Reflection

Dita Sofyani
Chapter #1

Clouds in the Morning

Salatiga, 2006

Aku melihat Papa yang terbaring sakit dan tengah tidur. Dua jam yang lalu perawat memberi Papa suntikan melalui selang infus, sehingga membuat Papa tertidur. Selama hampir satu minggu di rumah sakit, Papa sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Biasanya Papa hanya memejamkan mata satu atau dua jam lalu terbangun dan menonton televisi. Kalau aku masih terjaga, Papa akan menanyakan kabar adik-adikku dan mengobrol denganku.

Adik-adikku tidak bisa mengunjungi Papa setiap hari di rumah sakit, karena minggu ini mereka sedang mengikuti tes kenaikan kelas. Teresa, adikku yang paling tua, mengawasi Wisnu dan Juna untuk belajar. Sedangkan mama untuk sementara ini harus menggantikan tugas Papa. Mengusahakan hidup kami dengan mengurus kios kecil di pasar.

Aku baru saja lulus dari SMA. Minggu lalu, aku mengikuti tes penerimaan mahasiswa baru di sebuah Universitas negeri. Aku berharap bisa lolos tes ini dan diterima di Fakultas Kedokteran yang kupilih. Dengan lolos tes ini, aku bisa mendapat beasiswa. Program beasiswa yang kuikuti mempunyai serangkaian seleksi yang ketat. Dan seleksi terakhir mengharuskan peserta lolos dalam tes nasional masuk universitas negeri. Beasiswa ini adalah harapanku agar bisa kuliah dan menjadi dokter seperti yang kucita-citakan sejak kecil.

Papa memanggil namaku perlahan, membuyarkan lamunanku. Aku mendekat kepada Papa. Ternyata Papa ingin minum. Segera aku mengambil minum untuk Papa. Sama sekali aku tidak mengeluh dengan keadaan ini. Karena aku tahu bahwa ini adalah proses yang yang harus kujalani. Aku juga menganggap kalau ini latihan yang bagus untukku, sebelum aku benar-benar menjadi dokter.

“Sudah makan, Tha?” tanya Papa.

“Udah Pa. Tadi aku beli makan siang di depan rumah sakit. Papa bisa tidur?” Papa hanya mengangguk. Lalu memintaku untuk meninggikan tempat tidurnya.

Papa ingin menonton TV. Aku memilih saluran yang bagus untuk ditonton, karena sekarang ini banyak tayangan TV yang sangat tidak mendidik untuk dilihat, terutama untuk anak-anak. Biasanya Papa suka menonton berita atau acara TV yang menunjukkan keindahan alam, budaya atau kehidupan nyata dari sebuah masyarakat.

Tiba-tiba saja Papa menangis. Air mata meleleh dan turun dari pipinya. Aku menjadi bingung tidak tahu harus berbuat apa. Jadi aku mengelus pundak Papa dan bertanya apa yang terjadi.

“Papa tahu kalau Papa bersyukur memiliki kamu. Kamu anak yang berbakti dan sama sekali nggak pernah menyusahkan Papa. Kamu selalu berusaha untuk sekolahmu dan mempunyai cita-cita yang besar. Papa yang belum bisa membuatmu bahagia, nak.”

Aku tidak tahu hal apa yang membuat Papa berpikir seperti itu. Karena aku berpikir bahwa sudah seharusnya kita sebagai anak menghormati orang tua. Papa tidak pernah banyak berbicara. Dalam ingatan masa kecilku, Papa adalah sosok yang gesit dalam bertindak. Tidak banyak kata yang Papa ucapkan untuk menasehati anak-anaknya, tetapi Papa selalu memberi contoh yang baik.

Aku ingat pernah memecahkan sebuah bohlam lampu 200 watt yang mahal. Sepanjang hari itu, aku dipenuhi dengan rasa takut dan bayang-bayang hukuman yang akan kuterima. Ketika Papa mengetahui hal itu, dia hanya terdiam dan menghela nafas panjang. Tidak ada kata-kata yang terucap, tidak ada hukuman. Hanya wajah yang sangat kecewa yang bisa kulihat. Tetapi wajah kecewa Papa menghajarku lebih keras. Aku sadar bahwa bukan hukuman atau kata-kata kasar yang mengajariku, tetapi rasa sedih karena membuat Papa kecewa.

“Kok Papa berpikir begitu?,” aku memegang tangan Papa, “aku mengasihi Papa.”

Ada wajah sedih tersirat dalam ekspresi Papa. Ia tampak merenung memikirkan sesuatu. Sampai akhirnya ia berkata, “Papa ingin jujur kepadamu, karena kamu bukan anak kecil lagi,” aku menggeser tempat dudukku agar bisa melihat Papa dengan jelas, “dulu Papa dan Mama pernah berusaha untuk menggugurkanmu.”

