“Etha bangun. Ada Andika di ruang tamu,” Mama mengguncang-guncang bahuku. Aku menggeliat dan mengucek mataku. Jam 6 sore, batinku ketika melihat jam dinding di kamarku.
“Teresa mana, ma?”
“Belajar kelompok. Sebentar lagi pulang kok.” Dengan malas aku beranjak keluar kamar dan melihat Andika duduk di ruang tamu.
“Ya?” aku duduk di hadapan Andika.
“Hei....buka mata, mbak!” dia menjitak kepalaku sehingga membuatku duduk tegak dan membuka mata.
“Ya siap laksanakan tugas, komandan!” aku meletakkan tanganku di dahi, persis seperti orang yang memberi hormat.
“Ayo berangkat ibadah pemuda. Kami sudah kangen kamu, lho. Sudah dua minggu kamu nggak datang, kan?”
Spontan ekspresi wajahku berubah kaget dan bingung dalam waktu bersamaan. Aku tidak sadar bahwa ini adalah hari Sabtu. Sejujurnya, ada sedikit rasa enggan untuk datang beribadah ketika hati sedang kacau. Apalagi aku tidak mau bernegosiasi dengan istilah ‘berserah dan percaya saja kepada Tuhan.’ Dalam hal ini, aku belum bisa memahami kegagalanku.
“Aku....aku....mau istirahat dulu, Ka. Capek sekali.” Ia memandangiku tanpa mengedipkan mata. Aku tahu kalau ia tidak sepenuhnya percaya kepadaku. Ia adalah temanku sejak sekolah minggu. Pada awalnya kami tidak terlalu akrab, tapi sekarang kami adalah partner pelayanan yang kompak di gereja. Kami sudah saling mengenal.
“Yakin?” ia masih menatapku dengan pandangan yang menanti jawaban.
Aku kembali menatapnya, tetapi aku segera menundukkan kepalaku dan berusaha menahan air mataku. “Untuk kali ini saja.....iya. Aku mau istirahat,” aku menggigit bibirku karena air mata telah mengalir ke pipiku.
“Tha,” aku melihat ekspresi bingung terpancar dari wajah Andika. “Papa nggak apa-apa, kan?” Aku mengangguk dan menghapus air mataku. “Aku bisa disini kalau kamu butuh teman?”
Aku menggeleng kuat-kuat, “terima kasih, Ka. Aku hanya mau istirahat kok.”
Andika mengerutkan kening dan menunjukkan rasa simpati dengan keadaanku. Lalu ia menyentuh lenganku, “kapanpun kamu mau, kamu bisa cerita ke aku, Tha.” Aku mengangguk dan tersenyum lemah kepadanya.
“Terima kasih. Aku sangat menghargainya.” Lalu aku melihat punggung itu berbalik dan meninggalkan pintu depan. Juga meninggalkanku yang menangis tergugu.