Reflection

Dita Sofyani
Chapter #5

Yes or No?

Aku duduk di gazebo kampus sambil menunggu waktu. Aku sengaja datang setengah jam lebih awal karena aku tidak mau terlihat terburu-buru, terlambat atau berantakan. Selain itu aku benar-benar menyiapkan diri untuk bertemu dengan dekan Fakultas Bahasa. Iwan membantuku menanyakan tentang beasiswa itu, sehingga hari ini mereka ingin bertemu denganku untuk wawancara.

Gazebo ini terletak di bagian belakang fakultas. Tidak banyak mahasiswa yang ada di gazebo maupun di kantin. Hari telah sore sehingga tidak ada kuliah atau kegiatan lain, apalagi di hari Jumat seperti ini.

Di depan gazebo ini ada sebuah kantin yang cukup besar. Mungkin karena itulah gazebo ini dibangun. Di dekat gazebo ada sebuah lapangan basket. Ada beberapa anak yang bermain di lapangan itu. Tetapi aku tidak yakin kalau mereka semua adalah mahasiswa karena ada di antara mereka yang terlihat sangat muda dan ada yang terlihat tua untuk ukuran mahasiswa. Mungkin mereka hanya bermain saja di lapangan itu¸ pikirku.

Tiba-tiba dari pinggir lapangan ada yang melempar bola ke arah ring basket. Bola itu tidak masuk tetapi kuakui lemparan itu sangat kuat dan jauh. Mereka yang ada di tengah lapangan menyambut laki-laki itu dengan sorakan dan mereka saling berjabat tangan. Obrolan ringan dan candaan terdengar di antara mereka. Dari gazebo, aku bisa mendengar suara-suara mereka, meskipun tidak terlalu jelas. Setelah itu mereka mulai membagi kelompok dan bermain. Mereka tampak semangat sekali mengoper dan melempar bola lalu melompat dan berlari.

Sejujurnya aku sedikit skeptis dengan olahraga basket. Pada waktu aku SMP, badanku kecil sehingga aku selalu menjadi bahan ejekan karena aku sangat kesulitan memasukkan bola ke ring basket yang menjulang tinggi. Teman-temanku selalu mengejekku kalau aku tidak bisa bermain basket. Ejekan mereka telah menjatuhkan mentalku sebelum aku mencoba bermain.

Permainan semakin seru ketika salah satu tim berhasil memasukkan bola ke ring. Mereka hanya bermain setengah lapangan saja dengan satu ring. Sehingga permainan menjadi lebih seru karena kegesitan mereka diuji.

Kuakui, laki-laki yang datang terlambat itu bermain dengan bagus. Dia sangat gesit mendribble bola dan melemparkannya ke ring. Satu hal yang menonjol adalah suaranya yang lantang memberi komando kepada timnya, tetapi dengan nada bercanda. Tidak ada kesan memerintah atau sok bisa.

Kadang mereka tertawa bersama-sama, sampai lupa mengejar bola. Aku menebak kalau mereka hanya berolahraga dan menghabiskan waktu bersama. Apalagi mereka terlihat berbeda-beda umurnya.

Tidak berapa lama mereka istirahat di pinggir lapangan. Mereka mengobrol, bercanda dan menggoda salah satu teman mereka. Terlihat akrab sekali. Dan laki-laki itu tetap menjadi sosok yang mendominasi kelompok.

“Etha, maaf terlambat,” Iwan menghampiriku. Aku sama sekali tidak kaget melihatnya yang terengah-engah dan tidak rapi. Itu sudah pemandangan yang biasa bagiku.

“Nggak apa-apa kok. Aku santai di sini.”

“Ini udah terlambat 20 menit dari waktu…..”

“What!!??” aku melihat jam dan langsung berdiri, “aku sama sekali nggak sadar kalau terlambat.”

Kami segera berjalan beriringan menuju kantor. Aku tahu kalau mereka menoleh ke arahku karena aku berteriak cukup keras. Dan aku melihat dia, laki-laki yang datang terlambat, tersenyum tipis ke arahku.

                                                                 ***                                          

“Kenapa nggak dicoba dulu?”

“Kan aku punya target, Ma. Aku ingin kuliah di fakultas kedokteran. Aku ingin jadi dokter.”

Mama menghela nafas, “kesempatan nggak datang dua kali lho. Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Kita bisa saja merencanakan tetapi tetap Tuhan yang menentukan. Tahun depan pasti akan berbeda lagi. Kita juga nggak tahu apa yang akan terjadi.”

“Dipikirkan dulu saja. Mama kan hanya bisa menyarankan. Setelah itu ya tergantung kamu, karena kamu yang menjalaninya,” lanjut Mama menasehati.

“Aku takut kalau nggak bisa.”

“Kuliah kedokteran lebih sulit, tetapi kamu mau mencoba. Kenapa sekarang jadi takut?”

“Bingung, bingung, bingung! Sudah ah, aku mau tidur saja.”

“Beneran tidur. Jangan main di halaman belakang,” aku hanya meringis ke arah Mama.

Aku membuka pintu kamarku dan melihat Teresa sudah tidur. Lalu aku kembali menutup pintu, menghidupkan lampu dan memandangi diriku di depan cermin.

Tuhan punya rencana yang indah dalam hidupmu. Ketika kau merasa sedih, pandanglah dirimu melalui cermin dan lihat betapa indahnya orang yang Tuhan ciptakan.

Seberapa indahkah? Sedangkan saat ini aku merasa gagal. Tidak mampu mencapai apa yang aku cita-citakan dan tidak mampu memahami keadaan yang terjadi sekarang.

Di depanku ada kesempatan untuk belajar dengan bantuan beasiswa. Pasti ini sangat meringankan Mama karena tidak perlu membiayaiku. Tetapi aku juga punya mimpi yang ingin kuraih. Aku yakin kalau aku berusaha sedikit lebih keras pasti aku bisa mendapatkannya.

“Kadang memang seperti ini, Tha,” aku menoleh dan melihat mama berdiri di depan pintu, “nggak semua terjadi sesuai dengan keinginan kita. Mama memang nggak serajin kamu pergi ke gereja, tapi Mama percaya kalau nggak ada salahnya kita beriman pada apa yang akan kita lakukan. Tuhan pasti akan menjadikannya berhasil kalau itu sesuai dengan rencanaNya.”

“Aku takut gagal, Ma.”

“Kalau nggak dicoba bagaimana bisa tahu gagal atau berhasil?”

“Iya sih, tapi aku nggak yakin, ma.”

“Ya udah, masih ada waktu untuk berdoa kan?”

Aku mengangguk, “hari Senin diminta untuk bertemu lagi dengan dekan.”

“Nah, jadi masih ada waktu untuk berpikir kan?”

“Aku bingung, Ma,” kataku dengan frustasi.

Lihat selengkapnya