Bau apek dari keringat-keringat basah bercampur baur dengan polusi dari kendaraan memenuhi ruang pengap dari bus yang kini dipenuhi orang-orang yang baru saja pulang kerja. Terik matahari pun tak bisa dihalangi oleh atas bus hingga panasnya semakin meluap.
Seorang pria masuk ke dalam bus setelah semua penumpang masuk. Melepaskan topi dan maskernya, mulai melakukan tugasnya dengan menagih uang pada setiap penumpang. “Mas, bisa tempat duduknya diberikan pada Ibu ini?” tanyanya sopan saat melihat wanita tua berdia sempoyongan di antara desak. Tubuhnya yang tak kuat lagi membuatnya tidak tega.
Pria yang ia tanyai meliriknya tajam lalu melirik wanitu tua itu tanpa tatapan kasihan. “Kalau mau tempat duduk ya datang lebih cepat dong!” ujarnya sengit, tak berniat membantu.
“Maaf, Mas!” Kernet itu menjawab dengan sopan lalu mencari menumpang lain yang bersedia memberikan kursinya pada ibu tua itu yang terlihat melemah.
Seorang pria tampan berdiri dari duduknya. Mempersilahkan wanita tua itu untuk duduk. Ia lalu tersenyum sopan pada kernet yang terlihat kewalahan melihat penumpang hari ini yang begitu padat. “Boleh saya bantu, Mas?” tanyanya.
Kernet itu menatapnya ragu, merasa tidak enak. “Tidak usah, Mas!” ujarnya. Ia meminta penumpang pria itu untuk tetap berdiri. Biarlah hanya dia yang mengerjakan tugasnya dengan baik. Ia melakukan semua ini sembari membayangkan kehidupannya sebelum lima tahun lalu. Saat itu, semuanya baik-baik saja. Kehidupannya sangat teratur hingga sebuah karma menimpanya. Ia yang saat ini menjadi borunan polisi, bagaimana bisa melamar sebuah pekerjaan yang membutuhkan KTP.
Ia menghembuskan napasnya pelan setelah mengutip uang dari para penumpang. Berdiri di samping pintu keluar sembari memandang kehidupan setiap orang yang berbeda-beda. Begitu juga dengan kehidupannya yang kini begitu pasang surut.
*****
Perutnya yang berbunyi membuat Divya berhenti dalam membaca buku-buku catatan fisika dan matematika milik Zefa. Sejak mengetahui tentang jurusan yang gadis ini ambil, ia tiba-tiba menjadi takut. Ia takut jika kebodohannya menggagalkan impian Zefa menjadi ilmuan.
Ia mengelus perutnya tanpa berani keluar. Ini bukan rumahnya, ia tidak bisa seenaknya. Pandangannya beralih pada jam dinding yang membuatnya mendegus, ini belum jam makan malam.
“Hai! Merindukanku?” Ezra menyelonong masuk tanpa mengetuk pintu. Sepertinya, keberadaan pria itu di rumah ini memang tidak dipermasalahkan, ia bisa bebas keluar masuk kapan pun ia mau. “Turun, yuk!” ajaknya setelah menggapai tangan Zefa.
“Mau ke mana?” tanya Divya yang enggan menuruti Ezra.
“Makan malam, Sayang. Emang kamu gak lapar?” tanya Ezra sembari menarik-narik tangan Zefa.
“Sudah sedekat itu? Bahkan pria ini baru saja meninggalkannya beberapa menit yang lalu!” batin Divya. Ia bahkan tidak bisa menyembunyikan wajah penasarannya akan sedekat apa hubungan Zefa dengan pria muda di hadapannya. Masuk ke kamarnya saja tidak mengetuk pintu. Bagaimana jika gadis itu sedang memakai pakaian yang kurang bahan dan lupa mengunci pintu?
Divya menggelengkan kepalanya tanpa sadar. Ia tidak boleh berpikir yang aneh-aneh tentang hubungan mereka. Jika mereka melakukan lebih pun, bukannya ia dan Arez dulu juga sering lupa batasan pria dan wanita? Tapi tunggu, masalahnya sekarang, ialah yang terjebak dalam tubuh ini.
“Kamu ngelamunin apa, Sayang?” tanya Ezra sembari menggoyangkan bahu Zefa pelan.