Sampai disitu air mata Papa terus mengalir. Belum pernah aku melihat sosok yang selama ini tegar terlihat lemah dan rapuh seperti sekarang. Pada saat yang sama aku tidak merasakan apapun. Aku hanya merasa bahwa Papa sangat menyesal dengan apa yang diperbuatnya dulu.

Sewaktu aku kecil, Mama bekerja sebagai karyawan pabrik. Papa masih tertatih untuk membangun sebuah usaha. Sehingga aku dititipkan kepada tante Atik yang masih muda. Dia termasuk orang yang sabar dan tidak mudah lelah menjagaku yang sangat aktif. Bahkan dia menganggap aku sebagai temannya. Dia selalu menemaniku dan Teresa bermain. Ketika aku mulai bersekolah, Nenek mengambil alih tugas ini karena Tante Atik menikah. Namun hubungan kami masih berlanjut. Kami saling mengirim surat dan bermain bersama ketika Tante Atik pulang pada waktu Natal.

Sampai suatu kali Tante Atik mengajakku jalan-jalan dan dia memberitahuku tentang kedua orang tuaku. Mama seorang siswa SMA ketika dia hamil. Sedangkan keluarga Papa sama sekali tidak setuju dengan hubungan ini. Sehingga mereka berencana untuk menggugurkan kandungan mama. Tetapi semua usaha mereka gagal. Aku tetap saja tumbuh dan membuat perut mama semakin besar. Pada waktu itu aku sama sekali tidak mengerti arti cerita itu. Usiaku sembilan tahun ketika aku mendengarnya. Tetapi sekarang aku benar-benar merasakan bagaimana hal ini menjadi sebuah aib keluarga. Kepingan cerita yang kudengar dulu telah menjadi utuh sekarang.

“Pa....” hanya itu yang bisa terucap, “nggak ada yang salah kok dengan hal itu. Karena sudah berlalu dan sekarang aku masih ada. Aku yang seharusnya bersyukur karena Tuhan memberiku kesempatan untuk menikmati hidup ini.” Tidak terasa aku menangis terharu. Entah rasa syukur atau merasa senang karena Papa mau terbuka. Aku merasakan tangan Papa menggenggamku erat.

Cerita Papa sama sekali tidak mengagetkanku. Itu hanya sebuah potongan cerita yang kurangkai kembali dari ingatan masa kecil. Buat apa aku marah kalau aku melihat sendiri orang tuaku sangat mengasihiku. Aku hanya merasa sedih karena aku mempunyai cerita yang memalukan di dalam hidupku.

“Sudah Pa, nggak perlu dipikirkan lagi ya,” aku berusaha menghibur Papa.

“Etha, kamu sangat berharga. Tuhan punya rencana yang indah dalam hidupmu,” kata Papa ketika dia mulai tenang, “jangan malu dengan masa lalumu, karena kamu nggak hidup di masa lalu. Ketika kamu merasa sedih atau tidak percaya diri, pandanglah dirimu melalui cermin dan lihat betapa indahnya orang yang Tuhan ciptakan.” Aku mengangguk dan tersenyum.

Pintu kamar terbuka tiba-tiba dan suara perawat mengagetkan kami. “Minum obat ya Pak. Ini sebelum makan dan ini sesudah makan,” dia memberikan dua plastik kecil yang berisi obat-obat untuk Papa. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum dia meninggalkan ruangan.

***

         “Kangen......” teman-temanku memelukku satu persatu. Aku senang melihat mereka ada di rumah sakit, karena aku memang belum bisa pergi kemanapun.

         “Aku juga. Lama sekali nggak ketemu kalian,” aku balas memeluk mereka lebih erat. Teman-temanku yang unik. Mereka adalah orang-orang yang membuat masa sekolahku benar-benar menyenangkan. Susah senang dirasakan bersama. Kemana-mana bersama, mengikuti lomba karya ilmiah juga bersama, menjadi panitia retreat sekolah bersama. Kami menyebut diri kami ambigu. Kumpulan dari anak-anak yang bermacam-macam tingkah, kelebihan dan hobinya.

         Biasanya kami tidak langsung pulang setelah pulang sekolah. Tetapi kami berkumpul untuk mengerjakan proyek karya ilmiah, belajar, bermain kartu atau monopoli, memanjat pohon jambu yang ada di sekolah serta menyanyi bersama. Karyawan di sekolah mengenal kami, satpam di sekolah sudah tidak heran melihat tingkah kami dan guru-guru sudah mengetahui kalau kami ini adalah anak-anak yang ambigu, tetapi bisa diandalkan. Bagaimana tidak, diantara kami ada yang mengikuti olimpiade biologi, komputer, kimia dan sebagian besar mengikuti karya ilmiah remaja. Bahkan ada juga yang menjadi juara kelas. Aku benar-benar akan merindukan mereka dan segala sesuatu yang kami lakukan.

“Papamu apa kabar, Tha?” tanya Putri simpati.

Lihat selengkapnya