Bola mata itu bergerak panik di balik kelopaknya. Terbuka seiring napasnya yang tak beraturan. Kembali memejamkan matanya, bersiap tersenyum karena ia yakin jika semua ini adalah mimpi. Usahanya untuk bunuh diri pun mimpi.
Divya membuka matanya perlahan. Senyum yang tadinya terukir pun memudar menyadari jika harapannya pupus. Kejadian tak masuk akal yang sedang ia alami ini nyata. Bahkan sekarang ia berada di dalam kamar yang bukan kamarnya. Kamar yang begitu indah dan dipenuhi dengan senyuman. Apa ia bisa mengembalikan senyuman gadis yang raganya saat ini berada di genggamannya?
Ia melihat kalender, ingin tau sudah berapa lama ia meninggalkan rumahnya. Lelucon kali ini benar-benar membuatnya tertawa hingga air matanya keluar. Ia yakin jika ini semua hanya halusinasinya atau mungkin mimpinya yang saat ini sedang koma di rumah sakit karena percobaan bunuh diri.
“Kamu sudah bangun?”
Ia membalikkan tubuhnya. Melihat pria yang telah ia ketahui namanya itu dengan nampan di tangannya. “Ini tahun berapa?” tanyanya berharap jika kalender di sampingnya hanya dicetak lebih cepat.
“2020, sayang.” Ezra meletakkan napan di atas nakas. “Aku buatin bubur, kamu makan ya!” Ia mengarahkan sendok ke mulut Zefa sembari memperagakan agar kekasihnya itu membuka mulutnya.
Pertahanan Divya runtuh, ia terus memutar otaknya, berpikir bagaimana bisa ia sampai di sini. Apa benar ia sudah koma selama lima tahun dan terjaga di tubuh orang lain. Tubuh yang ia rasa adalah miliki saudari tirinya.
Ia menurut, menerima suapan Ezra karena memang ia sangat lapar untuk menolak. Matanya tidak lepas dari pandangan menatap Ezra. Kebaikan pria muda di hadapannya ini mengingatkannya akan Arez. Cinta pertama dan juga cinta terakhir yang ia miliki. Bening-bening mulai berkumpul di matanya. Mengenang masa lalu membuat hatinya bergetar dan sangat ingin menumpahkan isaknya.
“Kamu kenapa menangis?” tanya Ezra sembari meletakkan mangkok di atas nampan. Ia mengusap pelan air mata Zefa yang mengalir perlahan. Air mata itu ikut membuatnya sedih.
Divya menggelengkan kepalanya. Ia tidak mungkin menceritakan hal konyol yang ia saja belum sepenuhnya percaya. Ia masih berharap jika nanti ia akan terbangun dari mimpi buruk ini. Kisah hidupnya saja sudah susah dan ia tidak ingin terlibat dalam kisah hidup orang lain.
“Kamu kenapa? Kalau ada apa-apa tanya aja sama aku!” Ezra kembali mengambil mangkuk berisi bubur itu. Menyuapi Zefa seperti sebelumnya.
Lagi-lagi Divya menggelengkan kepalanya. Ia tidak bisa mengatakan jika ia adalah orang lain sedangkan tubuhnya adalah tubuh gadis yang pria itu cintai. Ia tidak ingin menyakiti pria baik itu. “Bisakah aku memakannya sendiri?” tanyanya merasa tidak nyaman. Mungkin jika Zefa yang sebenarnya yang berada di sini, ia pasti sangat senang mempunyai pria yang sangat perhatian seperti Ezra tapi sekarang, ialah yang merasakan kebaikan itu dan ia merasa itu tidak pantas didapatkannya. Bagaimana jika roh Zefa mengintainya dan menatap cemburu padanya dan Ezra?
“Tapi kamu masih lemah, sayang.” Ezra berkata dengan lembut dan memberikan Zefa air mineral.
Senyuman kaku Divya lontarkan pada pria itu. Tidak tega padanya yang harus kehilangan gadis yang dicintainya sedini ini. Bagaimanapun, ia tetap harus berpura-pura menjadi gadis ini yang sebenarnya. Ia tidak bisa lagi menyebutkan namanya jika tidak ingin dianggap gila. “Terima kasih!” ujarnya tulus. Kalaupun ini bukan mimpi, ia juga tidak akan mengacaukan kehidupan gadis ini.
“Tidak perlu berterima kasih, sayang! Tidak ada maaf dan terima kasih dalam cinta!” Ezra meletakkan mangkuk dan gelas kosong di atas nampan. “Aku ke dapur dulu ya!” pamitnya sembari mengacak lembut rambut Zeva.
