Salatiga, 2007
“Besok jangan lupa datang ya.”
“Besok? Besok ada apa?” dengan nada yang meninggi aku bertanya kepada Ian. Suara deru si merah mengalahkan suaraku kalau aku tidak berteriak. Sore ini setelah kuliah, Ian mengantarku pulang.
“Katanya kamu mau nonton aku latihan basket. Dua minggu lagi kan aku ikut POM.”
Aku menepuk dahiku, “besok jam 4 ya latihannya? Aku datang telat ya, jam 2 itu ada rapat paskah.”
“Rapat Paskah lagi? Kayaknya Minggu kemarin sudah rapat deh.”
“Itu kan paskah pemuda se-Jawa Tengah. Besok itu rapat Paskah fakultas.”
“Kamu kok jadi sibuk sekali. Setelah sibuk dengan Natal dan tahun baru di gereja, sekarang ganti sibuk dengan paskah.”
“Ya, ini kan tanggung jawabku…”
“Itu kan karena kamu mau. Jadi mereka memberimu tanggung jawab. Kamu hanya menyibukkan dirimu dengan apa yang kamu suka.”
“Bukan seperti itu. Kan aku memang membantu pelayanan di gereja. Aku juga ingin terlibat kegiatan kampus.”
“Sampai janji sendiri juga lupa,” dia berkata tanpa mempedulikan penjelasanku. Akhir-akhir kami memang jarang bertemu. Kegiatan-kegiatanku dan tugas kuliah membuatku berkutat dengan diriku sendiri. Aku berusaha menjelaskan bahwa memang inilah kegiatanku, tapi dia seperti tidak menaruh perhatian.
“Maaf ya,” kataku akhirnya. Setiap perdebatan di antara kami tidak akan pernah berakhir kalau aku tidak mengalah. Ian selalu bertahan dengan pendirian dan pendapatnya. “Besok aku pasti datang.”
“Tidak perlu kalau memang sibuk.”
“I’ll try. I wanna come to see you. Besok aku akan memasak, deh,” aku berusaha ceria dan membuatnya senang.
“Terserah kamu saja,” dia segera berpamitan pulang setelah mengantarku pulang. Aku menghela nafas panjang. Selalu seperti ini.