Reflection

Dita Sofyani
Chapter #4

Take Another Step

Hari-hari berlalu dengan muram dan lambat bagi keluargaku. Aku sendiri melihat seperti ada kaca yang membatasi kami. Memang kami bertemu setiap hari dan mengobrol, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di hati kami. Hanya Juna yang masih kelihatan ceria. Dia belum mengerti benar, dia hanya tahu kalau Papa pasti kembali lagi. Kalau tidak ada yang penting, kami lebih memilih berkutat dengan pikiran masing-masing. Aku tahu kalau ini proses yang harus dilewati, dimana kami harus membiasakan diri tanpa kehadiran seseorang yang biasanya selalu ada di tengah kami.

Aku masih tetap tinggal di rumah dan membantu pekerjaan rumah, seperti membersihkan rumah, memasak dan mencuci. Kadang-kadang Andika datang untuk mengobrol denganku atau menonton film bersama. Sehingga bisa membuatku sedikit terhibur dari rasa bosan dan sedih.

“Apa rencanamu setelah ini?” tanyanya suatu malam. Kami duduk dan menikmati pemandangan di menara air.

Aku melihatnya sekilas dan kembali melihat lurus ke bawah, “belum tahu,” jawabku singkat.

“Kok belum tahu?”

“Bingung mau ngapain.”

“Kenapa?”

“Kalau melakukan sesuatu pasti juga gagal lagi.”

“Belum mencoba kok udah bilang gagal.”

“Lebih baik berjaga-jaga daripada kecewa.”

Hening. Kami hanya diam dan melihat lampu kota.

“Boleh kok kita bersedih, tapi kesedihan itu nggak boleh menghambat kita,” katanya tiba-tiba, “hari besok pasti lebih baik dari hari ini.”

“Aku hanya ingin melayani, Ka. Aku pikir dengan profesiku nanti, aku bisa melayani Tuhan dan menginjili.”

“Ingat cerita Papa kan? Tuhan itu pasti sudah mempunyai rencana yang indah untukmu.”

Tuhan punya rencana yang indah dalam hidupmu. Ketika kau merasa sedih, pandanglah dirimu melalui cermin dan lihat betapa indahnya orang yang Tuhan ciptakan.

Setiap kali aku melakukannya aku selalu merasa kecewa dengan diriku. Mengapa aku belum bisa menjadi sesuatu yang berarti? Kalaupun aku bisa meraih cita-ciaku, Papa tidak akan pernah bisa melihatku berhasil meraihnya.

“Ah adik kelas nggak boleh menasehati kakak kelas,” kataku untuk memecah keheningan.

“Adik kelas yang lebih tua kakak kelas boleh menasehati.” Kami tertawa.

“Kak Monic menawari aku untuk bekerja dengannya.”

“Monic yang ketua oikumene pemuda itu?” aku mengangguk. “Bagus dong. Kan kamu bisa belajar bekerja dulu.”

“Belum tahu pekerjaan apa kok sudah bilang bagus sih, kalau aku disuruh jadi tukang pukul gimana?”

Andika tertawa, “ada-ada saja. Mana mungkin ada tukang pukul sekecil dirimu.”

“Ah jadi malas cerita kalau githu,” aku pura-pura cemberut.

“Iya, iya. Memangnya kerja apa?”

“Jadi admin di bimbingan belajar. Katanya dia dipercaya untuk mengelola bimbingan belajar.”

“Oh ya? Itu bagus dong. Kamu jadi bisa belajar jadi orang yang rapi dan nggak cuek….auuuwww sakit,” aku memukul lengannya.

“Tangan yang pernah latihan karate selama tiga tahun nih.”

“Iya ampun senpai.” dia menangkupkan tangannya seperti orang memohon, sehingga aku tertawa melihat tingkahnya.

“Tapi….”

“Sudah ambil saja. Kan ini bisa jadi kegiatanmu sambil kamu merangkai kembali rencanamu.”

“Tapi aku nggak tahu dia udah dapat pegawai atau belum,” aku menoleh ke arahnya, “main potong aja sih.”

Dia tertawa lagi, “ya udah, kan bisa tanya dulu. Kenapa bingung?”

“Malu.”

Lihat selengkapnya