Aku duduk bersandar pada tangki air di halaman belakang sambil menikmati langit malam. Ada banyak bintang-bintang yang bisa kulihat karena cuaca yang cerah. Bahkan aku bisa melihat lampu-lampu kota yang di bawah tanpa ada kabut yang menutupi.
Rumahku terletak agak tinggi dari rumah tetangga. Seperti di ujung kampung, pada tanjakan jalan. Tanah di daerah ini sedikit murah karena terletak agak tinggi dan sulit air. Sehingga orang tuaku membelinya dan membuat menara air serta meletakkan tangki air di atasnya.
Menara air ini menjadi tempat favoritku. Aku senang naik ke atasnya dan duduk-duduk untuk melihat bintang-bintang atau lampu kota. Kadang-kadang aku membawa buku dan senter, sehingga aku bisa membaca sambil melihat cahaya-cahaya kecil itu.
Tetapi kali ini aku membawa semua beban dalam hati. Kata-kata Andika terus terngiang di kepalaku. Aku telah menjadi anak sulung yang sombong. Merasa sudah melakukan segala hal untuk Ayahnya, dia mulai menuntut dan iri. Aku iri dengan teman-temanku yang bisa dengan mudah lolos tes. Kalaupun tidak lolos tes, orang tua mereka masih sanggup untuk membiayai.
Aku sudah melakukan banyak hal untuk pelayanan. Bahkan sejak kelas satu SMA aku sudah mulai mengajar sekolah minggu. Namun Tuhan tidak memberikan hal yang sangat kuinginkan. Aku sadar kalau aku mulai menuntut dan marah. Memang Tuhan itu peduli dan mempunyai rencana yang indah di dalam hidupku. Tetapi ternyata lebih mudah mengucapkan hal tersebut kepada orang lain daripada kepada diriku sendiri.
Aku menghela nafas panjang. Di saat seperti ini aku senang melihat bintang-bintang atau lampu-lampu kota. Cahaya mereka yang berkedip membuatku tidak pernah puas untuk memandangi mereka. Di tengah-tengah kegelapan, cahaya mereka menjadi penanda bahwa kita masih bisa melihat titik-titik yang berkedip.
“Kak?”
“Teresa? Kok belum tidur?”
“Iya kak. Tadi sih udah tidur. Tapi pas lihat kamu nggak ada, aku langsung tahu kalau kamu disini.”
Aku tertawa pelan, “Kak, aku bisa bantu apa biar kamu nggak sedih?”
Aku menoleh kepada Teresa. Dengan takut-takut dia mengucapkan itu, tapi aku tahu kalau dia tulus mengucapkannya. Lalu aku memeluknya, “aku sudah senang kamu mau tidur denganku meskipun kakiku nggak bisa diam kalau tidur.” Kami pun tertawa bersama.
. Sejenak aku merasa terhibur dengan kehadiran Teresa, temanku sejak usiaku satu setengah tahun. Sampai sekarang kami selalu berbagi kamar. Tidak jarang kami bertengkar karena hal-hal yang sepele seperti pakaian yang tidak dirapikan, buku yang berantakan dan kamar kotor. Jarak usia kami memang tidak terlalu jauh, bahkan kami terlihat seperti anak kembar. Tapi karakter kami sangat berbeda.
“Aku kecewa karena nggak lolos tes ini. Artinya kan aku nggak dapat beasiswa, Sa. Padahal aku berharap bisa lanjut.”
“Tapi kan memang fakultas kedokteran mahal, Kak. Mungkin kamu bisa lanjut, tapi harus mengubah haluan.”
Aku menggeleng pelan, “tapi aku mau jadi dokter.”
“Aku nggak tau sih apa yang kamu pikirkan, Kak. Tapi kita kan harus melihat kenyataan juga. Masa kamu mau terus memaksakan kehendak. Memang sih kalau kita beriman pasti ada hal-hal yang nggak terduga yang terjadi. Tetapi nggak mungkin kita menunggu hal seperti itu terjadi tanpa melakukan apa-apa.”
Aku menangis mendengar perkataannya, karena aku memang terdengar gila dan memaksakan kehendakku. “Lebih baik kamu membuat rencana baru dan mendoakannya, Kak.”
“Iya benar. Tapi aku lagi nggak mau ngapa-ngapain sekarang.”