia, Lilia, Lilia bangunlah!”
Ujar Vincent yang menggoyangkan tubuh Lilia agar terbangun dari mimpinya.
“Vincent?”
“Hah ternyata ucapan ibu benar, kau benar benar naik hingga ke atas sini.”
“Tentu saja bodoh, kau ini membuat masalah saja. Lihatlah aku masih tampan yang tetap bernafas, jadi jangan mengamuk lagi.”