“Nanti setelah kelas datang ke ruangan saya ya.” Ibu Maria menghampiriku sebelum memulai kelas. Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya.
“Are you ready for your first quiz?” kata Ibu Maria di depan kelas.
Aku kaget mendengar berita itu. Meskipun bahasa Inggrisku tidak sempurna, aku mendengar kata ‘kuis’ dan ‘ready’ dengan jelas. Kelas itu dipenuhi gumaman. Ibu Maria menjelaskan sebentar tentang kuis yang akan diberikan dan membagikan soal. Aku memandangi kertas itu dengan tatapan kosong. Kuis di hari pertama kuliah adalah hal yang tidak terduga sama sekali.
Dengan positif, aku mengerjakan soal itu. Ini kelas Structure satu, salah satu pelajaran yang benar-benar kubenci karena harus berkutat dengan tata bahasa dan aturan. Tetapi aku ingat bahwa ini adalah awal dari perjuanganku. Di dalam hati kecilku aku ingin membuktikan bahwa mereka tidak sia-sia menerimaku disini.
Tidak terasa waktu cepat berlalu. Kertas-kertas kuis itu dikumpulkan dan Ibu Maria kembali melanjutkan materi sesuai dengan silabus. Teman yang duduk di sampingku dengan baik hati meminjamiku silabus sehingga aku bisa melihat apa saja yang akan dipelajari dalam satu semester ini.
“Eno,” katanya memperkenalkan diri. Dari akses dan wajahnya, aku tahu kalau dia berasal dari daerah timur Indonesia.
“Etha,” aku memperkenalkan diriku juga, “terima kasih ya.” Dia mengangguk dan tersenyum.
Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang kudengar. Sekarang aku belajar Linguistik. Jauh berbeda dari cita-citaku, tetapi ini lebih nyata daripada apa yang aku impikan. Teman-teman baru, kelas-kelas baru dan tantangan yang baru akan kuhadapi setiap hari.
Setelah kelas berakhir, aku segera mengikuti Ibu Maria menuju ruangannya. Aku mendengar beberapa orang berbisik dan bertanya tentang keberadaanku di kelas, tetapi aku tidak mempedulikannya.
Setelah itu Ibu Maria membimbingku untuk mengisi lembar perwalian dan menunjukkan mata kuliah apa saja yang kuambil. Dia mengingatkanku untuk jangan sampai lupa dan telat masuk ke kelas karena kuliah itu berbeda dengan sekolah. Di sini semua mahasiswa dituntut untuk aktif dan mengurus keperluan mereka masing-masing.
Aku tersenyum dan mengikuti apa yang beliau beritahukan. Tidak ada yang kupikirkan, selain, sekarang aku benar-benar resmi menjadi mahasiswa!
***
"Tapi mungkin aku nggak bisa kerja full time di sini, Kak,” aku menunjukkan kartu studyku kepada Kak Monic. Dia membaca sekilas dan mengangguk-angguk.
“Ya aku ngerti sekali. Meskipun kamu baru sebentar disini, tapi kamu banyak membantu.” Kak Monic tersenyum kepadaku.
“Trims, Kak.”
“Mungkin tahun depan kamu bisa menjadi tentor disini.” Kami tertawa bersama. Aku sangat bersyukur mengenal Kak Monic. Dia adalah orang yang sangat terbuka dan selalu jujur. Ketika dia tidak suka dengan apa yang kulakukan, dia akan mengatakan langsung tetapi dengan bahasa yang halus. Sehingga aku belajar banyak dari sini.
Setelah aku mendapat kesempatan untuk belajar, dia tidak memaksaku juga untuk tetap disini. Aku tahu pasti kalau dia sudah mencari orang yang bisa menggantikanku.
“Kita kan masih bertemu di pertemuan Oikumene, Kak.”
“Iya betul. Belum ada rapat lagi ya?”
“Ketuanya siapa, tanyanya ke siapa,” dia tertawa menanggapi perkataanku.
“Kan kamu pengurus juga.”
“Sie humas kan tetap ngikut apa ketua.”
“Iya, iya deh. Semua ketua saja. Kalau ketua pikun begini entah anak buah mau dibawa kemana.” Aku senang dengan karakternya. Dia tidak pernah merasa istimewa karena posisinya.