Aura ketakutan memenuhi ruang perawatan gadis yang sudah koma selama sebulan. Defibrillator terus saja dokter letakkan dan ditarik dari atas dada gadis yang detak jantungnya telah berhenti. Kepanikan melanda mereka saat monitor menunjukkan garis lurus.
Dokter itu menghentikan perjuangannya. Sudah tak ada lagi yang perlu diperjuangkan tentang kehidupan gadis itu. Ia melepaskan maskernya dan ingin keluar untuk memberitahu keluarga pasien.
“Dok, detak jantungnya kembali!”
Ucapan seorang suster menghentikan langkahnya, ia membalikkan tubuhnya dan melihat monitor yang kembali dalam bentuk gelombang. Ia terdiam beberapa saat sebelum menghembuskan napas lega. Menutup kembali mulut dan hidungnya dengan masker lalu memeriksa keadaan gadis itu.
Mata gadis itu yang tiba-tiba terbuka membuat seluruh manusia dalam ruangan itu terkejut. Gadis itu bahkan dengan santai mendudukkan tubuhnya dan bersandar di kepala ranjang. Menatap ke sekeliling, mencari tau di mana ia berada saat ini.
“Aku masih hidup?” Pertanyaan itu keluar yang pertama kali keluar dari bibir pucatnya. Menatap satu-persatu mereka yang menatapnya penuh tanya. “Mengapa kalian menyelamatkanku?” tanyanya lagi.
Mereka terdiam sembari berusaha menelan saliva masing-masing. Terlalu terkejut dengan apa yang mereka lihat saat ini. Suatu hal yang pertama kali mereka lihat dan sukses membuat aliran darah mereka seakan terhenti.
“Di mana putraku?” tanya gadis itu sembari mencabut infus dari tangannya. Ia melihat tangan kanannya yang tidak ada bekas goresan sama sekali. “Ke mana goresan itu?” batinnya.
“Sebaiknya Anda tenang dulu! Kondisi Anda masih sangat lemah!” Seorang suster akhirnya tersadar dan menggapai tubuh gadis itu. Membantunya untuk kembali berbaring di ranjang.
“Di mana putraku?” Gadis itu kembali menanyakan hal yang sama.
“Zefa, kamu sudah sadar?!” tanya pria yang baru saja masuk setelah dipanggil oleh suster. Ia berdiri di samping ranjang Zefa yang masih melihat sekeliling.
“Kamu siapa? Siapa Zefa?” tanya gadis yang dipanggil Zefa oleh pria itu.
“Aku Ezra, Zefa! Kamu adalah Zefa!” Ezra mengamit tangan Zefa dan menatap gadis yang telah ia tunggu kesadaran sejak sebulan yang lalu.
“Aku bukan Zefa! Aku Divya! Kenapa aku ada di sini? Di mana putraku?!” Divya sepenuhnya sadar sekarang dan menarik tangannya dari genggaman pria asing itu. Ia melihat satu-persatu orang-orang di hadapannya dengan wajah ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. Siaran berita yang sering ia lihat terlintas di kepalanya. Praktik perdagangan manusia terlintas di pikirannya. Bagaimana jika mereka adalah salah satu dari oknum itu dan ingin menjual organ dalamnya.
“Aku mohon lepaskan aku! Aku masih mempunyai seorang anak yang harus kujaga!” Divya menyatukan kedua tangannya yang bergetar sembari menatap pria muda di hadapannya.
Ezra mengernyit, ia tidak mengerti apa pun yang gadis itu katakan. “Zefa, tolong tenanglah! Ini aku, Ezra, tunanganmu!” Ia memegang kedua tangan Zefa yang masih menyatu.
Divya menggelengkan kepalanya. “Aku bukan Zefa ….” Tenaganya menghilang saat suster menyuntikkan cairan penenang ke dalam tubuhnya. Membaringkan tubuhnya di ranjang dan kembali memasang infus yang sempat gadis itu lepaskan.
“Dok, apa yang terjadi padanya?” tanya Ezra, merasa sangat khawatir dengan keadaan kekasihnya.
“Kami telah memeriksa tapi tidak ada hal yang mengkhawatirkan terjadi di kepalanya. Namun, bisa saja trauma akibat kecelakaan itu membuatnya mengalami amnesia,” ujarnya walau merasa ragu dengan jawabannya sendiri, pasalnya gadis itu terus mengatakan hal aneh sejak ia sadar.