Divya mengangguk sembari tersenyum selebar senyuman Ezra. Ia dengan cepat bangkit dari tempat tidur setelah pintu kamarnya tertutup. Mencari buku diary Zefa yang mungkin bisa membantunya menjalani kehidupan baru ini.
Menemukan yang ia cari juga bukanlah hal sulit karena kamar ini tertata sangat rapi. Buku-buku diletakkan sesuai dengan kategorinya. Ia membaca lembaran demi lembaran yang terkadang membuatnya mengernyit karena terlalu banyak kesamaan antara dirinya dan gadis ini. Bahkan ulang tahun mereka juga sama. Apa mungkin dugaannya jika mereka adalah saudari tiri itu benar.
Membaca itu semua kembali mengingatkannya akan perpisahan dengan mamanya 21 tahun yang lalu. Saat wanita muda itu meninggalkannya dengan papanya dengan begitu kejam. Tanpa jejak selain fotonya dan surat cerai. Kini, ia kembali muncul di hadapannya sebagai mama orang lain. Menyayangi anak barunya dengan pria lain hingga melupakan sosoknya yang pernah ada.
Merenung, pikirannya mengembara pada putranya yang berarti sudah lima tahun ia tinggalkan. Bagaimana kehidupan putranya tanpa dirinya? Apa ia dirawat dengan baik oleh papanya? Apa pikiran kacaunya sebelum bunuh diri tercapai? Apa Arez saat ini di pencara? Terlalu banyak pertanyaan yang mengelilingi pikirannya.
Ia meletakkan diary itu. Menjelajahi rak buku yang dipenuhi dengan buku pelajaran dan beberapa novel. Sepertinya tubuh yang ia rasuki ini termasuk gadis yang sangat rajin.
Tangannya tertarik pada sebuah kartu pelajar yang tergantung di samping rak buku. Bola mata hitamnya seketika membesar karena apa yang tertera di sana. Gadis itu akan menjadi mahasiswi dari mata pelajaran yang tidak ia sukai.
Pikirannya berkeliaran, membayangkan bagaimana ia akan menjalani kehidupannya di dalam jurusan itu nanti. Ia berlari menuju nakas, melihat kalender yang menunjukkan akhir bulan Juli, sebentar lagi perkuliahan akan dimulai. Apa yang harus ia lakukan dengan kartu pelajar ini?
Ia keluar dari kamarnya, menuruni tangga untuk mencari Ezra. “Ezra!!” panggilnya.
“Ada yang perlu saya bantu, Non?” tanya seorang wanita paruh baya sopan.
“Ezra di mana?” tanya Divya sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling penjuru rumah. Rumah ini terlalu besar untuk dikatakan sebagai rumah. Perabotannya juga terlihat sangat baru. Ia ingat jelas, jika dia sangat ingin membeli perabotan-perabotan ini yang dulunya hanya ada di Negara yang sudah maju. Sekarang dalam wujud lain, ia sudah melihat ini semua ada di depan matanya.
“Den Ezra sedang ke super market, Non. Katanya kalau Non ada keperluar boleh minta ke Bibi.”
Divya menatap wanita paruh baya yang ia duga sebagai PRT di sini. “Tidak apa, Bu! Gak mendesak, kok! Nanti kalau Ezra datang, tolong bilang kalau saya cari ya, Bu!” pintanya sopan sembari tersenyum.
“Iya, Non!” Pembantu itu menatap heran pada Zefa namun tidak berniat bertanya. Menyadari jika itu tidak akan sopan baginya.
“Zefa, ada apa?”
Gadis yang ingin menaiki tangga itu membalikkan tubuhnya. Bukan karena merasa namanya dipanggil, tapi karena menyadari jika itu adalah suara dari pria yang ia cari. Ia melemparkan senyumannya dan mengisyaratkan Ezra untuk mengikuti langkahnya.
“Kenapa, sayang?” tanya Ezra begitu mereka sampai di ruang santai lantai dua. Ia duduk di samping Zefa yang terlihat panik.
“Aku jurusan Fisika?” tanya Divya sembari menunjukkan kartu mahasiswanya. Tak bisa menyembunyikan wajah khawatirnya. Ia ingat jelas saat kelas satu SMA berapa kali ia harus mengikuti remedial mata pelajaran itu.
“Iya!” Ezra mengangguk dengan semangat. Ia tau betapa Zefa sangat menyukai mata pelajaran itu ketika SMA. Bagaimana Zefa meloncat-loncat kegirangan ketika mendapatkan beasiswa di jurusan itu. Gadis itu sangat senang hingga bertekad untuk mendapatkan nomor induk mahasiswa yang pertama di jurusan itu. Mereka datang pendaftaran ulang bahkan saat kantor itu belum dibuka.
“Apa bisa aku ganti jurusan?” tanya Divya yang menghentikan senyuman di wajah Ezra.